Chapter 9 - Apartment Across the Hall

40.7K 4.1K 15
                                    

Udara benar-benar dingin. Di tengah perjalananku yang hanya sepuluh menit untuk sampai ke apartemen, aku sempat berfikir apa seharusnya aku menerima tawaran Aiden untuk diantarkannya pulang. Setidaknya mobilnya pasti hangat. Aku benci udara sedingin ini dan aku tidak bisa membayangkan udara New York bulan lalu yang katanya bulan terburuk musim dingin ini. Semoga spring segera datang.

Aku sudah tidak sabar untuk segera masuk ke apartemenku yang sudah pasti hangat karena penghangat ruangan yang tidak pernah kumatikan. Tapi aku syok ketika kubuka pintu apartemenku dan udaranya jauh lebih dingin dari lorong apartemen. Aku yakin aku tidak pernah mematikan penghangat ruangan ini.

Dengan cepat aku memeriksa layar penunjuk temperatur ruangan di mesin penghangat yang menempel di dinding. Sembilan belas derajat celcius, yang jelas-jelas salah karena tidak mungkin ruangan yang lebih seperti kulkas ini memiliki temperatur setinggi itu.

Jangan bilang mesin penghangat ini rusak? Tidak mungkin aku tidur dalam keadaan sedingin ini. Aku bisa sakit kalau tidak mati gara-gara hipotermia.

Buru-buru aku menghampiri penjaga apartemen yang tinggal di lantai satu. Emma sempat mengenalkanku padanya, Mrs. Everett, wanita tua yang terlihat ramah pada Emma tapi tidak padaku. Dia muncul di pintu apartemennya setelah ketukanku yang entah sudah keberapa.

"Ada apa?" tanyanya ketus.

"Maaf, tapi sepertinya mesin penghangat di apartemenku rusak."

Dahinya mengerut lebih dalam. "Kau yakin?"

Tentu saja. Mana mungkin aku tidak bisa membedakan antara dingin dan hangat. "Iya."

"Sebentar," ucapnya lalu masuk kembali ke dalam tak lupa menutup pintu, membuatku berdiri menunggu begitu saja di depan pintunya.

Tak lama kemudian Mrs. Everett kembali muncul dari balik pintunya. Dia menyerahkan sebuah kunci ke hadapanku. "Ini kunci kamar di seberang kamarmu. Teknisi baru bisa datang besok pagi. Jadi kalau kau tidak sanggup untuk tidur dengan udara dingin, tidur saja di kamar itu."

Aku mengernyit tidak mengerti sambil meraih kunci tersebut. "Memangnya kamar itu kosong?" Aku memang tidak pernah melihat ada orang keluar masuk kamar itu. Pintunya selalu tertutup.

"Aku memberikanmu kunci itu berarti tidak ada masalah. Terserah kalau kau memilih untuk tinggal di hotel, tapi yang penting kembalikan kunci itu besok pagi begitu teknisi sudah selesai mengurus mesin penghangatmu. Dan jangan mengacak-acak apartemen itu."

Tanpa menunggu balasan apapun dariku, Mrs. Everett menutup pintu apartemennya. Aku diam sejenak menimbang-nimbang kunci ini. Sudahlah, cuma satu malam. Daripada aku harus membuang-buang uang tinggal di hotel. Lagipula Mrs. Everett sendiri yang memberikan kunci ini padaku, jadi seandainya ada yang terjadi, itu akan menjadi tanggung jawabnya.

Aku pun membuka pintu apartemen yang berada persis di seberang pintuku. Ukurannya sama persis dengan apartemen yang kusewa, tapi posisi furniturnya berbeda dan lebih banyak barang. Sepertinya apartemen ini sudah disinggahi cukup lama melihat banyaknya buku yang tersusun di dinding, pernak-pernik di meja-meja dan dinding, dan lembaran brosur makanan siap antar di pintu kulkas. Melihat beragam jenis konsol game seperti PS dan Xbox di bawah TV layar 51 inch, aku yakin pemilik apartemen ini laki-laki. Apa benar aku tidak masalah menempati apartemen ini begitu saja?

Sudahlah, aku tidak perlu ambil pusing. Aku cukup menyalakan penghangat ruangan apartemen ini, mengambil piyama dan toiletries dari apartemenku, lalu tidur. Hari ini merupakan hari yang panjang di rumah sakit.

CollidedWhere stories live. Discover now