Chapter 18 - Oh, No, Not Again

40.8K 4K 16
                                    

KANISS

Oh, God... kepalaku. Rasanya mau pecah.

Aku menggeliat di atas kasur berusaha mencari posisi untuk meringankan sakit kepalaku, tapi kemudian aku sadar ini bukan kasur di apartemen Logan ataupun apartemenku. Lalu aku juga sadar, tidak ada yang kuingat apa yang terjadi di bar semalam ataupun bagaimana aku bisa sampai di sini. Aku berusaha membuka mataku, dan cukup dengan sedikit bayangan yang terlihat, aku langsung tau ini di mana.

Oh, no, not again.

Tepat ketika kedua mataku benar-benar terbuka, Ezra keluar dari kamar mandi. "Seriously?" aku mengerang sambil menutup wajahku dengan sebelah tangan. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini kedua kalinya aku semabuk ini, dan di keduanya, aku terbangun di kasur orang itu. Dia bahkan tidak ada di Nick's semalam! Apa jangan-jangan dia ada? Ini tidak masuk akal.

"Kenapa gue bisa di sini?"

Ezra berjalan santai melewati kasur menuju dapur. "Aiden nganter lo ke sini."

Aiden? How...

"You gave him my address." Ezra membuka kabinet dapurnya mencari sesuatu. Kalau yang dicarinya adalah aspirin, this is a total dejavu.

Dan benar. Ezra menghampiriku dengan segelas air putih dan sebutir aspirin. Kepalaku terlalu sakit untuk menolaknya. "Pasti dia salah denger. Gue pasti ngasih alamat apartemen gue," aku membela diri setelah menenggak aspirin yang diberinya. "Dan lo tau gue tinggal di seberang. Kenapa gue bisa lagi-lagi tidur di kasur lo?"

"Your apartment was locked."

"Kuncinya ada di tas gue."

"I didn't feel like going thru your stuff."

Aku menarik nafas berat. The annoying Ezra is back. Dia dengan santai duduk di sofa menyeruput isi cangkirnya. Kedua alisnya menyatu seperti biasa. Resting face-nya memang selalu serius, tapi yang keluar dari mulutnya selalu mengesalkan.

Aku memijat pangkal hidungku. "Kali ini lo tidur di mana?" Dengan kepalanya, Ezra menunjuk pada sofa yang sedang didudukinya.

Aku berusaha keluar dari kasur ini dan begitu membuka selimut, mataku membelalak sadar kalau aku tidak lagi mengenakan sweater-ku dan tidak ada orang lain selain Ezra di sini. Apa kali ini dia yang menggantikan pakaianku? Tapi aku tidak berani menanyakannya karena lebih baik aku tidak tau jawabannya. Lagipula hanya sweater-ku yang berubah. Good thing, aku mengenakan tank-top dibalik pakaianku.

"Jam berapa sekarang?"

Ezra melirik ke arah jam dindingnya yang tidak terlihat dari posisiku duduk.

"Sepuluh," jawabnya.

Oh, shit. Dr. Weisz akan membunuhku. Lagi-lagi aku telat dan kali ini dia tau alasannya. Dia ada di pesta itu. Aku harap aku tau sedikitnya apa yang kulakukan di bar itu. Kuharap aku tidak melakukan hal bodoh di hadapan Dr. Weisz. Ah, kenapa aku harus mengikuti saran Logan, sih?! 

Segelintir ingatan mulai muncul. Sekuat tenaga aku coba mengingat apakah ada yang bisa membuatku dikeluarkan dari program NYU Langone. Lalu aku ingat sesuatu. Tidak ada hubungannya dengan Dr. Weisz—well, kuharap. Tapi... aku memeluk Aiden. Entah bagaimana ceritanya, tapi aku ingat aku lompat ke pelukan Aiden.

Oh, my, God. I'm such a predator. Apa yang harus kukatakan kalau bertemu dengannya di rumah sakit? "Aiden... dia ada ngomong sesuatu ga?"

Ezra menoleh ke arahku. "What do you mean?"

Aku yakin Ezra sudah mengenal Aiden sebelum ini—dia pernah berpacaran dengan kakaknya, please. Mungkin Aiden mengatakan sesuatu pada Ezra, sekedar petunjuk untuk tau seberapa memalukannya kelakuanku semalam. "Ya dia keliatan aneh atau ada ngomong soal gue ga?"

Dahi Ezra semakin menyatu. "Like what? Like you kissed him?"

"What?!" Aku mencium Aiden?! Aku mati, aku mati, aku mati.

"No, he didn't say anything," ucap Ezra yang membuatku reflek membuang nafas lega. "Why? Did you kiss him?"

Aku menggigit bibir bawahku sambil mengangkat bahu. "Gue ga inget."

"Lo ga inget?" Aku mengernyit. Kenapa Ezra jadi galak? "What the hell is wrong with you? Lo bukan lagi di Indo, and you got drunk with someone you barely knew? Good thing he brought you here. Bisa lo bayangin kalo dia bawa lo ke apartemen lo yang kosong? He could do whatever the hell he wants and there's nothing you can do about it."

Aku tersinggung dengan ucapan Ezra. Tentu saja Aiden tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Walaupun aku baru mengenalnya, tapi Aiden adalah pria terhormat dan lagipula dia mantan kekasih Emma. Emma sendiri yang menitipkanku padanya. Hal terakhir yang mungkin kubayangkan adalah Aiden melakukan hal serendah itu.

Tapi aku tau Ezra ada benarnya. Apa yang kulakukan semalam benar-benar bodoh. Tidak semestinya aku minum sebanyak itu. Bagaimanapun tidak ada yang benar-benar kukenal di sini. Mungkin Logan, tapi tetap saja aku baru mengenalnya seminggu. Tidak juga Emma. Satu-satunya orang yang bisa dibilang paling kukenal di sini adalah pria yang sekarang sedang menatapku penuh emosi. Seolah apa yang kulakukan sudah benar-benar merugikannya. But then again, aku juga tidak benar-benar mengenalnya. Buktinya, ketika kupikir dia memiliki perasaan terhadapku, dia pergi begitu saja. Dia mempermainkanku dan mengatakan aku gila.

Seketika emosiku ikut naik. "Denger, ya." Aku bangkit berdiri. "Gue mau mabuk sama siapa aja bukan urusan lo. Dan kalo pun ujung-ujungnya gue sama Aiden ngapa-ngapain, itu bukan urusan lo."

Aku tau kata-kataku somehow menusuknya. Terlihat dari raut wajahnya yang langsung berubah. Dia terdiam begitu saja. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk mencari jaket dan sweater-ku dengan menyapu ruangan ini dengan pandanganku. Aku tidak tau sweater-ku di mana tapi kulihat jaketku menggantung di kursi bar dapur. Tanpa berniat mengatakan apapun lagi, aku melangkah cepat mengambil jaketku lalu menuju pintu keluar. Aku tidak lagi peduli dengan sweater-ku dan aku tau aku masih mengenakan sweater miliknya. Akan kucari cara nanti untuk mengembalikannya. Yang penting aku harus segera keluar dari sini.

Tepat ketika aku memegang knop pintu, sebelah tanganku yang bebas ditahan Ezra. Aku menoleh ke arahnya.

"We need to talk."

CollidedWhere stories live. Discover now