Chapter 23 - He's Mine

38K 3.3K 38
                                    

KANISS

Pelukan hangat Ezra mampu membuat wajahku yang memanas kembali normal. It was crazy just now. Tentu saja aku sempat merasa tersinggung karena Ezra kaget berlebihan begitu tau aku belum pernah melakukan hubungan seks. Dia sampai membawa-bawa dua pertunanganku. Tapi aku mengerti, tentu saja hal itu mengejutkannya. Dia orang barat. Walaupun ada darah Indonesia, dia hidup dan bergaul dengan cara barat. Sejujurnya aku khawatir setelah sadar akan fakta ini. Fakta perbedaan kami. Tapi aku harap dia bisa mengerti kalau sudah menjadi prinsipku untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah. Memang sekarang sudah tenang, tapi aku membuat memo dalam hati untuk kembali membahas soal ini dalam waktu dekat. Aku tidak mau kalau sampai aku terlanjur terikat padanya sampai aku mengingkari prinsipku sendiri. Itu tidak akan pernah terjadi.

Ezra melonggarkan pelukannya lalu menatap wajahku sambil mengulum senyum.

"Apa?" hardikku pelan.

Dia tertawa. "Nothing."

Mataku menyipit kesal karena tau dia pasti masih menggodaku. Tapi kesalku langsung menguap begitu saja ketika Ezra memberikan ciuman singkat di bibirku. Aku menarik nafas kaget karena gestur kecilnya barusan. Ini keempat kalinya kami berciuman—oh, God, aku harus mulai berhenti menghitung berapa kali kami berciuman. Kami bersama sekarang.

"Jadi, kita..." aku dengan gugup berharap Ezra menyatakan kepastian hubungan kami sekarang.

"Engga, kok. Ga ada seks malam ini."

Aku yakin wajahku kembali merah padam. "Bukan itu maksud gue," geramku di sela-sela gertakan gigi. Kenapa dia bisa seringan ini mengatakan hal seperti itu?

"Oh." Dia lagi-lagi tertawa, renyah. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia kembali menarikku ke pelukannya. "You're mine," ucapnya.

Di dalam pelukan Ezra, aku tersenyum. Mungkin tidak seharusnya aku merasa puas dengan pengakuan Ezra. Aku tidak mungkin terima kalau itu keluar dari mulut Tama atau Fathir. Tapi entah kenapa, deklarasi Ezra ini sudah lebih dari cukup untukku.

Beberapa saat dipeluknya, aku pun melepaskan diri. "Gue mesti pulang. Gue ga boleh telat lagi besok."

"Pulang?" Lagi-lagi Ezra tertawa. Apa lagi yang lucu? "Lo bener-bener ajaib." What? "Mau pulang kemana, sih?" godanya.

Aku hampir menyebut nama Logan, tapi aku baru ingat kalau alasan aku tinggal di apartemen Logan karena aku tidak bisa menempati apartemenku karena ada Ezra di seberang lorong. Tapi sekarang, seharusnya sudah bukan jadi masalah. "Apartemen gue."

Ezra menyeringai jenaka. "No, you're staying here tonight."

"Hah? Engga." Setelah apa yang terjadi, kurasa menginap bersamanya bukan ide yang bagus. Bukannya aku tidak ingin, tapi berbahaya. Sampai aku menegaskan padanya soal prinsipku, aku harus bisa menahan diri.

"Why?" protes Ezra seperti anak kecil yang dilarang makan permen. "It's not like we never share a bed before."

Pipiku kembali memanas melihatnya menyeringai menggoda ke arahku.

"I told you right? No sex tonight," bujuk Ezra. "And I'm a man of my word."

Mataku menyipit curiga ke arahnya, tapi dia tertawa pelan melihatku. Dan lesung pipinya yang muncul ketika dia tertawa adalah kelemahanku. "Oke. Tapi gue ambil baju ganti dulu."

Ezra menahanku begitu aku bangkit. "Stay," perintahnya. Walaupun sambil menggerutu, aku menurut. Selain soal prinsipku, aku juga sepertinya harus membicarakan soalnya memberiku perintah layaknya bos.

Ezra berdiri dan berjalan cepat menuju lemarinya lalu kembali dengan kaos dan celana boxer di tangan. "Lo bisa pake ini."

Aku menerima pakaiannya sambil mengernyit bingung. "Ga ada yang lebih anget?" Memang penghangat ruangan di sini bekerja dengan sangat baik, tapi selama di New York aku belum pernah tidur hanya dengan kaos dan celana pendek.

"Ada. Gue."

Aku berdesis mendengar ucapannya sambil menggelengkan kepala dan berjalan menuju kamar mandi. Tentu saja kaos Ezra kebesaran di tubuhku. Aku pernah mengenakan satu set serupa dengan ini, kaos dan boxer-nya, hari itu ketika untuk pertama kalinya aku mabuk berat di Bali. Rasanya kejadian itu sudah sangat lama terjadi. Saat itu aku masih antipati dengannya dan sangat panik ketika sadar aku bangun di kasur miliknya. It's funny how life turns around.

Begitu aku keluar dari kamar mandi, Ezra sudah tengah duduk di pinggir kasur, masih dengan celana jinsnya namun sudah bertelanjang dada dan sepatunya sudah lepas. Aku reflek menelan ludah.

Kedua mata Ezra sendiri langsung menyapu tubuhku yang mengenakan pakaiannya. Dia berdesis pelan. "Are you sure no sex tonight?"

"Ez!" sentakku sambil memelototinya galak. Dia pun tertawa.

"Alright, alright." Ezra mengangkat kedua tangannya. "But if it's okay with you, I sleep shirtless." Dia membuka kedua tangannya menunjukan badannya yang terlalu menggoda.

Aku hampir kehilangan fokusku. "Engga. Lo tidur pake baju." Kalau dia bisa memerintah, aku juga.

Ezra berdecak kesal. "Okay, fine." Ezra bangkit dan berjalan menuju lemarinya, mengambil satu kaos untuk dipakai. Aku terus menatapi tubuhnya dari belakang, masih tidak percaya dengan situasi kami sekarang. Tapi begitu Ezra dengan santainya melepas celana jins yang dikenakannya, aku reflek berbalik badan.

Seriously, si setengah bule ini harus belajar adat ketimuranku.

"Hey."

Ketika aku menoleh, Ezra sudah santai tiduran di atas kasur dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala.

"Are you going to sleep standing?"

Sambil menggigit bibir bawahku, aku perlahan berjalan mendekati kasur lalu naik dan langsung menutup setengah tubuhku dengan selimut, padahal Ezra masih tiduran di atas selimut.

"I could kiss you so you won't be so nervous, but then I don't think we can stop with us being on this bed and you wearing my clothes."

Aku mengadah menatap Ezra. Dia benar, aku gugup sekarang. Dan dia benar, kalau sampai kami berciuman lagi, aku tidak yakin bisa menahan diri.

"So, would you tell me the story of how you ended up in New York?"

Aku tersenyum. Ezra ingin tau ceritaku. Aku pun mulai berceloteh tentang bagaimana aku bertemu Emma ketika dia sedang memberikan seminar. Gugupku berkurang seiring dengan ceritaku. Ezra pun perlahan mendekat dan pada akhirnya lengannya menjadi sandaran kepalaku. Ketika aku masih bercerita soal Dr. Weisz, aku mengadah untuk mengecek karena Ezra sudah tidak bersuara merespon. Dan benar, dia sudah terlelap.

Aku mengangkat sedikit kepalaku dan bersandar pada tanganku sendiri menatapnya. Dia terlihat sangat damai. Seperti terakhir kali aku melihatnya tidur, aku memperhatikan setiap inci wajahnya. He's so beautiful. And he's mine.

Aku pun mendekat dan mengecup bibirnya singkat sebelum akhirnya ikut terlelap di pelukannya.

CollidedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang