Bab 31: Kembali Ke Danau

30 2 0
                                    

"Percayalah, kau sekarang benar-benar berada di Morte-Orbis, bukan di bumi," tambah sopir itu lagi sambil memalingkan kepalanya.

Dennis menatap ke depan dengan pikiran hampa. Sekarang mereka sudah memasuki jalan keluar dari kota yang menunjukkan perbukitan di kejauhan.

"Awalnya memang terasa aneh," gumam si sopir lagi. "Seperti yang dialami Boris dulu. Tapi, seiring waktu berjalan, dia dapat beradaptasi dengan baik. Dan kurasa, kau juga akan melaluinya dengan baik."

Mereka hampir tiba di tepi danau. Dennis terpikat pada kawasan ini. Saat pertama sampai di sini dia tak sempat memperhatikan apa-apa. Sebuah danau yang luar biasa indah dikelilingi bukit-bukit kecil dengan dasar yang menyentuh air dan perumahan berjejer yang ditata dengan rapi dan berdiri di dataran pinggir bukit yang meninggi. Di sudut lain, beberapa rumah berdiri di atas tepian dan, diapit dua bukit menjulang. Menurut sang sopir area ini memiliki jumlah penduduk sekitar 1500 jiwa.

Dennis diantar sampai ke rumah Pak Rotternbergh dan istrinya, yang menyambut kedatangannya dengan ramah tamah.

"Selamat datang, Dennis," Pak Rotternbergh menyapa. Pria berusia 60 tahun dan istrinya tampak tersenyum. "Kau pasti capek sekali, ya?"

Mirip manusia juga, pikir Dennis sambil mencet-mencet alisnya, tidak ada yang aneh-aneh dengan semua orang di sini. Dennis mengucapkan terima kasih kepada mereka. Suami istri ini tampaknya mengerti psikologis Dennis yang sedang semrawut dan segera menunjukkan kamarnya agar dia bisa beristirahat.

Anak laki-laki ini terlihat murung, seperti sedang melamun, pikir Bu Rotterbergh,. Ah, tentu saja, perpindahannya ke sini pasti membuatnya sangat kebingungan. "Dennis," katanya, "itu pakaian-pakaianmu yang dikirim pihak imigrasi dan besok ponselmu akan dikirim ke sini."

Dennis mengucapkan terima kasih. Pak Rotternbergh meminta Dennis beristirahat di kamar. Dennis membuka jendela kamarnya yang terbuka menghadap ke danau yang menampakkan pemandangan bukit-bukit di kejauhan. Awan tipis menyelimuti ujung perbukitan. Sejenak, dia terkagum-kagum dengan pemandangan yang begitu indah dan menakjubkan.

Di sinilah aku, pikirnya. Di negeri yang sama sekali tak dikenalnya, di tempat rahasia yang dahulu selalu membangkitkan rasa ingin tahu. Dunia tempat manusia di bumi pura-pura mati, memalsukan kematian mereka dan dan melarikan diri. Dennis masih dilanda keheranan yang luar biasa hebat terhadap kenyataan bahwa saat ini dia benar-benar berada di tempat rahasia itu. Dia sedikit gembira memikirkan bahwa apa yang dahulu diyakininya terbukti benar.

Tiba-tiba perasaan kesendirian itu kembali menyelinap di pikirannya. Tirai jendela bergerak melambai seakan pertanda suasana sepi, persis seperti saat dirinya masih tinggal di kamar rumah penginapan dulu, di mana dia menghabiskan banyak waktu dengan perasaan bosan mengamati tirai bergelombang yang tertiup angin.

Perasaan cemas kembali menggerogotinya, perasaan berada dalam ketidakpastian. Namun, yang paling menakutkan adalah perasaan terancam bahwa kekacauan ini akan terulang kembali untuk waktu yang lama – perasaan yang kerapkali muncul di benaknya sebelum dia mengenal keluarga Dokter Harris.

Seandainya proses perpindahan mereka berjalan lancar, pastilah dia saat ini sedang berada di tengah-tengah keluarga Dokter Harris, menyantap hidangan sore di meja yang penuh dengan topik-topik pembicaraan yang seru, hangat dan lucu, merayakan keberhasilan mereka melewati rintangan proses tiba di Morte-Orbis. Cepat atau lambat, Dokter Harris pasti akan melupakan kesalahan kedua orang tuanya, mengingat rencana ini berhasil membuatnya terbebas dari hukuman mati.

Dokter Harris pasti akan melupakan masa lalu dan kembali mencintai dan menyayanginya seperti anak sendiri, seperti terhadap Rivaldy dan Nicky. Dennis menghela napas panjang. Dia akan selalu merasa tenang berada di tengah keluarga Dokter Harris, merasa ada dan tidak menghilang kalau sudah sendirian seperti ini. Dan sekarang .... semua itu berakhir sudah.

Tiba-tiba, dia begitu merindukan Bali dan denting suara sendok dan cangkir teh Bu Cynthia, meminum teh buatan wanita yang sangat baik hati itu kepadanya. Namun sekarang, segalanya hancur berantakan. Sesal yang terulang kembali. Semua mengalami penderitaan yang sama, kehilangan Bu Cynthia dan Nicky. Pastilah Dokter Harris menjadi makin kacau dan sangat membencinya. Sudah kehilangan adiknya Helen, sekarang Dokter Harris harus kehilangan istri dan anak bungsunya. Dia kembali merasa sangat bersalah mengingat kedua orang tuanya menjadi penyebab tewasnya Helen. Sekarang dia menjadi penyebab hilangnya Bu Cynthia dan Nicky seperti kata para Whisperes dalam lautan. Dua figur yang dikasihinya barangkali sudah tidak ada lagi di dalam kehidupan ini.

Aneh, sungguh aneh, apa sebenarnya yang terjadi? Dia berusaha memahami mengapa Dokter Harris menyalahkan dirinya atas semua kekacauan ini. Dia teringat kembali pada saat terakhir bersama Bu Cynthia dan Nicky, di dasar laut dalam upacara ritual pura-pura mati. Mengapa mereka bisa hilang begitu saja? Apakah proses upacara ritual pura-pura matinya salah? Mengapa pria berjubah biru itu, Nicolas Al-Portero dan teman-temannya tidak memberikan informasi sedikitpun?

Dennis meyakinkan dirinya bahwa Bu Cynthia dan Nicky masih hidup. Mungkinkah mereka gagal di-transfer ke sini? Tapi menurut Pak Norman Ford, tak seorang pun pernah gagal sampai ke sini jika sudah masuk ke dalam peti Firaun itu. Yang pernah terjadi, seseorang membatalkan kepergian dan menolak masuk ke dalam peti Firaun dan tentunya jelas keberadaannya, kembali ke bumi lagi dan menganggap semua yang terjadi hanyalah mimpi.

Hal itu juga telah disampaikan Nicolas Al-Portero dengan jelas. Berbeda dengan kasus Nicky dan Bu Cynthia yang hilang dalam perjalanan. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis membayangkan wajah Bu Cynthia dan Nicky.

Sore, Dennis mandi dan makan malam dengan Pak Rotternberg dan istrinya. Kedua suami istri itu dapat merasakan kemurungan yang sedang melanda remaja yang suka mengusap-ngusap alisnya ini. Tapi, pikir mereka, figurnya tampak seperti anak-anak remaja di sini, tidak seperti bayangan mereka sebelumnya tentang para imigran yang mungkin memiliki sesuatu yang aneh-aneh. Pak Rotternbergh menahan diri untuk tidak bertanya tentang bumi, karena dia memang sangat suka dengan topik-topik sejenis UFO, alien dan misteri planet lain. Mereka berusaha keras untuk membuat anak murung ini menjadi ceria.

"Bulan depan," tukas Bu Rotterberg yang memilik wajah berkesan sangat ramah, "kau akan mulai masuk sekolah di dekat sini, Dennis."

"Pak Norman telah berbicara dengan kami tentang hal itu," tambah Pak Rotternbergh. "Jangan khawatir, para imigran memiliki hak-hak dan diperlakukan di bawah undang-undang yang mengatur tentang pendidikan mereka. Jika imigran itu masih anak-anak dalam usia sekolah dan juga pekerjaan seperti Dokter Harris nantinya akan dipekerjakan di rumah sakit terdekat sesuai dengan keahliannya."

"Saya sangat berterima kasih karena Pak Rotterbergh dan ibu mau menampungku di sini," ujar Dennis sambil membuang pikiran lain yang berkelebat di benaknya. "Saya sangat suka dengan suasana di danau ini, Pak. Katakan apa saja yang harus kulakukan untuk membantu Bapak dan Ibu di sini, ya."

Mereka kemudian berbincang-bincang tentang anak-anak Pak Roternbergh yang sudah tumbuh dewasa dan menikah dan tinggal di luar negeri yang sudah makin jarang mengunjungi mereka. Pak Rotternergh merupakan pegawai pensiunan bank. Sudah 10 tahun mereka tinggal sendirian dan merasa begitu kesepian. Kehadiran Dennis, kata mereka, akan sangat baik untuk mereka semua. Malamnya, Dennis kembali ke kamar, masih merasa asing dengan suasana sekitar, sama seperti ketika berada di barak panti asuhan dahulu. Dia membuka laci meja dan menemukan buku-buku, merobek satu lembar dan melipatnya jadi pesawat kertas.

Dia melemparkan kertas itu ke langit-langit kamar.

"Naik," bisiknya, saat pesawat kertas itu meluncur. Namun anehnya, pesawat itu tetap jatuh ke lantai. Dia mencoba lagi, membuka jendela dan melemparkan pesawat kertas itu keluar namun hasilnya tetap sama. Pesawat itu jatuh ke atas permukaan air.

Dia merenung dan sedikit keheranan karena telah kehilangan kemampuan mengendalikan pesawat kertasnya dengan pikiran. Akh, desisnya dalam hati, tidak apa-apa, kemampuan sampah yang tidak berguna, seperti kata ... ayah dulu. Dia merasa sangat janggal menyebut kata 'ayah'.

Melamun di tempat tidur dan merasa sangat aneh dengan kenyataan bahwa dia sekarang berada di tempat yang selama ini selalu ingin diketahuinya. Dia terperangah menyadari kenyaataan bahwa lembar hidupnya yang baru telah dimulai dunia rahasia Pura-Pura Mati. Segala misteri yang dulu menghantui pikirannya terjawab sudah, namun dengusnya, mengapa dia tetap tidak bahagia?

Follow, Vote, and Comment. Thank you

PURA-PURA MATIWhere stories live. Discover now