Bab 30: Sang Pemimpi Dari Locusta Originia

256 16 100
                                    

"Kau menghilang selama tiga hari, Dennis," ungkap Denziel Larson terdengar parau

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kau menghilang selama tiga hari, Dennis," ungkap Denziel Larson terdengar parau. Bola mata birunya menatap Dennis dengan ekspresi cemas.

Tiga hari? Dennis nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Terakhir, dia ingat, tubuhnya berputar-putar di dalam lorong, lalu tiba-tiba jatuh tergeletak di atas panggung, di samping alat Maestro-Partikel-Sonia-Pidata. Dia mendengar jeritan dan orang-orang yang berlarian mengerumuninya. Dan itu terjadi kemarin. Baru hari ini ketiga sahabatnya diizinkan membesuknya.

Denziel Larson sendiri sesungguhnya sudah tidak sabaran hendak menceritakan pengalaman heboh yang dia, Serena dan Megan alami saat berkutat alat Maestro-Partikel-Sonia-Pidata. Namun kondisi Dennis saat ini tidak memungkinkan. Mereka bertiga berdiri mengelilingi ranjang tempat Dennis berbaring.

"Kami semua mengira kau ... maaf, sudah tewas," ujar Serena sambil memegang lehernya. Suaranya tercekat menahan ingatan kengerian saat mereka menunggu kepulangan Dennis. "Menurut Pak Warren Newhall, alat Maestro-Partikel-Sonia-Pidata itu hanya bisa menahan orang paling lama tiga jam."

Kilasan kejadian yang Dennis alami tumpang-tindih di kepalanya. Dia memperhatikan ruangan di kastil tempat dia dirawat oleh seorang dokter pria paruh baya dan beberapa petugas medis.

"Kami turut gembira mendengar berita tentang Bu Cynthia dan Nicky," ujar Megan, senyumnya terkembang. "Kami berdoa semoga mereka berdua bisa sampai ke Morte-Orbis dengan selamat, Dennis."

"Terima kasih," kata Dennis, memandang wajah ketiga temannya dengan mata berbinar-binar.

"Pak Warren Newhall sudah menghubungi Depertamen Imigrasi Locusta-Originia dan mengabarkan tentang Bu Cynthia dan Nicky untuk mengantisipasi ...."

Namun, penjelasan Denziel terpotong. Wajah Dennis tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi.

"Astaga!" teriak Dennis terlonjak mundur di tempat tidurnya. Dia menunjuk ke arah jendela kaca di belakang punggung ketiga temannya.

"Ikan hiuuu!" teriak Dennis, bergetar hebat.

Ketiga temannya sontak berbalik dan menoleh ke arah kaca jendela, tetapi mereka tidak melihat apa-apa. Pak dokter dan para perawat yang sedang bertugas segera berhamburan mendekatinya.

"Ada apa?" tanya dokter itu kaget bukan kepalang.

"Ada ikan hiu!" saat ini Dennis sudah melompat keluar dari tempat tidurnya.

"Maaf," seru dokter itu kepada Megan, Denziel dan Serena, "kalian sebaiknya menunggu di luar. Penggunaan alat Maestro memang sering mempengaruhi pemakainya menjadi berhalusinasi selama berhari-hari."

"Tapi aku tidak berhalusinasi!" teriak Dennis, histeris. "Ada ikan hiu melintas di balik jendela itu. Bagaimana kalau ikan hiu itu menerobos masuk ke sini?" Dia berpaling ke arah teman-temannya. "Denziel, Megan, Serena, kita harus berhati-hati, ikan hiu itu baru saja melintas di sana!"

"Pak Dokter, Dennis mungkin benar!" teriak Denziel, mendukung. "Kami pernah melihat ikan hiu itu. Ikan hiu itu mengincar Dennis! Percayalah, Pak!"

Melihat keseriusan terpampang di wajah keempat remaja itu, sang dokter menjadi sedikit curiga, apalagi saat ini Megan dan Serena terlihat gemetar dan saling berpegangan tangan. Dia memalingkan kepalanya ke arah jendela. Kalau bukan ikan hiu, mungkin saja ada 'benda' lain yang berbahaya di jendela itu, pikirnya. Dokter itu segera memanggil beberapa perawat dan menggeser kaca jendela itu kesamping.

"Jangan, Pak!" teriak Dennis. "Jangan buka jendelanya!"

Namun, dokter dan para perawat itu telah membuka jendela. Dennis dan ketiga temannya sontak berlari ke arah pintu, berjengit hebat dan bersiap-siap melarikan diri.

"Kosong!" teriak dokter itu setelah melongokkan kepalanya keluar jendela. Dia merasa sedikit bodoh karena baru saja mencari-cari sosok ikan hiu yang mungkin melayang-layang di sekitar. Yang terlihat hanyalah halaman rumput luas dengan tembok-tembok kokoh yang menjulang tinggi.

"Hati-hati, Pak" teriak Dennis, bergetar. "Ikan hiu itu berbahaya sekali!"

Dennis dan ketiga sahabatnya benar-benar tercekam dalam ketakutan, mengira kepala dokter yang melongok keluar jendela itu sebentar lagi akan disambar hingga putus. Dokter itu menutup jendela dan menggeser tirainya. Dia meminta Denziel, Serena dan Megan untuk meninggalkan ruangan dan memutuskan untuk segera memberi Dennis obat penenang.

Hilangnya Dennis saat berlatih menggunakan alat Maestro-Partikel-Sonia-Pidata selama tiga hari menimbulkan kehebohan di kastil. Sehari setelahnya, kepala sekolah Bu Joanne Dawson dan Salvartor D'Albertis langsung datang ke kastil, menggunakan transportasi sistem Ruang Transfer Tanpa Bayang Level A yang bisa mengirim penumpang dari kapal dalam jarak jauh yang sangat jarang dipergunakan.

Bersama dengan Pak Warren Newhall, Pak Rafael dan para ilmuan di kastil, mereka berusaha dengan segala daya upaya mengutak-ngatik alat Maestro untuk mendeteksi keberadaan dan jejak Dennis melalui pantauan sinyal. Dennis sudah hampir dinyatakan tewas ketika tiba-tiba muncul kembali di kastil tiga hari kemudian.

"Dennis adalah ..." Pak Warren menghentikan kalimatnya, menatap Bu Dawson, Pak Salvator D'Albertis, dan Pak Rafael secara begantian. Saat ini mereka berada di kantor Pak Warren Newhall yang memiliki dinding terbuka menghadap ke tengah-tengah lautan. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar.

"Lanjutkan, Pak," ujar Pak Salvator. "Kami menyimak."

"Dennis adalah... Sang Pemimpi Locusta-Originia yang kita cari-cari selama ini."

Pak Warren Newhall menatap mereka dengan tajam. Wajah-wajah kaget langsung terpampang dihadapannya. Bu Joanne Dawson tadi sedang larut menikmati pemandangan hamparan lautan dari jendela. Hayalan tipikal 'jika aku pensiun 'ku ingin tinggal di tempat seperti ini' langsung buyar dan berserakan. Suasana kastil dan air laut yang menggelora telah membuatnya terpesona.

Wajah Pak Salvator tiba-tiba bersinar cerah. "Pilihan kita untuk memberi Dennis beasiswa di sekolah kita tidak salah," gumamnya sambil bertatapan dengan Bu Joanne Dawson. Mata keduanya berkilat-kilat penuh dengan kegembiraan. Pak Salvator ingat bahwa Bu Joanne Dawsonlah yang paling mendukung keputusannya untuk memberi Dennis beasiswa di sekolahnya.

Pak Warren bertanya, "Bapak Ibu sekalian mungkin sudah mendengar rapat darurat yang saya selenggarakan di kota sekitar sebulan yang lalu, ya?"

"Tentu, Pak," sahut Pak Salvator. "Kami mengetahui bahwa dunia kita, Morte-Orbis, terancam punah dengan agenda terselubung milik La Antorca untuk memorak-porandakan Locusta Originia. Namun rencana itu gagal total karena sang Pemimpi Terakhir – Sang Pemimpi Perdamaian Murni di Locusta-Originia sudah memutuskan untuk pura-pura mati – memalsukan kematiannya dan pindah ke sini."

"Benar sekali, Pak," kata Pak Warren, menganggukkan kepala. Dia bangkit berdiri. "Kami sedang mencari keberadaan sang Pemimpi tersebut. Hari ini saya mengetahui bahwa Sang Pemimpi tersebut ada bersama kita di kastil ini dan dia adalah Dennis Reeves."

"Jangan pernah meremehkan remaja yang terlihat 'usang' dalam kegalauannya," gumam Pak Salvator pada dirinya sendiri, nyaris tak terdengar. "Sudah kukatakan, tidak mungkin seseorang yang mampu memenangkan kamar 203 di kapal itu orang sembarangan. Pasti dia spesial. Asumsiku tidak meleset."

Mereka terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Maaf," ujar Pak Rafael Waterfield menatap Pak Warren, "bagaimana Bapak mengetahui hal itu? Mungkin saja La Antorca memang benar-benar memburu Dennis Reeves, tapi itu belum membuktikan bahwa anak itu remaja Pemimpi Perdamaian murni dari Locusta-Originia."

"La Antorca tidak akan memburu orang sembarangan, Pak," ungkap Pak Warren menangkap keraguan di wajah guru Psychology & Philosophy itu. "Fakta ke 24 remaja lain di Locusta-Originia yang telah tewas membuktikan bahwa Dennis memang menjadi target terakhir incarannya, target yang ke 25."

 Vote, comment n follow. Thank you :)

 

PURA-PURA MATIWhere stories live. Discover now