Bab 8: Penawaran

29 2 0
                                    

Tak lama kemudian, nama Dennis dipanggil. Seorang petugas wanita mengantarnya masuk ke dalam sebuah ruangan.

"Selamat datang, Dennis Reeves," sapa Salvator d' Albertis dengan ramah.

Mereka berjabat tangan. Dennis segera menyukai sang ilmuan. Menurutnya, pria itu memiliki paras berkesan pintar dan intelektual. Meskipun tanpa embel-embel ilmuan, dia akan berpikir bahwa pria ini seseorang yang sangat genius, mirip ekspresi wajah sosok yang baru saja keluar dari laboratorium Science & Technology.

"Baiklah Dennis," kata Salvator. "Pertama-tama, selamat atas kemenangan dalam undian kamar kapal Eagle's Wings, ya."

"Terima kasih, Pak."

"Salvator D' Albertis," ujar ilmuan itu tersenyum. Senang rasanya bertemu dengan orang yang sama sekali tidak mengetahui ketenarannya di dunia Morte-Orbis. Ekspresi wajah Dennis terlihat datar dan biasa mendengar namanya disebut tadi.

"Kau tahu," lanjut pria itu sambil memicingkan matanya, "kamar yang kau menangkan itu akan jadi milikmu selamanya. Itu berarti, kau akan menjadi tetanggaku di Kapal The Eagle's Wings, ya?"

"Bapak tinggal di kapal itu?" Dennis sama sekali tak menyadari bahwa pria di hadapannya ini adalah pemilik kapal yang sangat kesohor di Morte-Orbis .

"Hampir sepanjang waktu, Dennis," jawab Pak Salvator ramah. "Dan kebetulan, seseorang dari kapal itu telah memberitahukan kepadaku bagaimana kau memenangkan undian kapal tersebut, yaitu dengan menerbangkan kapal kertas ke dalam sebuah botol kosong."

"Iya, Pak," kata Dennis. "Kebetulan sekali, nasib beruntung sedang berpihak kepadaku. Mungkin trik-nya lebih mudah dari tahun-tahun sebelumnya."

Salvator d' Albertis mengernyitkan keningnya. "Kebetulan?" Dia beranjak dan menekan tombol di mejanya. Sebuah hologram tiba-tiba muncul di hadapan mereka, di tengah-tengah ruangan.

"Nah, ini rekaman kemenanganmu. Maaf, Bapak harus putar kembali, ya."

Hologram itu terpampang di tengah ruangan, memperlihatkan rekaman saat Dennis memenangkan undian kamar 203. Dennis meringis melihatnya, terutama saat dia kelihatan seperti kebingungan sebelum melempar pesawat kertas itu.

"Tidak, Dennis Reeves, itu bukan kebetulan," Pak Salvator menatapnya tajam. "Mata Science-ku yang terlatih tak bisa dibohongi. Pesawat kertas itu bergerak karena skill-mu, aku tahu, kau menggerakkannya dengan pikiran."

Skill sampah, dengus Dennis dalam hati, teringat perkataan ayahnya dulu. Tiba-tiba dia jadi sedikit melamun pahit.

"Reeves?" suara Pak Salvator membuyarkan lamunan Dennis.

"Eeh, iya," kata Dennis, gelagapan. "Tapi itu tak ada artinya, Pak. Aku tak bisa menggunakan kemampuan itu untuk menggerakkan barang lain. Jadi percuma saja, Pak."

"Tidak apa-apa, Dennis," kata Pak Salvator terdengar tegas dan membangkitkan semangat. "Itu sudah merupakan satu nilai yang lebih untukku. Kau tau, kamar itu telah kosong selama ratusan tahun. Kami semua sentiasa berharap ada yang seseorang yang memenangkan kamar itu dan menempatinya. Mudah-mudahan kita bisa mengupayakan supaya kemampuanmu bisa berkembang nantinya. Kami akan membimbingmu. Ayo kita coba lagi. Aku ingin melihatnya secara langsung."

Dennis melemparkan pesawat kertas itu ke atas, melakukan konsentrasi untuk menggerakkan kertas itu dengan pikirannya – membuatnya berbelok, mengitari ruangan dan mendarat di tangannya. Astaga, thanks God, pikir Dennis, kemampuan itu masih ada dan anehnya terasa lebih mudah sekarang. Salvator D' Albertis berdesis takjub melihatnya.

"Luar biasa!" desisnya terpukau. "Aku belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Kau tahu, Dennis Reeves, banyak orang memiliki mata, tapi buta."

Dennis tak terlalu memahami perkataan Pak Salvator.

PURA-PURA MATIWhere stories live. Discover now