Bab 1: Pesawat Kertas

1.9K 152 252
                                    

Menurut para sahabatnya, Dennis Reeves kerap melakukan sebuah kegemaran yang berkesan tidak lazim: Pura-Pura Mati

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Menurut para sahabatnya, Dennis Reeves kerap melakukan sebuah kegemaran yang berkesan tidak lazim: Pura-Pura Mati.

Anak laki-laki berusia sebelas tahun, keturunan Amerika-Indonesia itu tinggalnya tidak jauh dari pantai Kuta, Bali. Dennis berteman akrab dengan Rivaldy dan mereka sebaya. Rivaldy sering menangkap kesan misterius yang menaungi Dennis. Dia masih ingat saat pertama kali melihat Dennis 'mempraktekkan' hobi pura-pura mati-nya. Saat itu, Rivaldy dan kedua orang tuanya berserta adik laki-lakinya, Nicky, baru sehari mendiami rumah baru setelah pindah dari Jakarta.

Kebetulan, rumah Dokter Harris dan istrinya Bu Cynthia – orang tua Rivaldy, tepat berada di seberang jalan dan berhadapan dengan penginapan Bali Sunset. Di penginapan itulah Dennis tinggal. Saat itu Rivaldy sedang melongok keluar dari jendela kamarnya di lantai dua, mengamati lingkungan sekitar. Pandangan matanya terbentur pada seorang anak laki-laki di halaman rumah penginapan itu.

Anak laki-laki itu tampak melempar sebuah pesawat kertas ke udara. Kepalanya mendongak, mengikuti gerakan pesawat kertas dengan pandangan matanya. Rivaldy kaget, sebab anak itu mendadak tergeletak ke atas tanah. Para turis asing yang sedang asyik ngobrol di teras panik, lari berhamburan mengerubutinya. Lima belas menit berlalu, mereka kaget bukan kepalang. Dennis tiba-tiba menghentakkan tangannya seperti monster. Tangannya mencengkeram, suara menggeram, menyebabkan semua orang tersentak mundur dan berteriak ketakutan.

Sementara semua orang tercengang, anak itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dan melarikan diri seperti dikejar setan.

"Hei, aneh sekali!" seru seorang turis laki-laki berambut pirang keheranan. "Tadi waktu kuperiksa, sumpah, detak jantungnya sudah berhenti sama sekali. Aku kira ... bocah itu sudah mati!" Dia menggaruk-garuk kepalanya kebingungan.

"Dasar anak nakal!" turis lain, seorang wanita, berkata jengkel, tidak terlalu menghiraukannya. "Pura-pura pingsan begitu, apa maunya?"

"Tidak, dengarkan," tukas pria itu, keheranan. "Aku berani bersumpah, anak itu ... bukan pura-pura pingsan. Dia sudah mati! Jantungnya sudah berhenti berdetak!"

Siapa yang punya waktu untuk menggubris ocehan seperti itu, lagi pula perhatian mereka sudah teralihkan. Langit di atas pulau Bali tampak begitu cerah, seakan mengundang untuk melupakan beban hidup yang mendera. Besok-besoknya, Rivaldy kaget, setelah orang tuanya mendaftarkannya di sekolah baru di kota Denpasar, ternyata dia satu sekolah dengan anak sinting itu.

Anak sinting yang pada jam istirahat sering terlihat melipat-lipat kertas menjadi pesawat dan melemparkannya ke lorong dan halaman sekolah. Setelah bel terakhir berdentang, dia kadang terlihat di jalan atau bermain di pinggir pantai, dan pesawat kertas itu tak lepas dari tangannya.

Para penari Bali yang mengerling cantik ke samping pun sering gusar dibuatnya. Saat asyik berlenggok, pesawat kertas itu kadang meluncur dan menabrak kening mereka dan tentunya, meski tetap cantik dalam kerlingan, terlihat jelas menjadi makin melotot dan mengerling jengkel ke arah anak itu.

Beberapa hari setelah kepindahan keluarga Dokter Harris, Dennis tiba-tiba datang menghampiri Bu Cynthia, menawarkan diri untuk memangkas rumput halaman rumahnya. Dan hal itu disambut baik oleh Bu Cynthia.

"Aku perlu uang saku tambahan, Bu Cynthia," ujarnya nyengir lugu, ngucek-ngucek alisnya saat Bu Cynthia bertanya.

Rivaldy baru mengetahui, rupanya, sejak berusia tujuh tahun, Dennis diasuh oleh Pak Andreas dan istrinya (yang telah berpulang tiga tahun yang lalu). Mereka adalah penjaga dan pengurus penginapan Bali Sunset. Tinggalnya di rumah yang letaknya bersebelahan dengan penginapan ini. Dahulu, kedua orang tua Dennis memang sering menginap di sini, dan suatu hari menghilang secara misterius. Kedua suami istri yang baik hati itu, merasa kasihan dan kemudian memutuskan untuk menampung Dennis di kamar paling belakang di rumah penginapan ini.

Anak berparas tampan dengan raut wajah perpaduan Amerika Asia itu memiliki mata cokelat, rambut gelap kecokelatan. Saat mondar-mandir di pantai Bali tentunya tak dapat dibedakan dengan turis lainnya. Awalnya, semua mengira bahwa Dennis suka pura-pura pingsan - bukan mati. Konon, dia mampu menghentikan denyut jantung dan nadinya seperti orang yang benar-benar sudah mati. Entah benar atau tidak, yang pasti banyak yang terkecoh.

"Mengapa kau suka pura-pura pingsan, Dennis?" tanya Rivaldy suatu hari saat mereka berjalan beriringan di koridor sekolah setelah pelajaran usai.

"Pura-pura pingsan?" Dennis ngucek-ngucek alisnya dan menatap Rivaldy dengan ekspresi tidak setuju. Dia kurang suka dengan istilah yang dilontarkan Rivaldy. "Pura-pura mati, bukan pura-pura pingsan, Rivaldy."

"Pura-pura pingsan," seru Rivaldy ngotot. "Kurang enak menyebutnya dengan pura-pura mati, kesannya seram, Dennis."

"Tidak, aku bukan pingsan," bantah Dennis tegas. "Aku mati betulan dan sebenarnya bukan berpura-pura, tapi benar-benar mati. Jadi, jangan menyebutnya sebagai pura-pura pingsan, karena memang ada unsur kematian di sini."

"Aku tak percaya kalau kau benar-benar mati dalam permainan pura-pura mati yang sering kau lakukan. Jadi hal itu harus disebut dengan pura-pura pingsan."

Dennis lantas mengajak Rivaldy memasuki sebuah ruang kelas yang kosong. Dia ingin membuktikan perkataannya.

"Aku akan berbaring di situ," ujar Dennis serius. "Setelah itu, kau periksa detak jantungku, oke?"

Dennis berbaring di atas lantai kelas, persis seperti orang yang tak bernyawa. Setelah beberapa menit terbujur kaku, Rivaldy mencoba memeriksa. Aneh, tidak ada detak jantung lagi. Dia mengangkat tangan Dennis dan melepaskannya berkali-kali. Tangan itu jatuh terkulai.

Sepuluh menit berlalu, Rivaldy mulai cemas.

"Ya sudah, Dennis," gumamnya sambil bangkit berdiri dan gemetar. "Aku percaya. Ini bukan pura-pura pingsan, tapi pura-pura mati. Jangan mati betulan, ya. Sekarang, bangunlah!"

Mata Dennis tetap terpejam. Rivaldy memeriksa sekali lagi. Dia berani bersumpah, tidak ada detak jantung sedikit pun. Rivaldy menahan rasa takutnya saat dilihatnya tangan Dennis bergerak perlahan ke atas dengan jemari yang melengkung cengkeram ke bawah. Kelopak mata Dennis mulai terbuka perlahan, menatapnya dengan tatapan kaku.

"Aku ... akuu ... adalah...."

"Jangan main-main, Dennis!" teriak Rivaldy mundur ketakutan, makin ngeri ketika dilihatnya tirai jendela kelas yang saat ini melambai ditiup angin.

"Aku ... akuu adalaah ...."

"K-kau ... apa!?"

"Hantu ...!"

Rivaldy menyambar tasnya dan berlari ketakutan. Dennis melompat, mengejarnya dengan tangan yang terjulur seperti mumi.

"Berhenti, Rivaldy, berhenti! Aku cuma pura-pura!" Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. "Kembali, Rivaldy ... kembali!"

Sejak saat itu, dia tidak pernah menyebut kegemaran aneh Dennis dengan sebutan pura-pura pingsan, tetapi pura-pura mati.

                                    ***
Vote, comment and follow, Gaes. Thank you :) 🙏🙏🙏

PURA-PURA MATIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora