Bab 40: Duka Denziel

338 24 69
                                    

Gerimis tipis menaungi Aula Gema Lonceng. Angin menderu, menerobos hutan dan padang rumput, terdengar nyaris seperti bisikan kematian yang mengintai. Burung-burung pemakan bangkai bergerak makin dekat dan sekarang tampak bertengger di ranting-ranting, siap menunggu datangnya kematian.

Dennis Reeves sedang berada di dalam Aula. Remaja itu berjalan ke arah samping, membuka pintu dan menutupnya secara perlahan. Dia tersandar ke dinding dengan perasaan yang luar biasa cemas. Matanya terpaku pada lapangan rumput, napasnya ngos-ngos-an dan jantungnya berdegup kencang.

Dennis tak sanggup berada lebih lama lagi di dalam ruangan aula yang sedang menyelenggarakan pertunjukan. Suasana dan acara di sana telah membuatnya terjebak dalam satu kata: Kematian.

"Oh Tuhan, apa yang sedang kulakukan?" desisnya.

Seberkas keraguan menyelimuti hati dan mendera pikirannya. Dia teringat pada seluruh permainan Pura-Pura Mati yang telah dilakukannya sejak berada di Bali. Betapa mudah baginya menghentikan detak jantung sehingga semua orang menganggapnya sudah benar-benar mati, lalu berdetak kembali, semudah menjentikkan jemari tangan.

Tapi bagaimana kalau kali ini dia tak kembali? Mati dan hilang selamanya...
Dia tak menceritakan kepada siapa pun, kegelisahan yang menderanya saat Pak Roberto tiba-tiba menyebut ramalan maut itu ketika mereka pertama kali datang ke aula Gema Lonceng. Dia berpura-pura tidak peduli agar teman-temanya tidak menjadi kalut.

Ramalan itu, akh, mungkin apa yang dikatakan oleh Megan dan Serena benar, sebaiknya dia tidak melakukan tarian Pura-Pura Mati itu. Namun andai dirinya tidak berpura-pura mati dalam tarian itu, hujan tidak akan turun dan seluruh penduduk desa ini akan mati. Bagaimana kalau dia pura-pura pingsan? Dia tak perlu menghentikan detak jantungnya.

Tidak, dia harus pura-pura mati, nature-nya harus demikian, dia mutlak harus menghentikan detak jantungnya – para penduduk desa harus tahu bahwa dia benar-benar mati – agar mereka 'terperangkap' dalam kesedihan yang murni. Kalau mereka tahu bahwa dia cuma pura-pura pingsan, pengaruh kesedihan itu tidak akan pernah tercipta dan seluruh pekerjaan bagus yang telah dimulai oleh seluruh penampil lain akan gagal total: tidak akan ada derai air mata dan itu berarti tidak akan ada hujan di Village of Endless Rain.

Dennis telah memperhatikan beberapa penampilan di atas panggung dan menurutnya, seluruh penampil telah melakukan bagian pekerjaan dan peran mereka dengan sangat baik sehingga titik-titik kesedihan yang dirasakan oleh para penduduk desa sudah begitu menumpuk di sana, dan tugasnyalah yang terakhir untuk mengeksekusi kesedihan itu agar tumpah-ruah dalam duka-nestapa yang berurai air mata.

Tapi kalau kau tak kembali, bagaimana, Dennis Reeves? Bagaimana kalau kau mati dan menghilang untuk selama-lamanya?

Dennis Reeves berusaha mencari-cari jawaban di dalam benaknya. Oh Tuhan, sebentar lagi kelompok Serena dan Megan akan tampil, dan setelah itu ... gilirannya. Segala sesuatu bergejolak di dalam pikirannya. Apalah arti kematian yang sebentar lagi akan terjadi padanya, tokh dia bisa menyelamatkan seluruh penduduk desa ini dari malapetaka dan kepunahan.

Dennis menoleh ke arah padang rumput yang terhampar di sebelah, pandangan matanya terbentur pada beberapa ekor burung pemakan bangkai yang sontak membuat perutnya seperti sedang digergaji. Dia melihat kilasan bayangannya sendiri tergeletak di jalan dan dipatuk-patuk oleh burung pemakan bangkai yang rakus.

Dennis menundukkan kepala dan menahan sebuah ingatan yang selama ini telah mengendap begitu lama di benaknya: Dokter Harris, wajah pria itu kembali melintas di benaknya. Bibir Dennis bergetar dan tiba-tiba saja kesedihan di hatinya tertumpah dan menyebabkan air matanya mengalir deras di pipi.

PURA-PURA MATIWhere stories live. Discover now