Patah hati Nara

585 66 5
                                    


"Kita memang tak pernah menduga jalan perasaan seseorang."


Rohmat duduk di bangku kayu anyaman menonton pertunjukan burung-burung kecil kesayangannya dalam sangkar. Sesekali ia bersiul dan menghentakkan ibu jari dan jari tengahnya hingga mengeluarkan bunyi.

Mendengar kicauan merdu itu mampu menghilangkan segala problem sejenak, apa lagi masalah kantor yang selalu sukses membuat urat kepalanya menegang.

Rohmat bangkit mengambil semprotan, menyemprot burung kecil bercorak biru dan hijau, memandikannya.

"Bambang," Rohmat bersiul.

"Udah gede yah anak bungsu, papa." Kata Rohmat matanya berhasil dibuat takjub oleh bentangan sayap Bambang.

"Enak aja anak bungsu, sejak kapan papa bermadu kasih dengan burung sih?" Athalla yang baru saja keluar menyahuti dengan sewot.

Athalla duduk memakai sepatu mengikat tali putih itu membentuk pita.

"Huss kalo ngomong."

"Lagian papa, Athalla cemburu lho pah, cemburu." Athalla menekan kata terakhir.

"Gak papa, gak mama, gak kak Shasa, semua sayang binatang, sayang Athallanya kapan, pa?" Ucap Athalla dramastis.

Rohmat memandang Bambang sesaat, menaruh semprotan ke tempatnya lalu duduk di samping Athalla.

Athalla cemberut, memajukan bibirnya beberapa senti membuat Rohmat menarik bibir pria itu.

"Ngambek-ngambek." Kata Rohmat.

Athalla menepis tangan Rohmat dari mulutnya, mengelus-elus bibirnya.

"Nih-- nih, biar gak ngambek." Rohmat mengeluarkan dompet kulitnya, mengambil lima lembar uang berwarna merah muda menaruhnya di tangan Athalla.

Athalla tersenyum tipis, dalam hati ia bersorak, tak sia-sia mengikuti kelas drama meski hanya sekali, nyatanya hal itu sukses membuat papanya terkesima dan tak sadar jika sedang di akali.

Athalla mengantongi uangnya, menyalami punggung tangan Rohmat lalu berlalu menuju motor metiknya.

"Jaketnya ketinggalan." Panggil Rohmat.

Athalla yang sudah duduk di atas motornya kembali turun dan mengambil jaket.

"Senyumnya mana anak papa yang ganteng." Goda Rohmat.

Athalla mengukir senyum lebar dengan terpaksa.

"Kan ganteng," puji Rohmat.

***

Jane duduk di bangku koridor kelas mengayun-ayunkan kakinya, sesekali ia memijit kening yang seolah tertarik kebelakang karena pusing. Ia menggerutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia lupa jika hari ini ada ulangan Kimia, gadis itu malah keasikan maraton series Korea favoritnya yang sedang buming akhir-akhir ini.

Jane membaca buku Kimia berulang-ulang, tebalnya buku itu sukses membuat gadis itu mual.

Jane mendengus sebal, beberapa materi yang ia baca tadi tidak ada yang masuk sedikit pun.

"Argh!" Jane menutup bukunya, menaruh di samping, gadis itu memejamkan matanya untuk menetralkan rasa pening. Sesekali ia memijat pangkal hidungnya.

Sebatang coklat menghalangi pandangannya saat mata gadis itu terbuka membuat Jane mengerutkan kening. Buru-buru ia tersadar, membenarkan duduknya.

"Nih, obat pusing."

"Kenapa gak kasih gue Bodrex atau Paramex aja? Kenapa harus coklat?" Tanya Jane.

Orang itu duduk di samping Jane menaruh coklat di paha gadis itu.

Nathalla [Selesai]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora