lapangan

414 44 0
                                    


Kaki Nara melangkah menelusuri lorong penghubung antar kelas. Sesekali ia menjawab sapaan ramah dari beberapa orang yang tak sengaja berpapasan dengannya.

Nara berdecak sebal, ia melipat tangannya di dada.

"Ra, maaf aku tau aku salah." Ucap Kinan lemah, berdiri di hadapan Nara.

Nara memutar matanya malas, rasa sakit itu kembali muncul ke permukaan.

Kinan menyodorkan novel di hadapan Nara, membuat alis Nara bertautan.

"Sebagai permintaan maaf," ucap Kinan. Cowok itu ingat bahwa Nara pernah memberitahunya tentang novel ini. Ia berinisiatif membelinya agar Nara senang.

Nara masih diam, tak merespon atau bahkan mengambil novel itu.

"Ra, aku mohon. Aku minta maaf sungguh-sungguh." Kinan semakin mengiba.

Dengan malas, Nara mengambil novel cover merah muda itu, lalu berlalu meninggalkan Kinan tanpa sepatah katapun.

Nara hanya ingin memberi efek jera pada Kinan, lagi pula sakit hati yang di alaminya jauh lebih besar dari ini.

Jika bicara soal rasa, mungkin masih tertinggal sedikit di hatinya. Mungkin jika tidak berjanji pada Athalla untuk move on Nara tak akan sesulit ini memaafkan dan kembali lagi kepada Kinan.

Nara hanya ingin menghargai Athalla yang sudah bersusah payah menghiburnya. Soal rasa, jika bisa hilang yah syukur, jika tidak pun Nara akan memikirkannya lagi nanti.

***

Sinar matahari hari ini sangat menyengat.

Cahayanya berhasil masuk melalui sela-sela lubang angin dan pantulan kaca jendela.

Beberapa siswa berbaring di lantai putih kelas, bagaikan ikan paus kekeringan. Sementara sebagian lagi sibuk mengipas-ngipas wajahnya menggunakana buku.

"Selamat pagi, anak-anak."

Kalimat itu mampu membuat seisi kelas panik, mereka beranjak dari tidur nyamannya. Berhamburan menuju tempat masing-masing.

Mereka menatap pak Endi pasrah.

"Abis ini berburu es tea mbak Intan, kayanya." ucap Somat sedikit berbisik kepada Bram.

"Kirain gue pak Endi sakit, udah seneng padahal." Kata Bram dengan wajah sebal.

Somat memukul belakang kepala pria di sampingnya, sedangkan sang pria hanya meringis kesakitan sembari memegangi belakang kepalanya. "Pak Endi denger mampus lo."

"Ya habis, dia mah kebiasaan. Mengganggu kenyamanan sultan terus." Sahut Bram, menekuk wajahnya.

"Iya tan, iya." Timpal Somat.

"Sultan, Mat, bukan setan." koreksi Bram.

"Lah, kapan gue bilang setan?"

"Tadi,"

"Kebanyakan makan es mambo kayanya lo, jadi budek, kan." Mamat menoyor kepala Bram.

Pak Endi berdiri di depan. Dengan mata tajam miliknya, ia menatap semua murid di hadapannya yang tengah tertunduk lesu.

Beliau mengenakan piama olahraga lengkap dengan bola basket yang terselip di ketiak tangan kanannya.

"Saya beri kalian waktu 20 menit untuk mengganti pakaian," perintah Pak Endi yang tak bisa di bantah. "Saya tunggu di lapangan."

Semua siswa mengangguk pasrah. "Jika ada yang telat, kalian terima konsekuensinya!" Tegasnya sembari berjalan keluar kelas.

"Selamat mati kepanasan, guys." Ucap Nara.

Nathalla [Selesai]Where stories live. Discover now