Bukti

305 36 3
                                    


"Lo percaya gak sama gue?" Tanya Nara.

Athalla yang tengah memberi makan kangkung kepada kelinci mamanya itu menoleh ke arah Nara sebentar.

"Udah gue bilang, gue selalu percaya sama lo,"

"Gimana kalo tuduhan mereka itu bener?"

Kali ini Athalla menatap Nara dengan lekat, menggeser posisi duduknya menghadap gadis itu.

"Gimana kalo gue terbukti bersalah udah bunuh Beby dan di penjara? Lo akan tetep mau jadi temen gue?"

Athalla menghembuskan napas berat. Ia paham betapa ketakutannya Nara saat ini, tapi menyalahkan diri bukan solusi. Apa lagi, gadis itu tidak melakukan apa-apa.

Athalla percaya Nara tidak bersalah. Ia juga yakin jika Nara hanya sekadar membantu Beby saat itu.

Tapi mereka juga tidak memiliki bukti kuat untuk menyanggah tuduhan dari pihak keluarga Beby.

"Gue gak percaya kalo lo pelakunya. Dan kalau pun iya lo pelakunya, gue akan tetap berada di pihak lo. Tapi itu mustahil sih, karna gue yakin Lo gak bersalah."

"Seyakin itu?"

Athalla mengangguk, "Kucing kejedot aja lo histeris, boro-boro bunuh orang."

Nara tersenyum, sangat tipis hingga tidak terlihat garisnya.

"Makasih yah. Makasih lo selalu ada buat gue." Nara mengucapkannya dengan tulus.

"Hm--" Athalla mengangguk. "Santai."

Nara mengelus punggung kelinci di pangkuannya, bulu halusnya membuat telapak tangan Nara geli.

"Kasih makan, biar cepet gede." Athalla menyodorkan kangkung ke Nara, agar gadis itu memberikannya pada kelinci di pangkuannya.

"Siapa tau nanti bisa bantuin mama cari duit,"

"Haha, mama lo kayanya lebih sayang kelinci yah dari pada anaknya sendiri."

Athalla mengangkat sebelah alisnya, "Mungkin,"

"Kandang-kandang mereka lebih terawat dari kamar lo," Nara tertawa.

Athalla sengaja mengajak Nara ke rumahnya, selain untuk menenangkan pikiran gadis itu, Karin juga sudah rindu setengah mampus pada Nara. Bahkan saat mengetahui Nara akan mampir, mamanya itu sibuk memasak makanan dan kue paling enak untuk Nara.

"Calon mantu udah akrab aja sama adik-adiknya Athalla," Karin yang baru saja tiba di taman belakang hanya tersenyum. Berdiri di depan pintu sembari menyaksikan keakraban mereka.

"Eh, Tante,"

"Makan yuk, cantik. Mama udah masakin makanan paling enak seantero Kompleks."

"Padahal Athalla lho anaknya, bukan Nara." Protes Athalla yang merasa di asingkan oleh mamanya sendiri.

Karin tak peduli dengan komentar anak bungsunya, ia malah menggandeng Nara masuk dengan terus melontarkan pujian pada calon mantu nya itu.

"Kalo aja kalian udah lulus, mama nikahin deh. Sayang banget anak cantik kaya gini kalo gak di angkat jadi mantu." Kata Karin.

Nara hanya tersenyum malu. Mama Athalla berhasil menenangkan pikiran Nara. Gadis itu bahkan lupa pada apa yang sejak kemarin mengganggu pikirannya.

***

Baru kali ini Jane mau di ajak bolos pelajaran.

Gadis itu berjalan di samping Fenly, tatapannya tak henti memantau sekeliling penuh waspada. Maklum saja, ini kali pertamanya membolos. Jika bukan karna Nara, tidak mungkin ia mau.

Fenly membuka pintu rooftop, mempersilahkan Jane masuk terlebih dulu.

Disana sudah ada Athalla, Jaka dan Wawan yang tengah menikmati panasnya sinar mentari pagi dengan keheningan.

Ketiganya hanya menatap kosong ke depan dengan pikiran masing-masing.

Jane menarik kursi kayu ke tempat yang sedikit teduh, lalu mendudukinya.

"Gue gak habis pikir sama keluarga Beby, jelas-jelas anaknya mati bunuh diri. Kenapa harus nyeret-nyeret Nara dalam persoalan ini, sih." Jane sudah dongkol sedari tadi. Tatapan gadis itu bahkan penuh amarah meskipun ia memandang ke sembarang arah, ke empat pria itu dapat jelas merasakan percikan amarah Jane.

Athalla membalikkan badan menatap Jane. Ia menyandarkan punggungnya di tembok pembatas rooftop.

"Gue gak ngerti beginian." Kata Wawan.

"Kita harus cari bukti kuat," Jaka menatap serius keempat temannya.

Wawan terdengar menghela napas, "Cari bukti kuat gak segampang cari obat kuat, Jaka."

"Ya, makannya itu, kita harus berusaha."

"Udah mati aja masih nyusahin orang." Maki Jane.

Fenly mengelus punggung Jane untuk meredakan amarah sang pacar.

"Jangan ngomong gitu, pacar."

"Kejadiannya dimana, sih?" Tanya Athalla.

"Loker," sahut Jane sekenanya.

"Jak, ikut gue ke sana,"

Jaka mengangguk, ia mengikuti langkah Athalla yang sudah dulu meninggalkan rooftop.

"Semoga masalahnya cepet selesai," gumam Jane.

***

Jaka dan Athalla berjalan menuju loker, mereka berharap dapat menemukan bukti di sana.

"Tha," Jaka menepuk pundak Athalla.

Athalla yang tengah dengan teliti mencari sesuatu, entah apa pun yang dapat di jadikan barang bukti di sekitar tempat kejadian itu menoleh.

"Hm,"

Jaka menunjuk sesuatu, Athalla yang kebingungan hanya mengikuti arah telunjuk Jaka dengan matanya.

Mata Athalla membulat sempurna.

"Cctv,"

"Hm," balas Jaka seadanya.

"Sejak kapan?"

Jaka mengangkat bahunya sebagai respon bahwa ia tidak tahu.

"Mungkin semenjak banyak siswa yang kehilangan barangnya di loker."

"Mungkin gak kalo--"

Belum sempat Athalla melanjutkan ucapannya, Jaka sudah mengangguk. Pria itu berjalan mendahului Athalla.

"Kita cek sekarang,"

***

Jaka dan Athalla sudah berada di ruang kepala sekolah. Mereka menceritakan semuanya kepada pak Joy.

Tentang mengapa Nara bisa dijadikan tersangka hingga kasusnya yang akan segera naik meja hijau.

Pak Joy kaget, begitu respon orang-orang yang mengetahuinya. Secara Nara adalah anak baik, gadis itu hanya berani membolos dan telat masuk sekolah saja tidak untuk tidak kejahatan.

"Bapak juga ada disana pas kejadian," pak Joy mengingat kejadian itu.

"Kalo Nara pelakunya gak mungkin dia histeris dan terlihat sangat panik saat kejadian. Harusnya dia pergi buat nyelametin diri dong." Ungkap pak Joy.

"Nah kan pak. Lagian Nara mana mungkin bertindak kriminal, di suru nyolong pulpen aja dia gak berani." Kata Athalla.

"Pak, boleh cek cctv loker pas tanggal kejadian?" Pinta Jaka.

Pak Joy mengangguk. Kepala sekolah itu dengan sigap membuka data cctv yang di pinta Jaka.

***

Vote+komen dong:)

Nathalla [Selesai]Where stories live. Discover now