Keandara

306 18 0
                                    


Halo guys aku bawa cerita baru setelah Nathalla 😙 aku kasih satu bab penuh yah disini kali aja kalian suka dan mau mampir ke sana

____

Kakiku mengayun dengan langkah lebar memasuki area rumah sakit. Entah hanya perasaanku saja, jarak parkiran ke ruang IGD terasa sangat jauh padahal sudah sedikit berlari.

Aku mengusap keringat di dahi, perasaan cemas terus meningkat seiring terkikisnya jarak. Irama jantungku bahkan sangat nyaring, detaknya terdengar oleh telinga.

Saat mendapatkan telepon dari ibu bahwa ayah kembali merasakan nyeri yang sangat hebat di dadanya dan langsung di larikan ke rumah sakit, otakku tak henti-hentinya memikirkan hal-hal buruk yang mungkin menimpa ayah. Bagaimana jika Allah panggil ayah? Apakah aku akan sanggup menjalankan hidup tanpa ayah?

"Bagaimana keadaan, ayah?" Tanyaku pada ibu saat tiba di hadapannya.

Ibu yang super tenang itu tersenyum. Meskipun aku tahu itu sebuah tipuan, ibu memang pandai mengemas luka dengan senyuman. Hingga aku selalu berpikir bahwa bidadari ku baik-baik saja. Nyatanya, ibu lebih banyak menyimpan luka dan beban.

"Doakan saja," ibu mengelus pundak ku, menyalurkan energi pada anak sulungnya.

"Ayah masih di tangani dokter di dalam."

Aku mengangguk, melipat tangan di bawah dada. Tatapanku tak lepas dari pintu kaca ruang IGD. Menunggu dokter keluar dan memberikan kabar baik.

***

Alhamdulillah, ayah sudah membaik. Beliau hanya perlu menunggu di pindahkan ke ruang rawat inap saja. Setidaknya aku sedikit tenang.

Sebenarnya aku ingin sekali menemani ayah, sayangnya ibu memintaku untuk pulang. Kebetulan sore ini aku harus kembali bekerja sebagai pelayan di sebuah coffishop.

Setelah pamit kepada ayah dan ibu aku keluar dari ruang IGD, tak enak juga jika lama-lama di ruang yang sangat dingin itu. Apa para perawat di sana tidak masuk angin yah, bertugas lama di dalam ruangan super dingin. Jika aku, mungkin setiap pulang kerja minta di kerik sama ibu. Salut sekali kepada mereka.

"Eh, maaf,"

Entah pikiranku sedang kemana, hingga jalan sambil melamun.

Pria yang tak sengaja aku tabrak tadi hanya tersenyum sangat tipis lalu melanjutkan perjalanannya.

Aku hanya menatap punggungnya sebentar, lalu kembali melanjutkan langkah.

***

"Bagaimana keadaan ayahmu?" Tanya Kak Riza di balik telepon.

"Alhamdulillah, kak, ayah tidak seburuk yang aku pikirkan."

"Jika mau, kamu boleh libur hari ini." Katanya.

Ah, ini yang aku suka. Bos ku ini sangat baik dan memahami karyawannya.

"Tidak perlu, kak." Tolakku dengan sangat sopan.

"Lho, kenapa? Bukannya kamu harus menjaga ayahmu?"

"Ayah sudah di jaga ibu, aku kerja saja. Gak enak sama kak Riza, nanti lama-lama aku ngelunjak lagi kalau kakak baikin terus, heheh."

"Ya sudah, kalau begitu saya tunggu di cafe sore ini."  Katanya sebelum menutup telepon.

Terdengar kurang sopan memang memanggil bos dengan sebutan 'Kak' tapi memang itu kemauannya. Katanya, "Kita itu sama-sama cari uang. Bedanya cuma di jabatan saja, tujuan mah sama. Jadi jangan panggil saya bos, malu sama Raffi Ahmad. Panggil Riza saja." Katanya.

Aku sempat menolak, karna yah sama seperti pendapat kalian. Tidak sopan. Tapi dia tetap kekeuh. "Kalau begitu, panggil saya Kak Riza saja. Kita kan hanya beda 3 tahun."

Nathalla [Selesai]Where stories live. Discover now