/17.11.18/ ○ 15:58

5.1K 829 740
                                    

¦campus expo¦



Jangan tanya Didi kenapa dia merasa perlu mematut dirinya dengan sekeren mungkin sebelum berangkat.

Barangkali dia hanya tidak ingin kalah saing saat berjalan bersama Zefanya.

Terkadang ia bingung apakah ia cemburu karena ingin seperti Zefan ataukah cemburu karena tidak ingin Zefan diperhatikan orang lain. (Jujur saja, pikiran ngaco itu suka terbersit semenjak Zefan confess padanya.)

Harus diakui, Zefan gampang menyita perhatian. Barangkali karena pemuda itu tinggi. Mencolok seperti mercusuar di tengah laut (iya, ini analogi terbaik yang bisa dipikirkan Didi). Atau juga barangkali karena—yah, begitu lah.

Pokoknya Didi suka kesal kalau harus membahasnya. Pun kadang-kadang, rasa iri tidak terelakkan. Oh Tuhan, banyak hal yang dimiliki Zefan yang ingin ia miliki juga.

.

"Argh."

.

Didi mengerang kecil. Zefan menekan kepalanya ke bawah saat ia tengah mencoba berjinjit setinggi mungkin.

"Lu ngapain. Belajar balet?"

Didi menggertakkan gigi kesal. Jelas Zefan hanya pura-pura tidak tahu soal apa yang sedang dia pikirkan. Tetangganya itu kembali berbincang dengan gadis di balik konter yang baru saja menarik mereka untuk menepi. Didi mencoba fokus.

"... boleh scan barcode-nya atau mau saya kirimin langsung link-nya? Habis isiin ini juga bakal dapet snack gratis lho. Mau yaa?"

Snack.

G r a t i s.

Mata Didi melotot pada tumpukan cokelat bar di sebuah bakul kecil di belakang konter. Baru saja Zefan hendak meminta maaf dan menolak, Didi sudah mengangguk dan memberikan kontak mereka untuk dikirimi tautan formulir elektronik oleh si mahasiswa psikologi.

"Di...."

"Terima kasih banyak! Nanti kalau sudah selesai diisi, silakan lapor ke sini lagi ya!"

Gadis itu berlalu untuk mencari target lain sementara Didi menatap layar ponselnya bingung. "Ini apaan, btw?"

Zefan ingin sekali menggaplok kepala bocah itu karena bahkan tidak menyimak sedari tadi. "Psikotes," jawabnya.

"Lah, gue belom belajar—"

"Cuma buat klasifikasi kepribadian," jelas Zefan gemas. Akhirnya tidak tahan untuk tidak mengusak rambut Didi. "Katanya bisa bantu nentuin prodi yang cocok buat lo ambil. Sekalian ngebantu data buat penelitian tugas akhir dia."

"Woah keren."

"Yeah."

Zefan menggulir layarnya tidak antusias. Rasa-rasanya ini mirip tes minat bakat yang ditawarkan bimbingan konseling kepada anak kelas tiga di sekolah mereka.

Bukannya Zefan tidak penasaran ataupun tidak ingin mengenali dirinya sendiri. Akan tetapi, ia pernah melihat keseluruhan hasil tes milik Oki. Butir pertanyaannya bahkan jauh lebih banyak dari soal Ujian Nasional.

"Kayaknya gua skip."

"Jangan wei!" sergah Didi cepat. "Isi aja cuy. Entar snack lu buat gua kalo lu ga mau," tambahnya enteng. Dengan semangat ngacir ke arah tribun supaya bisa mengisi tes dengan nyaman.



"AGHH SOALNYA GA ABIS-ABIS JEPP GIMANA INI."

"Gua bilang juga apa, anak setan."

SnackingWhere stories live. Discover now