/13.12.18/ ○ 18:48

5.1K 797 541
                                    

¦a date¦




Pusat kuliner di seberang kantor pos adalah tempat yang terlalu klise untuk berkencan. Tapi tolong jangan salahkan Didi. Dia benar-benar tidak punya terlalu banyak gagasan tentang bagaimana caranya berpacaran. Dan si Zefan juga cuma iya-iya saja.

"Nah, sekarang lo bisa mulai cicilan lo, Zefanjě!"

Wih.

Zefan mengaduk cangkirnya. Menilik ekspresi kreditur garang di depannya. "Serius?" Ia pura-pura mengernyit. "Tujuan lo pacaran sama gue cuma buat itu?"

"Ya enggak lah."

Dan respon itu cukup untuk membuat Zefan mengumbar cengiran senang.

Didi mendecih. Ia kan cuma penasaran  bagaimana metamorfosis Zefan menjadi homo. Di titik mana Zefan tersadar akan kegantengannya ini dan tidak bisa berpaling. Didi jadi penasaran apa pesona dirinya sebesar itu sampai menembus batasan gender.

Zefan menggaruk kepalanya. "Harus dari mana gua mulai...."

Didi hanya terus menatap Zefan lekat-lekat sambil menyedot jusnya lamat-lamat. Zefan mendesah malas. Dia bukan story-teller yang andal. Andai saja rol hidupnya berupa file mp4 yang bisa dikopi, ia tentu akan langsung mengirim salinannya saja pada Didi.

Zefan menyandar. Bergumam panjang mencoba mengingat-ingat. "Dulu, kayaknya gua sampai sempat mikir; gimana kalau lo itu cewek..."

Didi sedikit merinding. "Sumpah lu, Jep?"

"Yeah."

"Cewek kayak—"

"Kayak rambut bob, pinggang ramping, rok lipit pendek tinggal disingkap, Hadrianna—"

"Bacot, Zefanjě."

Didi jelas tahu bagaimana nada Zefan ketika sekadar menambah-nambahkan cerita.

"Nah, sampai akhirnya gue mutusin kalau itu nggak masalah, mau cewek atau cowok, kalau itu elu—yah." Zefan menjentikkan jari enteng. Mengakhiri ceritanya.

Didi melotot. Menghentak meja tak terima. "Gitu doang anjir?"

"Yaa kan nyicil."

Didi mengacak rambutnya frustrasi. "Apa lo—apa lo nggak pernah ragu, mikir kayak 'dih mana mungkin gua suka batangan' gitu?" desisnya.

"Pernah lah."

Kunyahan Didi pada burgernya melambat. Tanpa sadar kepalanya sedikit maju ke tengah meja. "Serius?"

Zefan malah ikut-ikutan maju. "Serius."

"Terus?"

Zefan meringis. "Intinya," katanya, "gue juga ngehabisin berbulan-bulan buat nerima kalau gue tertarik ke elu secara romantis, oke?"

"Nggak oke!" Didi mendecak. Rangkum saja sampai mampus, pikirnya. Padahal kan dia ingin mendengar fase di mana Zefan kelimpungan sampai mewawancarai seekor anjing, misalnya. "Gue pengen tau gimana caranya lo bisa bedain perasaan yang—" Didi menggerak-gerakkan tangannya tidak jelas. Bingung bagaimana harus menempatkan isi pikirannya ke dalam kalimat. Tapi sepertinya Zefan bisa menangkap apa yang ingin ia katakan.

"Yang itu ceritanya panjang."

"Zefan anjing."

Zefan ngakak. Melihat gurat protes di wajah Didi, ia akhirnya mencoba melanjutkan, "Gue kasih tau satu lagi, gimana?" tawarnya.

"Apa, apa?"

"Gue juga tertarik sama lo..."

Suara Zefan mendadak merendah. Gerak-gerik sok rahasia mengundang Didi untuk kembali mendekat.

"... secara seksual."

"FAK—"

Didi menatap ngeri, susah payah menelan makanannya. Tentu saja otaknya hanya bisa menghubungkan kata seksual dengan itu. Dan sebagai laki-laki sehat, Didi jelas tahu apa saja cakupannya.

"J-Jep lo—jangan bilang lo beneran pernah jadiin gue?!"

"Apa?"

"Fak, fakk Zefanjing—gue nggak mau dengar lanjutannya!"

Zefan ketawa. "Oke."

Setidaknya itu bisa membuat Didi tidak banyak menodong pertanyaan lagi untuk beberapa minggu ke depan.








A/n: Dasar Jepan mageran. Putusin aja, Di  //digebuk.

Selamat malam Senin! Stay safe and healthy you guys!

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang