/02.12.18/ ○ 17:13

4.9K 818 772
                                    

¦9 pm¦




Tegar sedang gitaran dan bernyanyi-nyanyi tidak jelas di bawah pohon bersama Kei ketika Zefan datang dan melemparkan kaosnya. "Tangkap, Gar."

"Weh, akhirnya baju gua—kok bau jigong." Tegar kemudian melirik ke belakang dan mendapati Riko dan Ron berjalan ke arah mereka. Ia ngakak. "Melautnya jauh ya, Rik? Tembus perbatasan Malaysia?"

Yang dibalas Riko dengan menendang pasir di dekat Tegar sampai menghambur masuk ke gitarnya. Tegar bersumpah serapah.

"Lagian dia bego gegayaan pengen ke PLTU di sana." Zefan menyeruput kelapa muda milik Kei yang menganggur. Lalu menyikut si empunya. "Mana pacar lu?"

"Heh. Tadi di situ." Kei menunjuk sebuah panggung kecil yang didirikan agak jauh dari mereka. Sedang ada pementasan teater bangsawan di sana. Sejak tadi suara lakon yang berkumandang dengan pengeras suara terus terdengar, membuat lagu yang ia dan Tegar nyanyikan tenggelam. "Gue sempat ikut nonton sebentar, tapi rame banget."

Zefan mengarahkan dagunya ke pinggir pantai. "Suruh amankan perahunya tuh."

"Dan suruh dia beli bensin," sambung Ron jengkel.

Panjang umur, si bocah yang bersangkutan tiba-tiba muncul. Menawarkan Kei dan yang lainnya untuk ikut bermain voli pantai. Zefan sudah akan beranjak ke lapangan pasir jika saja Didi tidak tiba-tiba berseru memanggilnya.

"Zef! Zef! Lihat nih, gue nemu keong!"

"Keong?" Zefan menghampiri Didi yang berjongkok di pasir. Mendapati anak itu tengah mengganggu seekor kelomang kecil yang mondar-mandir telanjang. "Kasih dia rumah, Di."

Didi mengangguk cepat seperti burung kakatua. "Bantu gue cariin cangkang yang keren!"

Zefan tersenyum meringis. Mau tidak mau teringat pada masa-masa sekolah dasar di mana mereka sering membeli hewan-hewan kecil yang dijajakan dengan cara yang aneh-aneh di dekat sekolah. Pemuda itu mulai menyusur untuk memunguti bekas cangkang kerang laut yang terdampar di sekitar mereka.

Kelomang itu tampak begitu mungil tanpa cangkang, mungkin hanya sekepala ibu jari. Calon-calon rumah barunya dijejerkan di hadapannya agar ia tinggal memilih.

"Hei. Sini," bisik Zefan. Sehati-hati mungkin menyodorkan cangkang. "Masuk sini."

Tapi artropoda imut-imut itu hanya berjalan melaluinya.

"Buruan masuk, tunawisma."

Dan Didi menoyor kepala tetangganya itu. "Jangan bikin Martin tersinggung, Zefanjě."

"Martin? Kedengaran maskulin." Zefan cukup antusias ketika melihat akhirnya kelomang itu masuk ke salah satu cangkang terbaik yang mereka tawarkan. Selera lu bagus, Tin. "Darimana lu tahu dia jantan?"

"Lah iya juga, kenapa gua nggak kepikiran? Hmm...."

Zefan hanya mengamati ketika Didi mengangkat kelomang itu dan menatapnya penuh selidik. Sepertinya sedang mencari titit. Setengah menit penyelidikan dan Didi akhirnya menyerah.

"Mending kasih nama yang uniseks kalo gitu." Didi memegangi dagunya. "Kayak, apa ya...."

"Juni? Dian?"

"....Zefanya gitu."

"Kenapa lo suka banget namain hewan peliharaan lo pake nama gua."

Didi mengerjap. Kemudian cengengesan ketika tersadar. Rasanya ia ingin guling-guling di pasir. "Abis lu kaya hewan."

"Tai."

Tapi nama lo bagus sih.







SnackingWhere stories live. Discover now