/15.06.18/ ○ 08:10

7.2K 1.1K 418
                                    

¦which dream?¦



Biasanya setiap libur begini, Didi akan datang ke rumah Zefan—nyaris setiap hari.

Entah bermain game atau dengan kurang ajarnya numpang sarapan jika mamanya Zefan memasak lauk yang enak—yang jelas Didi akan datang.

Namun, liburan semester sudah berjalan seminggu dan kurcaci itu belum juga nongol di rumah Zefan.

Jadi pagi ini, Zefan mendatangi rumah Didi. Pemuda jangkung itu berdiri di dekat pagar ruang Didi yang terbuka. Ngakak tertahan melihat tampang tertindas Didi yang sedang jongkok di halaman yang ditumbuhi rumput teki, sedang mencabuti rumput-rumput liar.

What a holiday.

"Jangan ketawa, setan."

Zefan resmi ngakak.

"Eh, Zef. Ngapain berdiri di situ kamu? Sini masuk."

Mamanya Didi yang sedang menyapu teras akhirnya menyadari keberadaan Zefan.

"Iya, masuk sini. Bantuin gua ngerumput."

Danger.

"Wah, boleh itu."

Lalu terdengar gonggongan.

"Nah, Anya aja sepakat."



"Asem lo, Di."

Didi cengengesan. "Cabutin yang bener. Sampe ke akar-akarnya."

"Gue tahu." Zefan menyeka keringat di dahinya. Tampangnya yang kucel karena belum mandi jadi semakin kucel karena sisa-sisa tanah di jemari dan peluh oleh matahari pagi.

Anya masih setia hadir di dekat Zefan. Mondar-mandir berlagak ingin membantu tapi berakhir mengganggu.

Seakar rumput liar kembali dilemparkan ke keranjang. Zefan menghela napas kesal lalu mendudukkan diri di alas rumput. Sikunya menumpu pada lutut sementara ia bertopang dagu. Memandangi Didi lekat.

Heran kenapa anak itu sejak tadi terkesan menghindari kontak mata dengannya.

"Di."

"Hmm?"

Nah kan. Dia menjawab tapi tidak berpaling sedikit pun dari rumput-rumput di dekat kakinya.

"Lo tumben nggak merusuh ke rumah gue. Kenapa?"

Sayangnya sebelum Didi menjawab, mereka sudah dipanggil oleh nyonya besar untuk sarapan.




"Kalian sarapan gih sana sama Okta. Ta! Olesin rotinya! Mama mau ke supermarket. Ada yang perlu dititip?"

"Enggak kok."

"Oke. Pergi dulu!" Terdengar suara klakson Ayah Didi dari luar. Mama Didi pun berlalu. Meninggalkan Zefan yang mengernyit saat melihat kakak perempuan Didi duduk manis di meja makan.

"Masih idup lo ternyata."

Okta menyipit padanya.

"OH GOD, ITU ELO ZEF?!" Okta membelalak seperti antagonis sinetron. "Baru dua tahun gue nggak liat lo dan lo udah setinggi itu."

Berisik seperti adiknya, as always.

Zefan mengambil kursi di seberang Okta. "Perasaan tinggi gue segini juga waktu lo berangkat ke Jawa. Lebay lo."

"Ya nggak lah. Lo tambah tinggi, jelas" Okta ngotot sambil mengolesi lembaran roti dengan selai Ceres choco hazelnut. "Iih, gue benci banget liat orang-orang jangkung kayak elo. Terintimidasi gue. Apa kabar juga adek gue yang nggak berkembang—"

SnackingOnde histórias criam vida. Descubra agora