/08.10.18/ ○ 07:30

6.6K 906 411
                                    

¦quarrel¦

Dendam Riko mungkin berkobar-kobar kemarin. Semalaman dihabiskannya untuk merumuskan  berbagai rencana beserta alternatifnya dalam rangka memberi Ron pelajaran. Namun ,begitu besok paginya masuk kelas, ia malah mengalami demotivasi untuk mengeksekusi segala plot busuknya tersebut.

Entah terbang ke mana semua kebenciannya kemarin.

Sekarang Riko duduk di kursinya. Teman semejanya—si Roni Wijaya itu—datang lima menit kemudian setelah bel masuk berbunyi.

"Sengaja telat lu, huh?" celetuk Riko.

Namun, Ron sama sekali tidak membalasnya. Anak itu hanya melepas ranselnya lalu duduk tak acuh.

Sebenarnya dikacangi oleh Ron adalah hal yang sangat biasa bagi Riko. Sudah jadi rutinitas—di mana Riko berbicara pada Ron dan seringnya diabaikan.

Well, mereka memang bukan teman semeja yang paling harmonis di kelas. Di tengah-tengah meja saja ada garis batas teritorial yang konkret—dibuat menggunakan correction pen atas deklarasi Roni Wijaya. Beserta keterangan kecil mengenai denda yang harus dibayar jika melintas tanpa izin. Undang-undang ini hanya  berlaku ketika jam pelajaran berlangsung.

Dan Riko harus akui kalau dia sering kena denda.

"Garisnya lebih dempet ke gue, kan ga adil"—itu pembelaan Riko setiap kali Ron menuntutnya.

Lagi pula, Ron itu berlebihan menurut Riko. Masa cuma karena siku Riko yang tidak sengaja melewati garis sekian milimeter saja langsung dipermasalahkan oleh Ron. Seandainya napas kasat mata, barangkali juga akan dicukai oleh Ron.

Namun, mengesampingkan segala protes Riko, Ron tetap rajin membukukan segala pelanggaran Riko. Dibuat dalam bentuk tabel, dengan urutan kolom-kolom sebagai berikut; tanggal, perihal, jumlah denda—yang mana setiap akhir bulan akan ditotalkan.

Menggelikkan sekali. Seolah Ron benar-benar percaya kalau suatu saat Riko akan melunaskan semuanya. Yang benar aja, pikir Riko.

"Hei." Riko mencoba memanggil sekali lagi dan tetap diabaikan. Selanjutnya dia menjulurkan tangannya dan mengetuk-ngetuk meja Roni. Tetap nihil reaksi.

"Ga mau nyatet denda gue nih?" pancing Riko, masih mengetuk-ngetuk.

Tegar, yang duduk di depan Riko, menoleh heran ke belakang. "Ga jadi gelut, Rik? Ga marah lagi?" tanyanya setengah tertawa.

"Marah lah. Tapi heran aja kenapa si pengkhianat ini malah kelihatan lebih marah daripada gue."

"Lo—"

"Hmm?"

Riko tersenyum puas saat akhirnya Ron berhasil terprovokasi. Anak itu menoleh padanya dengan alis tertaut dan gigi yang mengerat.

"Lo jangan seenaknya aja bilang gue pengkhianat. Rencana lo itu yang ga beres. Apa lo ga mikir gimana nanti reaksi Miranda ke gue nantinya."

"Kalo gitu, kenapa lo nggak protes dari awal?"

"Karena gue tau kalo lo bakal tetap maksa gue!"

"Bilang aja lo memang pengen merugikan gue."

"Terserah."

Tidak ada gunanya meladeni Riko. Ron kembali meluruskan pandang, ke arah guru sosiologinya yang tengah menjelaskan di depan.

Sementara itu, Zefan, Didi, dan Kei khusyuk menonton interaksi sosial disasosiatif itu dari bangku masing-masing. Sempat excited ketika Ron membalas argumen Riko, lalu mendesah kecewa saat akhirnya Ron berpaling.

SnackingWhere stories live. Discover now