/24.11.18/ ○ 16:21

4.1K 718 181
                                    

¦forgive me, for i am a fool¦

Ron bahkan tidak menghitung lagi sudah berapa hari Miranda bersikap dingin padanya. Cewek yang biasanya selalu nebeng motornya saat pergi dan pulang sekolah itu juga sudah jarang kelihatan di rumah.

Ron dengar-dengar sih, dia sibuk menghadiri bimbingan belajar, simulasi ujian, dan berbagai tetek bengek dalam rangka persiapan untuk masuk ke sekolah tinggi milik pemerintahan. Miranda adalah tipe-tipe siswa yang disiplin dan cukup detil dalam merencanakan masa depannya. Tidak seperti Ron yang bahkan masih kelupaan saja untuk mengikuti asesmen pengembangan diri yang ditawarkan bimbingan konseling.

Jadi, ketika Ron sore itu cukup beruntung untuk melihat Miranda tengah menyiram tanaman, ia langsung mepet ke pagar yang membatasi rumah mereka. Berdehem, "Mir."

Tidak terdengar sahutan. Kali ini Miranda sibuk mencabut tangkai-tangkai keladi yang layu. Entah gadis itu memang tidak mendengarnya atau sengaja mencuekinya.

"Mir!"

Ron menguatkan suaranya.

"MIRR??"

Gadis itu akhirnya meliriknya sinis, apa-anjing-?

Napas Ron tercekat. "Itu ... err, nggak ada bimbel hari ini?"

Miranda mengernyit. Seperti bertempur hebat dengan dirinya sendiri hanya untuk memutuskan apakah ia akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. "Nggak."

"Eh—oh, kalau besok?"

"Ada."

"Jam berapa?"

"Tiga."

"Ng ... mau gue anterin besok?"

Miranda mendelik. Ron merutuki dirinya sendiri.

"Apa mau lo?"

Miranda memotong basa-basi. Ron hanya bisa memasang cengiran gugup.

Tenang, tenang.

Setidaknya dia nggak ngacangin gue kayak sebelum-sebelumnya.

Miranda memang punya segala hak untuk marah. Ron mencoba mendaftar apa saja hal tolol yang sudah ia lakukan terhadap gadis itu; mengoper-oper dan mempermainkan perasaanya, kencan-kencan setting-an, lalu ditutup dengan meminta maaf pakai buket bunga rongsokan—Ron meringis sendiri mengingatnya.

"Gue minta maaf, Mir. Beneran. Maaf karena nggak bisa bales perasaan lo dan ... hal-hal aneh lainnya yang gue perbuat."

"Hem."

Ron agak waswas, sempat mengira selang di tangan Miranda terangkat untuk menyembur wajahnya. Untungnya gadis itu hanya ingin bergerak ke jejeran pot bugenvil. Menjauh dari pagar pembatas.

"Mir! Tunggu! Sebentar! Gue mohon!"

Biar saja Ron terlihat alay mengguncang-guncang pagar. Ia teringat apa yang pernah dikatakan Riko mengenai kiat-kiat untuk meluluhkan hati Miranda—

"Mantan gue itu rada prideful. Rendahkan diri lo sampai titik nadir. Kalau perlu bersimpuh dan biarkan ubun-ubun lu dikenyot."

—yang, tentu saja, adalah bohong.

(Terkutuklah Riko karena tidak pernah mau menjawabnya dengan serius).

Tapi Ron—sudah tidak peduli lagi. Biar ia tidak punya ketertarikan romantis terhadap Miranda, bukan berarti ia rela jika hubungan baiknya dengan tetangga sekaligus teman masa kecilnya itu berakhir tidak hangat seperti ini.

"Mir."

"Mir."

"Mir!"

"Berisik! Gua siram lu!"

SnackingWhere stories live. Discover now