/30.08.18/ ○ 07:05

6.9K 1.1K 477
                                    

¦confused¦




Didi mulai yakin kalau Zefan harus berobat.

Mencium seseorang bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarangan. Terlebih lagi jika mencium sesama lelaki, di bibir, saat jam pelajaran, dengan alasan pengen aja.

Meskipun Zefan mengambil buku cetak sejarah untuk menutupi aksinya kemarin—Didi yakin kalau imajinasi anak-anak sekelas sudah mumpuni untuk membayangkan apa yang sebenarnya terjadi.

Dan Didi juga yakin bahwa—setidak-tidaknya—ada 50% siswa kelas XII IPS 05 yang menyaksikan kejadian itu kemarin. Bagaimana tidak, Didi yang awalnya berteriak-teriak jenaka pasti menarik perhatian.

Apalagi Niki, cewek itu langsung melotot sambil menggigiti ujung bolpennya. Auranya laknat betul. Di sebelahnya, Kei hanya melirik sedikit. Mesem-mesem. Menyiratkan pemahaman yang luar biasa.

Ketika bel istirahat pertama berbunyi, Niki langsung jingkrak-jingkrak ke meja Zef (diiringi berbagai tatapan teman sekelas) lalu menarik brutal kerah baju pemuda itu.

"Yang tadi itu apa?! Yang tadi itu apa, Zefaaaaaaann?!"

"Apanya?" Zefan malah bertanya balik. Tingkat ketenangannya tidak wajar.

"Lo. Didi. Di balik buku AAAAAAA—"

"Oh? Yang gue bisikin sesuatu sama si Didi?"

Pernyataan itu sukses membuat orang-orang percaya tanpa syarat. Mereka kembali ke kesibukannya masing-masing. Hanya Niki yang memberenggut tidak puas.

Cewek maniak itu menatap Didi penuh tuntutan. Namun Didi hanya mengendik waktu itu—berusaha keras untuk tidak kalah kalem di saat saraf simpatiknya mencoba mengkhianatinya

"Weh, mau tau dong apa yang dibisikin." Riko datang memperkeruh tidak lama kemudian, dan Didi tidak ingin mengingat-ingat lagi sisa hari itu.

Terkadang, Didi tidak mengerti harus menganggap Zefan bercanda atau tidak.

Soalnya pemuda itu memang suka terlampau keji kalau bercanda.

Barangkali selain mengucapkan kata-kata menusuk—pekat akan sarkasme dan segala bebauan humor gelap lainnya—Zefan juga suka mewujudkan guyonannya ke dalam perbuatan ilegal yang penuh distorsi?

Oke, Didi berpikir terlalu jauh.

Tapi, siapa yang tahu?

Batas zona serius dan bercanda-nya Zefan rasanya terlalu bias.

Didi saat ini sedang duduk memperhatikan teman semejanya itu. Zefan tengah mengobrol dengan Tegar dan Kei.

"Ayolah Gar, temenin gue ke toilet."

"Gila lo ya. Ke toilet aja mesti gandengan."

"Nggak gandengan juga nggak apa-apa yang penting temenin gue—"

"Bukan gitu maksud gue goblok."

"—cepetan elah. Gue udah kebelet boker nih."

Zefan mengumpat. "Jangan ngomongin tai waktu gue lagi sarapan."

"Tau nih." Tegar mendorong Kei menjauh. "Sana lo pergi sendiri."

"Bentar lagi bel masuk bunyi, cuy."

Tegar menyipit. Mulai mengerti intensi busuk Kei. Kalau misalnya nanti pemuda itu telat masuk kelas, ia tidak sendiri.

"Ayolah, Gaaar." Kei sibuk membungkuk memegangi perutnya. "Atau lo deh Zef. Temenin gue kuy. Gue nggak bakal apa-apain lo di toilet. Janji."

"Yah, padahal gue pengen di apa-apain."

Didi yang duduk di sebelah diam-diam mendelik. Nah kan. Nah kan. Si Zefanjě memang suka bercanda sambil pasang wajah serius begitu.

"Ya udah. Nanti gue apa-apain dikit."

"Tapi gue masih sarapan."

"Gue tungguin deh—ugh."

Kei mati-matian menahan kontraksi. Hanya karena jam pertama itu Akuntansi (yang mana gurunya  sepertinya didatangkan langsung dari neraka) sehingga Kei benar-benar harus mencari backup untuk menghadapinya. Guru Akuntansi mereka terkenal tidak mau menoleransi alasan apa pun terkait keterlambatan. Dan Kei yakin bahwa nantinya ia pasti akan terlambat masuk.

Kei memisuh dalam hati kalau ia akan selfie saat buang air besar nanti sebagai bukti fisik bahwa urusannya sedemikian urgen sehingga tidak bisa ditunda.

"Cepetan!"

"Sarapan gue dua tahun."

"Mati aja lo sana." Kei mendadak melempar—menitipkan—kacamatanya pada Tegar. Langsung ngibrit ketika melihat Riko muncul di pintu kelas. "ALAM MEMANGGILKU, KETUA."

"Ya terus———WOY LEPASIN GUA ANJIR! Gue belum letakin tas! Nanti gue dikira telat!"

Setelah melemparkan tas Riko sembarangan (tas itu mendarat di meja guru, ngomong-ngomong), Kei praktis menarik Riko ke toilet pria. Seruan minta tolong Riko semakin lama terdengar semakin sayup.

Didi hanya menyipit ngeri melihat adegan itu. Dalam benaknya ia mencatat bahwa oknum Kei tampaknya berbahaya bagi kesehatan pria lurus.

(Didi tampaknya belum menyadari alasan sebenarnya Kei minta ditemani ke toilet.)

"Zef."

"Huh?" Zefan sebenarnya agak terkejut karena Didi mau mengajaknya bicara secepat itu pasca insiden kemarin.

"Jangan terlalu dekat sama si Kei."

Zefan terperangah. Tidak sadar saat sudut bibirnya naik sedikit. "Kenapa? Lo nggak suka?"

Didi menggeleng. "Bahaya tuh anak. Gila. Nanti lo makin parah."

Zefan mengernyit. Saat ia ingin melanjutkan, deringan bel keburu menginterupsi. Diikuti dengan suara Yohan yang berteriak;

"APA PUN YANG TERJADI GAES, JANGAN ADA YANG MINDAHIN TAS SI RIKO DARI MEJA GURU HAHAH."









A/n : Sorry karena banyak komen di chapter sebelumnya yang nggak saya balas.

Saya speechless karena diserbu di baris Cup, oke 🤣

Btw, thanks for the 100k viewers guys!

SnackingWhere stories live. Discover now