/12.09.18/ ○ 07:10

7K 1K 400
                                    

¦let's have a proper talk¦





Setiap kelas biasanya dipencar ke ruang ujian yang berbeda dan dibaur lagi dengan adik kelas atau pun kakak kelas.

Kemarin, Tegar dan Kei ber-hore ria mengetahui mereka ditempatkan di ruang ujian yang sama. Rencana bahu-membahu sudah dirancang sematang mungkin. Lalu akhirnya mereka harus memaki begitu melihat denah tempat duduk yang biadab. Tegar ditempatkan tepat di depan meja pengawas sementara Kei ditempatkan di jejeran bangku barisan kedua dari belakang.

"Lo masih mending di belakang. Lah gua," gerutu Tegar yang duduk di bangku kosong yang harusnya ditempati oleh teman semeja Kei. Mumpung orangnya belum datang. "Bergerak dikit langsung dipelototin."

"Tapi gue nggak ada nyiapin sontekan. Rencananya kan gue mau ngorek jawaban dari lo aja."

"Bangke. Kan gue udah nyuruh lo ringkasin vocabulary dari bab satu A. Gue yang bab satu B."

"Hem."

"Nggak jadi lo ringkas?"

Kei tidak menjawab. Masih sibuk menghirup  lem stik Kenko sambil menyandar santai ke kursi. Seolah tidak punya beban hidup.

"Si anying, ngelem pake Kenko. Lemah."

"Gue butuh menenangkan diri sebelum ujian."

"Bodo amat. Jadi beneran gak lo ringkas?"

"Males gue kemarin, bro."

"Mampus deh lo, bro."

Kei akhirnya menutup lem stik yang sejenak tadi dihirupnya bagai inhaler flu. "Ngomong-ngomong, lo sendiri memangnya beneran ngeringkas bab satu B?"

"Ya iyalah." Tegar mengeluarkan lipatan kertas kecil dari saku kemejanya. Membuka kertas itu dan menampakkan sederet hanzi dan pinyin beserta artinya yang ditulis semungil mungkin. "Gue nggak punya harapan di Mandarin. Paling banter, gue cuma bisa ngitung jumlah goresan."

Kei terbahak. "Ya udah, sontekannya buat gue aja. Toh lo nggak bisa pake juga."

Kei berusaha meraih catatan kecil  tersebut, tetapi Tegar segera menghindarkannya.

"Ogah. Mending gue buang daripada gue kasih ke elo."

"Ya elah, Gar. Tuh kertas lebih bermanfaat di tangan gue."

"Nggak mau gua. Minggir lo."

"Minggir lo."

Kei dan Tegar otomatis menoleh ketika mendengar suara intimidatif itu. Seorang adik kelas laki-laki berwajah familiar berdiri di samping kursi Tegar dengan ekspresi jengkel.

"Apa-apaan lo berdua."

"Ah." Kei segera melepaskan tangannya yang menahan pergelangan tangan Tegar. Tersenyum lebar. "Gue bisa jelasin. Tenang aja, kita berdua nggak ada hubungan apa-apa kok. Ya kan, Gar?"

"Bener."

"Tapi nggak tau sih kalo nanti sore."

Febrian semakin murka. "Gue nggak peduli sama hubungan lo berdua! Ini tempat duduk gue. Ngapain lo berdua di sini? Minggir."

"Oke," sahut Tegar santai. Ia membawa alat tulisnya dan berpindah duduk ke kursi (yang juga masih kosong) yang terletak di meja tepat di belakang meja Kei.

Febrian mengernyit jengkel pada Kei. "Minggir, buruan."

"Whoa, whoa. Ini tempat duduk gue."

"Jangan banyak bacot deh."

"Sebentar. Jangan bilang lo ngira bahwa gue nge-stalk elo dan nungguin lo di sini. Lo pikir gue seniat itu?"

Febrian yang diam dengan alis tertaut membuat Kei tertawa ringan. Kei pun meraih kartu ujiannya dan memampangkannya di depan wajah anak itu. "Kalo lo nggak percaya, nih nomor ujian gue. Silakan cocokin ke denah ruang ujian."

Febrian menarik kasar kartu itu dan beranjak menuju pintu tempat denah ditempelkan. Sesaat kemudian ia kembali. Lalu, dengan tidak ikhlas jiwa raga, ia duduk di samping Kei.

Kei mengambil kembali kartu ujiannya. "Belum siap menerima kenyataan kalo kita bakal semeja selama seminggu?"

"Berisik."

Kei bertopang dagu. Memperhatikan Febrian yang mengutak-atik kotak pensilnya. Setelah sesaat memperhatikan, akhirnya Kei tahu apa yang dicari-cari oleh adik kelasnya itu.

Kei menoleh ke belakang, pada Tegar. Menggerakkan mulut tanpa suara. "Pensil mekanik. Pinjem."

Tegar mengerutkan alisnya sebagai isyarat. Lo kan punya.

"Cepetan."

Tegar menyerah. Akhirnya mengambil salah satu pensil mekaniknya lalu mengopernya pada Kei.

Kei mengancungkan jempol pada Tegar. Kemudian beralih pada Febrian. "Ini yang lo butuhin?"

Sebuah pensil mekanik berwarna hijau disodorkan. Febrian bimbang ingin menerima bantuan tersebut atau tidak.

"Udah. Ambil aja."

Kei menarik tangan Febrian untuk menerima pensil tersebut.

"L-lo—jangan pegang-pegang!"

Di belakang, Tegar mulai berpikir untuk mencari kantong muntah.

"Masih judes aja," decak Kei. "Gue rasa kita perlu ngomong baik-baik mulai sekarang. Gue janji nggak akan mengungkit kejadian terompah itu lagi deh. Nama gue Keivel Achalendra, ngomong-ngomong."

Febrian tidak menyahut. Lebih sibuk menekan-nekan pensil untuk mengecek isi grafitnya.

"Lo bisa panggil gue Kei. Atau Sayang."

Bahkan sebagai pendengar belaka, Tegar bersumpah asam lambungnya naik.

Sementara itu, Febrian berusaha menahan hasrat untuk membenturkan kepala Kei ke kaki meja.

Kei cengar-cengir. "Nama lo Febrian kan. Lo pasti lahir bulan Februari. Samaan sama gue dong."

"Gue lahir bulan Mei."

Alis Kei terangkat. "Serius? Wah, beneran samaan sama gue kalo gitu."

Febrian otomatis menoleh dengan tatapan what-the-fuck.

"Gue beneran lahir bulan Mei. Yang pertama tadi gue bohong."

"Yang kedua gue juga bohong."

Kei tertawa singkat. "Lo kelas berapa?"

Namun, anak itu hanya memberi jari tengah sebagai jawaban.

"Oke. Nggak masalah kalo lo tetap nggak mau ngasih tahu. Gue bisa dapet informasi lebih dari sekadar nama lo dari biodata di LJK lo nanti."








A/n: Cringe banget si Kei—

Btw, glue stick Kenko benaran wangi sih. Gue dulu suka ngendus-ngendus tuh lem aowk. Tapi kayaknya bahaya. Jangan ditiru ya~

SnackingDonde viven las historias. Descúbrelo ahora