/02.12.18/ ○ 12:48

4.8K 832 702
                                    

¦nausea¦



Perjalanan menuju Kabupaten Tangkal harusnya hanya memakan waktu sekitar dua jam lebih. Namun karena kemacetan (yang memang biasa terjadi saat weekend) di beberapa titik sebelum mereka masuk pintu tol, perkiraan waktu menjadi molor.

"Kalau udah nemu pusat kotanya, kita masih perlu sekitar sejam lebih lagi buat sampai ke pantainya," kata Riko yang sedang meneliti sebuah majalah gaya hidup edisi lawas yang dibawanya. "Karena dari situ jalanannya bakal ... luar biasa jelek."

"Kalo gitu gue senang kebagian nyetir di dalam kota," sahut Zefan. Tidak jadi berkeluh kesah tentang betapa pegal kakinya menahan kopling di kemacetan tadi.

Kepala Didi menyembul di antara jok depan. "Memangnya lo pernah datang ke festival itu, Rik?"

"Belum. Makanya gua penasaran."

Zefan melirik peta digital. "Sebentar lagi keluar tol nih. Siapa yang gantiin gue?"

"Didi aja."

Didi memelototi Riko. "Udah minjem mobil gue dan lo masih berani jadiin gue sopir?"

"Jangan, Rik. Kasian. Nanti dia harus majuin kursinya sampe mentok setir."

Bantalan kepala jok kemudi ditinju dari belakang. "Bilang sekali lagi, Zefanjeng."

Maka begitu keluar dari pintu tol, Riko menggantikan Zefan untuk menyetir. Namun, baru beberapa belas kilometer melaju, dia sudah mendapat laporan dari Kei.

"Rik! Roni mual nih kayaknya."

"Hah?" Riko melirik spion tengah. "Kok bisa mual?" tanyanya tak percaya. Padahal masih sekitar dua jam mereka berada di dalam mobil. Jalanan yang mereka lalui juga tidak banyak liku-liku atau semacamnya.

Riko menepikan mobil di depan sebuah minimarket. Menoleh ke belakang. Ia bisa melihat wajah Ron pucat. "Ke depan sini."

"Hah?"

"Ke depan. Tukeran tempat duduk sama si Zefan."

"Nggak perlu." Ron mengibaskan tangan dengan letoy. "Lanjut aja."

"Ke depan buruan. Di belakang guncangannya lebih kuat." Riko mendecak. "Jangan sampe lo muntahin jok mobil orang."

Ron menyerah. Ia beranjak ke depan. Riko mematikan pendingin dan menyuruh agar semua jendela mobil dibuka.

"Gimana sih. Masih deket gini udah drop aja. Belum gua terusin sampe Aceh."

"Berisik."

Ron kemudian merasakan tangan Riko bertengger di bahunya.

"Bisa gua lanjut jalan? Apa mual banget?" Riko menggaruk kepala. Sejujurnya tidak tahu harus mengatakan apa. Sedikit banyak merasa bersalah juga mengingat ia yang memaksa Roni ikut tadi. "Lu rentan mabuk perjalanan ya?"

Ron menggeleng. "Gua cuma belum sarapan tadi," ringisnya. Dan melahap keripik serta berbagai makanan ringan lain ternyata hanya memperburuknya.

"Kenapa nggak ngomong, bego." Riko menyentil telinga Ron gemas. Melirik arlojinya. "Ini bahkan udah jam makan siang."

Sekarang Riko semakin bingung. Tidak mungkin juga ia menyuruh Ron untuk langsung makan. Lambung anak itu pasti menolaknya. Riko mencoba mengecek laci dasbor tapi tidak menemukan obat atau apa pun itu yang bisa membantunya.

"Woy, ada yang bawa minyak-minyakan atau apa gitu?"

Seisi mobil menggeleng.

"Shit." Riko buru-buru turun dari mobil begitu merasakan bahu Ron mengejang. Berniat menuntun Ron mencari selokan atau semacamnya.

"Minggir." Ron mendorong Riko yang berdiri di depannya sambil masih terus memegangi kepalanya yang pusing. "Gue bisa sendiri."

"Biarin diri lo dibantu kenapa, elah."

"Ugh, ga perlu...."

Kendati berkata begitu, tangan Ron yang tadinya mencoba mendorong bahu Riko perlahan menyerah. Kepalanya luar biasa berat dan akhirnya terkulai di di dada pemuda itu.

BLEGH.

Serr.

"—anjing."






"Fuck! Kimak! Argh!"

Riko mengumpat kasar. Memaki penuh rima. Kaosnya tercemar sampai ke celana.

Jangan tanya, manusia-manusia laknat yang masih di dalam mobil sudah mengakak tidak karuan sejak tadi.

Ron yang kini berdiri bertopang lutut juga masih sempat-sempatnya berbisik lemah, "Mampus lu anjing."

Bocah ini. Riko menggeram. Langsung menarik brutal leher kaos Ron. "Sengaja lu, ha setan?!"

"Ya enggak! Kan udah gue bilang dari tadi awas. Lu-nya aja yang nempel-nempelin gue, goblok!"

Riko mendecih. Melepaskan cengkramannya. Ia beranjak ke belakang mobil. Membuka bagasi dan mencari ranselnya untuk merogoh baju ganti. Lalu disambut oleh celotehan kurang ajar dari teman-temannya.

"HAHAHAH hari yang indah ya, Rik?"

"Jauh-jauh Rik, lu bau asam klorida."

"DEAR DIARY, GUE DIMUNTAHIN HARI INI AOWKWOKWWOK."

"Gue tebak, yang kuning-kuning itu pasti Cheetos yang tadi."

"Bangsat lo semua." Riko segera menutup pintu bagasi agar tawa para begundal itu teredam. Ia lalu melemparkan botol minumnya pada Ron.

"Kumuran lu sana."

Sebelum kemudian berjalan menuju minimarket untuk meminjam kamar kecil.






Riko keluar dari minimarket mengenakan kaos oblong dan celana karet pendek serta menenteng dua tas plastik. Ia mendapati genangan muntahan di dekat mobil tadi sudah disiram dengan—ia tebak—air minumnya. Karena botol itu kini sudah terguling di dasbor dalam keadaan hampir tandas.

"Lo langsung kelihatan sehat fisik-mental ya habis muntahin gue."

Ron berjengit. Senda guraunya dengan Tegar dan Didi jadi terhenti. Riko sudah berdiri di sampingnya, menyodorkan bungkusan plastik. Isinya air mineral, pil anti mabuk, minyak angin, dan sekotak full meal yang dihangatkan dengan microwave.

"Perut lu udah enakan?"

"Lumayan. Tapi kepala gua masih rada pening." Ron waswas ketika tangan Riko terangkat. "Apa lu—"

Tapi nyatanya pemuda itu hanya menyibak poninya untuk memijit dahinya dengan minyak angin. Lalu ke pelipis. Turun ke tengkuk. Menyusur naik ke ubun-ubun. Tidak bisa memungkiri kalau rambut Ron terasa menyenangkan untuk disentuh.

Ron meremang. Kepalanya mungkin merasa  senang. Tapi perutnya melilit sehingga ia menepis. "Berhenti. Gue ... jadi makin mual."

"Mending lo makan dulu kalo gitu."

"Oke." Ron mengambil kotak makanan itu. Mengerutkan dahi. "Makasih."

"Ha? Ga kedengeran!"

"Makasih!!"








A/n: Kayaknya bensin saya lagi penuh.

Atau mungkin semata-mata antusias buat nulis Riko dimuntahin lol.

SnackingWhere stories live. Discover now