/19.10.18/ ○ 11:09

7K 940 606
                                    

¦oh you're so loved¦




Semenit lagi bel pulang sekolah berbunyi. Riko sudah siaga. Mejanya sudah bersih. Bukunya yang tidak seberapa sudah dimasukkan aman ke dalam tas. Alat-alat tulis yang dipinjamnya juga sudah dikembalikan. Ransel sudah disandang.  Dia tinggal melesat keluar dari kelas ketika—

—melodi ala Westminster Chimes dengan sedikit modifikasi bergema di seluruh sekolah.

"Materinya kita lanjutkan lagi nanti. Sampai ketemu minggu depan."

Mata Riko terus mengikuti pergerakan sang guru yang kini sibuk membereskan barang-barangnya. Ketika guru itu akhirnya keluar dari kelas, Riko beranjak dari kursinya. Siap cabut secepat mungkin.

Sialnya, Ron langsung menarik ranselnya.

Riko mengumpat. "Lepasin, anjing."

"Buru-buru amat, Rik." Tegar nyengir lebar. Ia dan Ron kini berkoordinasi menahan kaki dan tangan Riko.

Di ujung sana, Yohan tertawa. Keras dan laknat. "Divisi keamanan, mana buruan! Dua orang jaga di luar!  Sisanya turunin tirai jendela, gaess! Pintunya ditutup!" komandonya penuh gairah. "Jangan lupa kunciin."

Setan.

Riko bersumpah serapah ketika beberapa anak bertampang jahat mendatanginya sambil menjinjing segulung tali kevlar.

Riko semakin memberontak. "Kenapa gua pake acara diikat segala anying?! Woy, Yohan bangsat!"

Yohan tertawa puas. "Soalnya lo licik." Ia kemudian melanjutkan instruksinya kepada anak-anak lain. "Bawain singgasananya ke sini! Letakin di tengah—yak, mantap!"

Sebuah kursi plastik berwarna biru—yang biasa ada di kantin—diseret ke depan kelas. Entah siapa yang mengangkutnya ke sini. Di tengah sandaran kursi ditempel kertas HVS F4 70 gsm bertuliskan "Happy Birdday Ricko Sicko" dengan word art oranye miring sana miring sini berlatar pelangi ngejreng dengan page border balon serta clipart kue dan siluet wanita di sisi kiri dan kanan.

Riko curiga kertas bodoh itu didesain oleh Zefan dengan asistensi Keivel Achalendra menggunakan Microsoft Word 2007.

"Divisi logistik keluarin semua bahannya! Eksekutor siap-siap!"

Beberapa butir telur, mentega manis, tepung terigu, dan tepung tapioka—yang masing-masing 500 gram (Riko tidak mengerti apa poinnya)—dijejerkan di atas meja.

Riko sesungguhnya sudah mengendus rencana busuk ini sejak seminggu yang lalu. Ia pura-pura tidak tahu saja dan sudah bertekad melarikan diri. Sayangnya memang sulit sekali untuk lepas dari cengkraman manusia-manusia berotak kriminal di kelasnya ini.

Ia sempat berencana tidak hadir hari ini—tapi sepertinya tidak ada gunanya. Riko tahu jalan pikiran teman-temannya. Jika tidak bisa hari ini, ya besok. Tidak mungkin presensi Riko harus kosong sampai sebulan hanya demi menghindari acara konyol ini.

Setelah tangan dan kaki Riko diikat, pemuda itu dipaksa melompat-lompat menuju singgasana kebesarannya.

Selama perjalanan menuju kursi, eksekutor beraksi dengan mengguyur air dan beberapa genggam tepung padanya. Pipinya dicolek mentega. Ron—salah satu eksekutor—tanpa belas kasih meretakkan dan menumpahkan telur ke atas kepalanya. "Met ultah, Ketua," sinisnya.

Lantai jadi licin. Untung ada yang berjalan di samping Riko—mengantisipasi kalau-kalau pemuda itu terjungkal dan butuh pertolongan.

Dari belakang kelas, Riko bisa mendengar suara gitar Tegar diselingi lirik lagu ulang tahun yang dinyanyikan dengan suara pas-pasan menjurus sumbang.

SnackingWhere stories live. Discover now