/22.05.18/ ○ 07:08

7.4K 1K 222
                                    

¦confirmation¦



Riko mengerang frustrasi. Ron terus mengikutinya sejak dia menginjakkan kaki di gerbang sekolah.

"Lo ngapain ngekor terus?" Riko menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Ron. "Udah berubah jadi penggemar gue? Sini, mana yang mau ditandatanganin?"

Ron menendang tulang kering Riko. Dia sudah mengatakan tujuannya sejak tadi, tapi Riko terus mengabaikannya. "Nggak usah pura-pura budek. Inget janji lo, njeng."

"Janji apaan?" Alis Riko terangkat main-main. "Janji suci?"

Tidak diragukan lagi, Ron ingin menggilas Riko dengan kereta dorong pengangkut alat kebersihan sekolah.

"Pagi-pagi udah mojok aja lo berdua."

Riko melirik. "Eh, anak setan. Datang juga lo ternyata."

"Ya datang lah. Ujian, bego."

"Gue kira lo niat ambil ujian susulan yang soalnya esai semua itu."

"Gila lo. Ujian susulan Bahasa Indonesia—bisa-bisa soalnya karanglah sebuah novel. Ngomong-ngomong, Didi udah datang?"

"Sekarang gue tanya, yang tetanggaan sama dia siapa?"

Zefan mendecak. "Gue cabut ke ruangan gue kalau gitu. Bye gaes."

"Hah? Woi, Zef! Tunggu sebentar—"

Zefan sudah melenggang seenaknya.

Riko mengernyit heran dengan tingkah Zefan.

Sementara itu, Ron kembali berusaha mendapatkan atensi Riki dengan mejentikkan jarinya. "Janji lo?"

"Apaan sih."

"Pura-pura lupa lagi," gerutu Ron. "Konfirmasi ke Tessa? Kan gue udah ikut program belajar bersama yang nggak jelas itu."

Riko mengusap rambutnya malas. Menghela napas, "Jadi, lo mau gue temuin dia?"

"Iya."

Riko mengedik. "Oke."

"Ikut gua."


Ron membawa Riko sampai ke depan sebuah ruang kelas yang sekarang tengah difungsikan sebagai ruang ujian.

Ron mengintip dari jendela. Lalu menarik kepala Riko supaya ikut serta melihat target mereka.

"Itu dia," bisik Ron.

"Iya, gue tahu orangnya. Lo kira gue kuper."

Ron mendecih. "Bagus kalau gitu. Sekarang  lo tinggal masuk dan jelasin sama dia."

Riko memasang tampang inosen yang menyebalkan. "Jelasin soal?"

"Yang waktu itu lo bajak hape gua lah, bego."

Dalam hati, Riko tertawa mendapati tampang jengkel Ron. "Roger. Perlu gue umumin ke satu kelas?"

"Nggak usah, bangke. Cukup ngomong langsung ke Tessa aja. Jangan memperumit masal—woi!"

Riko sudah keburu masuk ke ruang kelas itu.

Ron menggerutu. Tidak punya banyak pilihan, ia akhirnya mengamati dari sudut jendela panjang.

Riko tengah berdiri di depan kelas dengan percaya diri, membalas beberapa sapaan yang dilontarkan padanya.

"Weh, Rik. Bangsul, bayar utang lo."

"Lo salah masuk ruangan, goblok."

"Ribut lu pada. Ada yang mau gue bilang."

Riko kemudian berusaha mengumpulkan perhatian orang-orang—

—tunggu sebentar, orang-orang?


Anjeng lo, Rik.


"Dengar, semuanya. Gue ingin menyampaikan sesuatu kepada Tessa. Dan lo semua yang ada di sini jadi saksi."

Seisi ruangan mulai bergemuruh. Bisikan-bisikan kasar terdengar.

"Nembak nih kayaknya."

"Nggak diragukan lagi."

"Confession oh confession~"

Di luar sana, Ron ingin menggaruk kaca jendela.

"Jadi, gue ingin memberi konfirmasi kalau...."

Mata Riko tak sengaja bersirobok dengan Ron yang masih berdiri di salah satu sudut jendela—tapi kali ini dengan tampang seperti menahan boker.

Anak itu tampak berusaha menyampaikan sesuatu dengan isyarat tangan. Riko tertawa sedikit—tidak sengaja. Ia tahu apa yang ingin disampaikan Ron. Namun ia tetap melanjutkan,

"....kalau Roni Wijaya dari kelas XI IPS 05 adalah 100% maho."

Satu kelas terdiam dengan wajah gempar.

Ron membatu di sudut jendela.

Sayonara reputasi gua.




"Ron."

"Ron!"

Riko terus memanggil dan berusaha menyusul langkah cepat Ron.

"Ron! Sorry, oi."

Ron berusaha mengabaikan sepenuh hati. Bisa-bisa kepalanya meledak jika terus meladeni orang sinting di belakangnya itu.

"Ron. Roni! Gue minta maaf, oke? Yang tadi itu, gue cuma becanda."

"Lo kira lucu, setan?" balas Ron, namun tetap tidak berbalik dan terus melangkah menuju ruang ujiannya.

"Well, gue nggak nyangka reaksi mereka bakal kayak gitu," terang Riko. Masih setengah cengengesan. "Gue bisa kok, buat konfirmasi season dua."

Ron mengeratkan gigi. "Pikiran lo memang nggak beres."

Riko terkekeh. "Gue minta maaf, serius. Ron! Berhenti, hei."

Abaikan. Abaikan.

"Ron. Kalau lo marah ya marah aja. Nggak usah ditahan-tahan sok keren begitu. "

Abaikaaaan.

"Ron."

Sayangnya meski tidak diacuhkan, Riko tetap bersikeras memanggil.

"Ron!"

"Roni!"

"Roni Wijaya!"

"Siswanto."

.

B u a g h.




A/n : Mpus kan lu Rik, dibogem :v

SnackingUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum