/25.10.18/ ○ 12:44

6.3K 887 573
                                    

¦overthinking¦

Tegar tidak mengerti bagaimana cara pikiran Kei bekerja. Bisa-bisanya dia masih ingin bersua ria dengan orang yang sudah memaki-makinya di depan umum.

"Hei, gua duduk di sini, ya."

"Tempat duduk lain masih banyak."

"Galak amat, No. Si Joni mana, btw?"

Selepas perkara berita mading yang fenomenal itu, tampaknya Kei jadi punya banyak kenalan baru. Pengetahuan mengenai preferensi seksualnya juga menyebar luas ke seluruh penjuru sekolah.

Makanya Tegar tidak heran lagi saat merasakan punggungnya dihujani tatapan oleh seisi kantin saat ia lewat bersama Kei.

"Cari tempat lain, Kak," sengit Febri. Namun, sia-sia saja karena Kei sudah duduk dan meletakkan wadah styrofoam yang sejak tadi dibawanya. Dua orang temannya yang berdiri di belakang—yang Febri tidak tahu namanya dan tidak mau tau juga—ikut duduk si sebelah kiri dan kanan Kei.

Dengan posisi seperti itu, Kei jadi kelihatan seperti ketua geng. Febri mengasumsikan dua orang yang lainnya juga merupakan pengurus penting komunitas gay.

Ini dia. Ini dia yang ditakutkannya.

Kakak kelas homonya itu benar-benar memanggil komplotannya untuk menemui mereka. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.

"Si Joni mana?" ulang Kei bertanya.

Aldi mendelik. "Bukan urusan lu," desisnya tajam.

Kei terkekeh. Anak-anak ini berani garang padanya hanya ketika berada di tengah kerumunan. Mereka seolah merasa lebih aman. Coba bandingkan dengan kemarin, ketika mereka menunduk-nunduk tidak berdaya seperti hewan kurban siap sembelih.

Sementara itu, diam-diam Febri menyenggol kaki temannya itu di bawah meja. Akting sopan dikit, woy.

Namun sepertinya Aldi tidak menerima sinyal itu dengan baik.

Febri menghela napas gusar, mengedarkan pandang. Tidak sengaja matanya menangkap seseorang yang ia kenali merupakan teman Kei juga—yang terlibat dalam insiden pelemparan kertas kemarin. Orang itu duduk di sebuah meja, beberapa baris jaraknya dalam garis diagonal dari tempat Febri duduk, bersama dua orang temannya—satu yang jangkung, satu lagi sedang senyum-senyum tidak jelas sambil mengawasi mereka.

Febri merinding.

Mereka—jangan bilang satu persekongkolan juga sama si Kei ini?





"Si Kei ngincer dua-duanya atau gimana?"

Riko nyaris tersedak tawa mendengar pernyataan Ron. Ia mengunyah nasi di mulutnya lalu menelannya sebelum kemudian menjawab, "Cuma si Febri doang kayaknya. Lo ingat anaknya kan? Yang jadi wasit waktu perlombaan terompah."

"Gua lupa."

"Dasar pikun. Padahal lo kan sempat ikut gelud gegara keputusan dia yang katanya nggak adil."

Ron mengedik tidak peduli. Ia terus mengawasi meja tempat Kei, Tegar, dan Didi sedang duduk. Divisi Bemo kini tengah bergerak meski visi misi-nya tidak jelas. Cuma fooling around mengganggu adik kelas bernasib jelek yang bisa-bisanya ditarget oleh manusia abstrak macam Kei.

"Jangan diliatin banget, oi."

Ron mengabaikan Riko.

Bahkan dari jarak enam meter seperti ini, Ron bisa melihat ekspresi tidak nyaman yang kentara di wajah adik kelas tersebut.

Demiastaga, Ron tidak mengerti kenapa rasanya semua orang di sekitarnya perlahan-lahan menjadi homo.

Awalnya Kei. Lalu sekarangRon menoleh ke sampingnya. Zefan sedang anteng melahap makan siangnya.

Dari semua orang yang ada dalam circle-nya, Ron tidak pernah menyangka kalau Zefanya Pranata akan menjadi orang pertama yang mengikuti jejak sesat Kei.

Kalau Zefan suka sama Didi, berarti Didi juga

atau mungkin belum? Atau perasaan ni anak bertepuk sebelah tangan? Atau

Ron pening. Ia menyimpulkan bahwa—meski belum pasti—ada peluang bagi Didi untuk berubah juga jadi homo.

Jika itu sampai terjadi, artinya tinggal Ron, Tegar, dan Riko yang nantinya heteroseksual di lingkar pergaulan yang mereka sebut Heksagon.

Kalau menilik Tegar, pemuda itu sebetulnya juga cukup mencurigakan bagi Ron. Setahunya, Tegar tidak punya riwayat pacaran. Padahal tampang Tegar cukup standar, anaknya calm and collected, dan bisa main gitar juga adalah poin plus tersendiri. Pasti ada saja gadis yang tertarik dengannya. Seharusnya ada.

Kecuali, kalau dia yang memang tidak tertarik dengan gadis.

.

Ron menelan ludah.

Kalau begitu, yang tersisa di daftar tinggal dirinya dan Riko.

Ron melirik Riko dari ekor matanya.

.

Sesungguhnya, jika tidak ingat bahwa Riko tergila-gila pada Miranda, Ron akan mencurigai Riko sebagai kandidat yang paling potensial untuk memiliki preferensi seksual yang tidak biasa.

Kesampingkan segala tingkah tidak jelas dan jalan pikirannya yang absurd, lalu coba ingat bagaimana respon Riko begitu tahu bahwa Zefan menyukai Didi.

Si Gunardi itu menanggapi dengan santai seolah mengembangkan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis adalah insting natural yang lahir bersama setiap manusia.

Ron tidak bisa membayangkan jika nantinya Riko—katakanlah, menjadi homo (atau mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai homoseksual, yang mana pun itu)—

—Ron bahkan tidak ingin membayangkan siapa laki-laki malang yang nanti kiranya menjadi pasangan Riko—

—intinya bayangkan, bayangkan jika ketua mereka, si Yerikho Gunardi itu, berubah haluan menjadi pecinta sesama jenis. Heksagon bisa-bisa berubah menjadi semacam komunitas LGBTQ+ atau berubah nama menjadi Homogon.

Tidak.

Ron bukannya membeci kaum LGBTQ+—sama sekali bukan. Ia hanya tidak bisa membayangkan kehidupan di sekitarnya, orang-orang terdekatnya, berubah begitu drastis.

"Makan, bego. Ngelamun mulu."

Ron tersentak sedikit. Suara Riko mengembalikannya ke kesadaran.

Riko. Iya, Riko.

.

Jangan sampai si bedebah ini sekonyong-konyong jadi homo.

Impact-nya pasti besar ke Heksagon. Proyek-proyek tidak berfaedah yang digagasnya pasti bakal lebih aneh lagi ke depannya. Ron bisa membayangkan Riko akan menggerecokinya dengan kegiatan-kegiatan seperti kunjungan ke gay bar, register akun di situs kencan daring sesama jenis—oh, jangan sampai.

.

"Ngapain lu ngeliatin gua."

Ron mendengus. "Nggak."

.

Mending dia balik lagi aja sama Miranda.











A/n : Chapter ini penuh dengan narasi tidak jelas mengenai isi pikiran dan antisipasi Ron wkwkkw.

ps : ron, jangan terlalu ngehindarin sesuatu lho entar beneran kejadian

SnackingWhere stories live. Discover now