/11.12.18/ ○ 14:50

4.8K 800 514
                                    

¦short circuit¦




Riko baru tahu kalau tingkah kecil seseorang bisa sangat menarik untuk diperhatikan.

Oke, sebenarnya ini bukan perasaan baru baginya. Dulu, ia juga mendapati kalau gestur Miranda yang sekadar membenarkan poni belahnya terlihat sangat atraktif.

Hanya saja, Roni Wijaya punya poni yang rata. Dan ia hampir tidak pernah bermain-main dengan poninya. Namun, sekalinya pemuda itu melakukannya, Riko merasa itu lucu.

Maksud Riko, siapa juga yang tidak tergelitik melihat seseorang menjambak-jambak poni sendiri karena ketinggalan menyimak soal kuis yang didiktekan guru. Dan jelas-jelas teman semejanya itu terlalu gengsi untuk mencontek kertas Riko.

Heh.

.

Ah.

Riko mendecak. Mencoba fokus pada kertasnya sendiri.

.

Jangan sampai Ron memergoki kebiasaan kecilnya akhir-akhir ini. Jika sampai si poni rata itu kembali membuat deklarasi dan memasang harga untuk setiap lirikan yang dicuri Riko, bisa-bisa dia jadi orang kaya baru dalam waktu dekat.

Oke, gue mulai berlebihan. Riko meringis.

.

Kuis kilat itu berakhir. Kelas siang bubar pukul lima belas.

Dan, kalau boleh jujur, Riko punya kebiasaan aneh lain yang bertambah. Ia suka sengaja berjalan memutar melewati parkiran motor setiap pulang sekolah. Hanya untuk  memandang sekilas Honda Beat yang pernah lancang menyerempet mobilnya. Beruntung kalau sekalian ada pemiliknya nangkring di sana.

Ya, dan sekarang Riko sedang hoki.

Hanya saja Ron kelihatan seperti kesulitan di sana. Dan seperti biasa, si tukang nyengir itu selalu ... apa ya ... semacam terlonjak kecil jika mendapati Riko menghampirinya.

"Lo tahu, lo harus berhenti loncat-loncat kayak gitu setiap kali ketemu sama gue."

"Siapa yang loncat!" Ron menggertakkan gigi. Si Riko ini berisik sekali. Mengganggu saja. Ia kembali mencoba berulang kali menekan starter motor supaya bisa cepat-cepat cabut dari sini. Sayangnya mesin tak kunjung menyala.

"Motor lo kenapa?"

Ron melengos. "Starter-nya mati."

Riko berkomentar standar, "Akinya habis kali."

Ron hanya bergumam acuh tak acuh. Kali ini beralih untuk mengengkol motor tersebut. Sementara Riko hanya mengamati lampu-lampu panel yang masih menyala. Harusnya bukan aki, pikirnya.

"Argh!" Ron mengerang kesal. Engkolnya keras sekali. Salahnya juga sih karena jarang memakainya.

"Jangan dipaksa—woy. Udah, ke bengkel depan aja sana."

"Gue nggak bawa duit, njir."

Riko mengernyit sekilas. Ia undur sejenak untuk mengecek mobilnya yang terparkir di ujung sana. Sudah ada Rein yang menunggunya. Pemuda itu memberi isyarat agar adiknya itu jangan ke mana-mana.

Ia kembali pada Ron. "Ayo gua temenin ke bengkel."





Teknisi mengatakan bahwa ada korsleting di rangkaian starter motor, menyebabkan sekringnya putus. Mereka juga masih perlu mengecek lagi di bagian mana korsleting terjadi sebelum kemudian mengganti sekring baru.

"Ngerjain matic harus hati-hati, Bang. Balik ke sini sorean lagi aja. Atau besok juga boleh sih."

Ron mendesah malas. Ia sendiri bisa melihat ada beberapa motor lain yang sudah mengantri duluan untuk diservis.

"Mending lo pulang dulu kalo gitu," komentar Riko. Sejak tadi sibuk menolak panggilan yang masuk ke ponselnya. Adiknya sudah rewel. Ia memang sudah janji untuk mau mengantarkan Rein bertemu temannya sepulang sekolah. "Gua cabut dulu. Ini adek gua udah cerewet pasti."

Namun baru saja Riko berbalik, Ron buru-buru mencegatnya. Berdehem, "Rik—lo ... punya utang sama gue."

"Hah?" Riko perlu beberapa waktu untuk menggali memori. Sebelum kemudian tawanya hampir menyembur. "Maksud lo yang tiga rebu itu?"

"Sebenarnya udah ceban sekarang."

"Iya ya?"

"Iya!

Demi Tuhan, sesering apa memangnya ia melewati batas laknat itu?—Riko tidak pernah menghitung. Dia tidak pernah peduli juga sebenarnya.

Melihat respon Riko yang tidak jelas, Ron akhirnya menembak langsung maksudnya. "Intinya pinjemin gua ongkos buat pulang lah!"

"Lo minjem kayak minta pungli," cibir Riko. Enak saja si Ron ini memperlakukannya seperti aset lancar. "Ga ada duit gue."

"Hah?!" Ron melotot. "Jadi kenapa lo—" bisa-bisanya pede nemenin gua ke sini, anjir?

Ron mengutuk. Ia pikir tadi Riko berniat meminjamkan uangnya untuk biaya servis. Nyatanya—astaga, dasar bego. Untung saja motornya masih harus menginap.

Riko hanya menimpali, "Tapi lo bisa numpang kalau lo mau."





A/n: Chapter berikutnya udah sekitar 50% di draft, jadi mungkin bakal bisa update besok atau lusa~

SnackingWhere stories live. Discover now