/05.11.18/ ○ 08:22

5.2K 799 183
                                    

¦flower language¦


Riko tidak mengerti lagi mana yang lebih memusingkan, penjabaran materi oleh guru mandarinnya ataukah cerocosan teman sebangkunya.

"Apa yang biasanya lo lakuin kalo dia ngambek separah itu?"

"Gua cium."

"Serius, bangsat!"

Riko mendesah malas. Melirik daftar kosakata yang sedang dicontohkan pengucapannya di depan sana. Nada-nada yang sampai sekarang tidak pernah bisa dilafalkan Riko (serta tiga perempat siswa kelas ini) dengan benar.

"Gue udah ngomong langsung. Gue udah minta maaf juga lewat chat. Cuma di-read."

Ron mengacak kasar rambutnya. Bisa-bisanya Miranda lebih mudah mengampuni Kei daripada dirinya. Pemuda berkacamata itu langsung menemui Miranda sehari setelah insiden konyol itu. Menghampiri kelas gadis itu saat jam istirahat untuk meminta maaf sekaligus melapor bahwa ia sudah menghapus video laknat tersebut. Dan masalah langsung kelar dengan cepat.

Sementara Ron sampai sekarang masih diabaikan. Ini sudah seminggu lebih, astaga.

"Lo kan pernah pacaran lumayan lama sama dia," mulai Ron lagi. "Apa yang biasa lo lakuin buat minta maaf kalau kalian lagi marahan?"

"Hmm, coba gua ingat-ingat dulu...." Riko tampak tak serius menanggapi. Ia sibuk mengisengi Tegar yang duduk di depannya. Diam-diam menempeli punggung pemuda itu dengan kertas memo bertuliskan kata-kata nista.

Sayangnya, Tegar sadar dan balas melempar gumpalan kertas ke belakang. Tepat mengenai wajah Riko.

"Bangsat, Gar."

"Mampus lu."

Aksi mereka mengundang perhatian sang guru.

"不要那么吵!"

"Shit, dia ngomong apa lagi," gumam Riko pelan. Rasanya seperti sang guru sedang merapalkan mantra untuk mengutuknya.

"Jangan ribut, paling."

Riko menatap Ron horor. Lo ngerti?

Namun, Ron tidak memedulikan tatapan itu. Ia masih ingin membahas soal Miranda. "Lo tahu ... gue bahkan kepikiran buat ngasih bunga."

Apa?

"Katanya hydrangea melambangkan permintaan maaf."

Riko menahan diri agar tidak meledakkan tawanya.

"Pfft."

"Habisnya gue nggak tau lagi harus gimana!" potong Ron cepat. Wajahnya panas. Jika tidak mengingat batas wilayah mereka, ia pasti sudah menoyor Riko.

Ron menggertakkan gigi. "Lo nggak tahu aja—dia bahkan bilang kalau dia nggak bakal naksir gue lagi."

Miranda bukan sekadar marah. Gadis itu sakit hati. Ron benar-benar merasa bersalah tapi si Riko ini bisa-bisanya hanya cekikikan.

"Gue bingung, mending kasih hydrangea merah atau biru ya. Yang merah artinya apa ya? Apa sekadar permintaan maaf atau ada arti lain?"

Ron harus hati-hati. Biasanya bunga warna merah juga identik dengan pesan cinta. Ia tidak ingin Miranda salah paham.

"Artinya tanah tempat dia tumbuh bersifat asam."

Ron memutar bola mata. Tidak ada gunanya berkonsultasi dengan Riko. Lebih baik ia googling lagi saja. Namun kegiatannya itu harus terjeda karena Riko mendadak menarik ponselnya.

"Gopek!"

"Well, gopek buat satu unit hape rasanya cukup adil buat gua."

Ron menggeram kesal. "Apa sih masalah lo," desisnya. "Balikin."

"Padahal gue mau ngebantuin." Riko pura-pura menghela napas kecewa. "Tahu nggak,  ada tempat di mana lo bisa dapetin hydrangea secara gratis."

Sinar mata Ron perlahan berubah antusias. "Di mana?"

Riko mengembalikan ponsel anak itu. Mengulum senyum. "Pulang sekolah nanti, ikut gua deh."


A/n: ahem, gua juga mau ik0t dong rik.

SnackingWhere stories live. Discover now