/03.12.18/ ○ 07:07

4.7K 766 327
                                    

¦why tho¦





Akhir-akhir ini, Didi mulai berpikir kalau jangan-jangan bacotan si Syalala Bot itu benar.

.

Jangan-jangan dia memang berjodoh dengan Alessia.

.

Didi bercanda.

.

Ia menghela napas panjang. Menatap Anya yang ia perintahkan—paksa—agar duduk patuh di depannya. Untuk diinterogasi singkat sebelum ia harus berangkat ke sekolah. Dia dan Anya perlu bicara. Empat mata. Serius.

Didi berdehem. "Nya, kenapa lu bisa suka sama si Zefan?"

"Woof!"

"Maksud gue, terlepas dari nama kalian yang sama—err, mirip, yah ... kenapa lo bisa suka...?" Didi menggerak-gerakkan tangannya dengan gestur terpatah-patah. Tidak mengerti bagaimana harus menjelaskan. "...dia lebih baik dari gue apa?"

"Woof!"

Kalau ada Zefan di sini, Didi yakin si berengsek itu akan menerjemahkannya sebagai benar.

"Kasih gua alasan yang kuat, Nya! Lu anjing dan dia manusia! Gue cowok dan dia cowok! Hee, jangan lari!"

Didi buru-buru menahan Anya agar kembali ke posisi semula. Beradu pandang lurus-lurus dengan sepasang netra biru cerah itu.

"Atau jangan-jangan jenis suka lu beda ya?"

Tentu saja Didi tidak mendapat jawaban yang berarti. Kalau saja ada Zefan di sini, pemuda itu pasti akan mengartikan tatapan Anya sebagai tolong-bawa-tuanku-ke-puskesmas. Kemudian supaya dirujuk ke rumah sakit jiwa.

Didi menyerah.

Tentu saja, dia harus mencari referensi ke sesama manusia. Tapi siapa juga orang yang suka sama Zefan?







"KIIIIIIIIIII."

"KENAPA LO BISA SUKA SAMA ZEFANJĚ?"

"KAMPRET!!!"

Catatan keuangan harus diabaikan sebentar karena Oki perlu membekap muncung Didi.

"Jangan asal ngomong lu boncel!"

"—mmph!" Alis Didi berkerut protes pada Oki. Ia heran kenapa pula gadis itu merasa perlu sebegitu paniknya. Sekolah sudah bubar sejak setengah jam yang lalu. Kelas sudah sepi. Dan pemuda bersangkutan yang tengah mereka bicarakan juga sudah dipaksa Didi untuk pulang duluan sejak tadi.

"Siapa yang suka siapa?"

"Berisik, Han!"

Oke, tapi yang tersisa di ruangan mereka juga cuma perangkat kelas yang baru saja menyelesaikan rapat singkat mereka perkara logo dan identitas kelas.

Begitu bekapan Oki terlepas, Didi langsung memborong lagi dengan pertanyaan, "Kenapa lo bisa suka sama si Zef?"

"Apanya?! Gue ga suka sama dia ya!"

"Heh."

"Diem, Hannn ih!"

"Halah, bohong," timpal Didi semakin yakin.

Alessia terkikik sementara Oki mempertimbangkan haruskah ia menampol si cilik itu dengan jurnal akuntansi.

"Padahal lo kalo ngode keras banget, Ki."

"Itu—itu cuma main-main!" Oki memelototi si ketua kelas. "Mending lu teleponan lagi sana sama si XYZ Clothing itu! Nggak usah nimbrung-nimbrung!"

"Ini baru mau gue kontak lagi. Bawa catetannya sini, Ken." Yohan berjalan ke dekat jendela. "Silakan dilanjutin, btw. Gue akan berpura-pura nggak mendengar obrolan kalian."

Sementara Oki mendongkol, Didi melanjutkan dengan riang. Asyik juga menggoda Oki. "Jadi, Ki? Lo suka Zef kan?"

"Enggak!"

"Kenapa bisa suka?"

"Gue enggak suka dia." Hanya karena Alessia terus-menerus menyikutnya, Oki akhirnya meralat, "Oke ... mungkin sedikit."

Didi menyandarkan dagu ke atas meja. Mengernyit. Heran kenapa penyangkalan gadis ini sungguh terasa familiar.

Oki buru-buru memberondong, "Maksud gua, gua nggak naksir! Oke naksir dikit doangg—tapi gua nggak pernah ngarep buat pacaran sama dia atau apa pun itu ya!
Ngapain juga gua pacaran sama manusia letoy, non partisipatif, dan tukang ngemis alat tulis itu! Well, kalo dia mau sih oke aja tapi—"

Oki memaki ketika si cebol itu menyengir dari kuping ke kuping, "—gue cuma sebatas kagum!" pekiknya tak terima.

Kali ini Didi hampir terjungkir dari kursi. "Kagum???"

"I-iya." Oki memilin-milin lembaran catatannya. Ragu-ragu untuk melanjut. Tetapi karena kepalang sudah tercebur, sekalian basah saja. "Ehm, gimana ya ... di balik sifatnya yang ngeselin dan mulutnya yang nggak punya akal budi ... sebenarnya ... menurut gua ... dia orang yang cukup proper."

Prop—apa?

Didi mengecek kamus elektronik. Kemudian menggeleng-geleng.

Yang benar saja. Dasar Oki.

Yang proper itu tipe-tipe yang seperti Tegar, Evan, ... atau minimal gue lah. Ini malah Zefanjing.

Ck, ck.

"Bilang aja temen gua ganteng."

Oki membuang muka. "Standar!"

Didi ngakak.

Nah kan. Proper-proper segala.

Lagi pula, memangnya tingkah baik apa yang pernah dilakukan si Zefan itu?

Okelah mungkin dia pernah memberi saran mengenai cara menembak cewek pada Didi. Tapi itu juga karena dia sudah yakin Didi akan ditolak! Dasar jahat.

Dan kalau aja lo tahu berapa kali dia pernah cium gue tanpa izin! Proper dari mananya!

Tapi, argh. Didi mengerang, tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar merasa keberatan. Dan justru lebih merasa terganggu ketika mendapati ada orang yang mampu mendeskripsikan Zefanya Pranata sebaik dirinya.

Didi mengacak rambutnya kasar. Oh Tuhan, yang benar saja—

"Di?"

Oki mengernyit ketika ekspresi wajah Didi berubah-ubah sendiri. Mulai dari bingung, memberenggut, suntuk, kemudian penuh determinasi.

"Kenapa lu?"

Didi menggeleng. "Nggak apa-apa."

Ia menghela napas. Kayaknya ia memang perlu mengobrolkan hal ini pada Zef.









A/n: Semangat Oki. Ada yang ngegebet kamu diam-diam kok #aciat

SnackingWhere stories live. Discover now