/17.05.18/ ○ 11:44

7.7K 1.1K 112
                                    

¦punishment chain¦


Pak Heri, guru matematika, yang sejak tadi menerangkan contoh soal sudah mengawasi komplotan di barisan terbelakang ruang kelas.

Kumpulan bandit yang—Pak Heri yakin—pasti tidak pernah berprilaku beres di mata pelajaran mana pun.

"Itu yang di belakang." Pak Heri berdehem. Jarinya mulai menunjuk. "Sudut kanan saya. Yang dekat jendela. Satu, dua, tiga. Ke depan."

Riko, Ron, Tegar, Didi dan Zefan menoleh ke depan bersamaan.

Cengir-cengir tiga orang yang ditunjuk berganti dengan decakan dan wajah memelas yang minta ditabok.

"Kerjakan soal-soal ini."

Beberapa butir soal berkenaan dengan limit sudah tersedia di papan tulis.

"Saya nggak tahu kalian itu arisan atau apa di belakang sana. Tapi karena kalian tidak memerhatikan penjelasan saya, saya asumsikan kalian sudah mengerti materi ini."

"Astaga, Pak. Kami padahal sedang mendiskusikan contoh soal di depan." Tegar berusaha membela diri penuh dusta.

"Bagus. Kalau begitu silahkan tuangkan hasil diskusi kalian itu ke papan tulis."

Tegar mati kutu.

Riko dengan santainya mengibaskan tangan. "Easy, Pak." Wajah mode senggak. "Ayo kita tuangkan, Gar."

Tegar bersumpah ingin sekali melempar Riko keluar jendela. Ia berbisik sangsi, "Memangnya lo ngerti, 'sat?"

"Aman. Tinggal substitusi x. Gue dengar dikit tadi," bisik Riko balik.

Tegar dan Riko akhirnya maju ke depan sambil senggol-senggolan bahu.

"Eh, itu yang kecil." Pak Heri menyipit. "Kamu juga maju ke depan. Cepat. Kerjakan contoh soal nomor empat."

Didi melengos benci saat seisi kelas tertawa. Dengan berat hati melangkah menuju papan tulis.

Ketiga orang itu berjejer di depan papan tulis. Tangan memegang spidol terangkat ke atas. Bisik-bisik sebentar sebelum kemudian Riko mulai menulis, dan dua sisanya menyusul.

Semenit kemudian, soal selesai dikerjakan.

"Okesip, Pak. Hasilnya enol. Boleh kami duduk sekarang?" tembak Didi ketika ia selesai menuliskan jawabannya.

"Saya juga dapetnya nol, Pak."

"Nol kalian bilang?" Pak Heri berusaha keras meredam tensi. Rasanya ingin sekali ia mengirim anak-anak gila ini langsung ke kantor kepala sekolah.

"Saya sudah jelaskan apa yang harus dilakukan jika hasil akhirnya nol kan? Kalian nggak dengar tadi?"

Ketiga orang itu menggeleng serentak bagai boyben.

"Itulah akibatnya jika kalian tidak memperhatikan pelajaran. Kalian—astaga, saya sudah bosan sekali. Bosan sekali melihat kalian. Asal masuk ke kelas ini, ya, kalian selalu berisik. Kalian nggak punya niat belajar, ha? Bisa cepat mati saya jika terus jumpa kalian. Sebenarnya kalian ngapain aja di belakang, huh?"

Zefan ngakak di bangkunya. Didi yang melihatnya segera mengancungkan jari tengah sembunyi-sembunyi.

Dan,

"Pak! Zef juga ribut bareng kita. Kenapa kita doang yang dipanggil?"

Zefan Kundang membatu di tempat duduknya.

Riko menyeringai setan. "Itu dia yang dari tadi pengen saya bilang."

"Iyes, Pak. Tadi kami diskusi berempat. Sama Zefan. Si Zef sambil ngopi lagi, Pak. Kalo Bapak nggak percaya, liat aja di lacinya. Ada cangkir styrofoam," tambah Tegar.

Alis Pak Heri terangkat. "Yang mana itu Zefan?"

.

"Yang duduk di  depan bangku Riko, Pak. Yang lagi main hape."

.

"Yang barusan ngomong, Pak."
—Yohan Dharmawijaya, dengan nada girang.

Zefan langsung memberi gestur potong leher pada si ketua kelas sialan.

"Zefan, maju. Perbaiki jawaban temanmu."

Zefan menelan ludah. Dengan gerakan malas yang sangat kentara, ia beranjak dari kursinya. "Ngomong-ngomong, yang saya bilang main hape tadi itu namanya Roni. Nggak dipanggil sekalian, Pak?"

"Mana ada gua main hape!" Ron heboh membantah. "Saya nggak lagi main hape, Pak. Bapak bisa lihat sendiri kan?"

"Well, dia langsung nyimpen hapenya sedetik setelah dilapor sama Zef," bantu Riko. Tersenyum licik. "Dari tadi dia chatting-an kok, Pak. Sama cewek dari kelas XI-IPA-03."

Zefan terbahak. "Mau saya panggilin ceweknya ke sini, Pak?"

Seisi kelas seketika semangat mendengarnya.

"PANGGIL ... PANGGIL."

"PANGGIL AJA, PAAK."

"KITA KAWINKAN, PAK."

"BUAT PENANGKARAN, PAK."

"WEH, CEWEKNYA SIAPA? SEBUT NAMA DONG, ZEF."

"Lo bantu gue perbaikin ni jawaban, gue kasih tau lo nama terangnya."

"ASU. NGGAK JADI MAKASIH."

"Yaelah. Si Zefan mana tahu."

"JADI LO YANG TAU, RIK? SEBUT DONG."

"IYA SEBUUT."

"SEBUUT."

"Ngek."

Satu kelas langsung menyoraki Riko.

"AH NGGAK ASIK LO RIK—"

.

"DIAM!!!"

.

Suara Pak Heri menggelegar. Amarah benar-benar sudah di ubun-ubunnya. Seisi kelas seketika hening.

Pak Heri berdehem. "Roni, maju."

"Tapi Pak—"

"Maju!!"

Empat cowok di depan terkekeh-kekeh.

"Pak. Serius, saya nggak—"

"Saya bilang maju, ya maju!"

"Pak—"

"Majuuu elah, Roon!"

"MAJU WOI."

"Ga usah banyak cincong."

Didesak satu kelas, Ron terpaksa ikut maju. Di depan, ia disambut dengan senang hati oleh teman-teman satu komplotannya. Bahunya ditepuk dan dirangkul sok akrab.

"Gini kan enak."

"Tai lo semua."

"Jadi, gimana kabar cewek lu, my man?"

"Gara-gara lo bangsat," sembur Ron. "Jadi dikira maho gue masa."

Riko ngakak. "Sama-sama," ucapnya menyebalkan. Ia menyerahkan spidol pada Ron. "Nih, tuangkan."

"Diem lu, lontong."




A/n : Chapter ini agak membosankan, huh

SnackingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt