/17.12.18/ ○ 07:27

4.7K 753 398
                                    

¦strokes¦




Ron sedang membahas kumpulan soal tahun lalu di ruang ujian. Terdengar deritan ketika kursi di sebelahnya di tarik. Buku cetak dan bungkus mika berisi roti cane dibanting ke meja. Tentu saja Ron mengira itu si adik kelas—yang merupakan teman semejanya saat ujian—yang datang. Nyatanya ia hampir kabur begitu menoleh dan mendapati Riko duduk di sampingnya.

Tapi nggak lah. Ron berusaha stay cool. "Ngapain lu di sini?"

"Ajarin gue Mandarin."

"Hah?"

Mungkin kepala si Riko ini bocor halus. Maksud Ron, kenapa pula dia datangnya ke sini.

"Asli gua nggak tau apa-apa, njir." Riko membolak-balik lembaran berisi vocabulary yang tampak memuakkan. "Gimana caranya lo ngehapal ini semua."

"Biasanya juga nggak lu pikirin," cibir Ron acuh tak acuh.

"Beda, ini semesteran. Ngaruh ke grafik rapor. Entar gua gagal lulus jalur undangan gimana."

"Ngimpi lo bangsat."

Riko cengengesan. Sebenarnya dia juga tidak peduli-peduli amat. Hanya saja bel masuk masih setengah jam lagi. Dan ia gabut.

Baru tiga hari ujian berlangsung dan rasanya aneh juga tidak mendapati Roni duduk di sampingnya dan merecokinya soal perbatasan wilayah.

"Lagian ngapain lo minta ajarin ke sini. Gue juga nembak. Pergi lu sana."

"Halah," sahut Riko tak percaya. Ia sering melihat tabulasi ujian teman sebangkunya itu. "Skor Mandarin lo lima-enam lima-enam gitu. Gua bahkan gak pernah bisa dapat lebih dari tiga."

"Itu artinya lo nggak hoki."

Riko menggigit rotinya kesal. "Ajarin gue dikit kek." Ia sembarangan menarik bundel soal milik Ron, lalu membaliknya ke subjek Mandarin. "Lo liat ini, gue bahkan nggak pernah ngerti apa isi kop soalnya."

Ron mengerang jengkel. Berusaha menarik kembali soalnya tetapi Riko menahannya. Ron menyerah.  "Tsk, lo liat hanzi ini?" Ia menunjuk baris soal ogah-ogahan. "Kalo lo nemu yang sejenis, itu pasti selalu nanyain tentang jumlah goresan dari karakter yang dipetikin."

"Kalau yang ini," Ron menunjuk yang lain, "pasti nanyain antonim. Kalau soal cerita lo tahu lah, cocok-cocokin aja kosakata di soal, teks, sama pilihan gandanya. Sisanya jedor. Udah, cabut lo sana."

"Sebentar, ajarin gue ngitungin goresan dulu."

Ron mendelik tak percaya. "Ngitung doang lu nggak bisa?"

"Suka kelebihan gitu." Riko mengedik. Ketika dia bilang dia tidak tahu apa-apa, dia benar-benar tidak tahu apa-apa. Apa boleh buat. Ini akibatnya karena ia seringnya tidur, mengganggu orang, atau bahkan bolos ke warung nasi saat jam mapel ini berlangsung.

Hidung Ron mengerut. "Gue tau lo cuma tau wo ai ni—"

"Wo ye ai ni."

Ron merinding najis, "—tapi gue nggak tau kalau lo separah ini."

Riko mendengus. Ia melirik soal lalu menunjuk sebuah karakter. "Ini empat belas?"

"Sepuluh," koreksi Ron. "Kayaknya gua tau gimana cara lo ngitung. Ini heng gou, dihitung satu—"

Bla, bla, bla.

Riko pusing juga. Ron jadi keterusan menjelaskan berbagai jenis goresan beserta turunan dan namanya—karena itu juga biasanya keluar di soal ujian. Riko hanya bisa menatap takjub pada spasi kosong di bukunya yang kini penuh coret-coretan.

Tapi sebenarnya itu akan cukup membantu. Soal-soal yang berkenaan dengan goresan biasanya muncul tiga sampai lima butir dari keseluruhan empat puluh soal. Riko agaknya berterima kasih.

"Lo nangkep gak, woy?"

"Enggak."

Ron ingin sekali menjotos tampang watados Riko yang mengunyah-ngunyah roti cane.

Tarik napas.

Ron mencoba menunjuk sebuah karakter lagi. "Coba lu itung yang ini."

Dahi Riko berkerut. Entah berpikir atau pura-pura berpikir. Jarinya bergerak-gerak menghitung imajiner—empat.

"Tujuh?"

Ron menyerah. "Gua diagnosis lu goblok."

Haha.

Pada akhirnya mereka perlu me-review cara menghitung goresan sampai beberapa kali sebelum kemudian Riko cabut karena teman semeja Ron sudah tiba di ruangan.






Ron menghela napas malas begitu membuka lembar soal yang dibagikan. Energinya serasa terkuras karena harus adu bacot dengan Riko, first thing in the morning. Harusnya dia dibayar biaya tutor untuk yang tadi itu.

Dan seolah mood-nya belum cukup jelek, ia harus kembali melotot mendapati tangan dari sebelah melintas di area mejanya.

"Gopek, njir!"

.

Crap.

.

Ron menepuk jidatnya begitu melihat ekspresi bingung siswi di sebelahnya yang ingin mengoper lembar presensi.

"Sorry, sorry. Bukan apa-apa."





A/n: Selamat malam~

SnackingOnde histórias criam vida. Descubra agora