/22.11.18/ ○ 13:07

4.7K 772 348
                                    

¦confession¦





"Sebentar aja, Nik. Ikut gua sebentar ajaaa. Ya? Yaaa?"

Niki pening. Didi tak henti merecokinya sejak pagi tadi sampai sekarang sekolah sudah bubar. Apa anak ini tidak capek?

Ayolah, motif Didi kelihatan sangat transparan di mata Niki. Jika mereka terperangkap dalam panel komik straight (genre yang, jujur saja, sudah lama tidak pernah lagi Niki baca), ekspresi Didi persis protagonis yang ingin mengajak gebetannya naik ke genteng sekolah untuk adegan jedar-jedor.

Hmm.

Niki mencoba mengulur-ulur seraya mengemasi peralatan tulisnya yang berserak di meja. "Ikut ke mana, elah?"

"Ke tempat yang ... komprehensif gitu."

.

Oke.

.

Niki mengernyit ketika tersadar kalau pulpen kipas karakternya belum dikembaliin sama si Zefan. Dan ketika Niki menoleh ke jejeran meja di sudut belakang kelas, si bandit jangkung serta ransel kempesnya sudah tak lagi di tempat.

"Kalo lo nyari Zefanjě, dia udah cabut."

Mata Niki memincing. Itu berarti Didi tidak nebeng pulang bareng Zefan. Itu berarti si cebol ini memang sengaja menyisihkan waktu agar bisa bebas meneror Niki.

Jangan-jangan dua cecunguk itu memang sudah mengatur ini semua. Cih. Ini sungguh tidak seperti imaji Niki yang beranggapan bahwa duo tetangga itu diam-diam yaoi-yaoi-an. Alangkah asyiknya kalau ada berpanel-panel smexy scene yang menanti dikarenakan Didi ketahuan ingin menembak cewek oleh Zefan. Namun alih-alih demikian, ini malah si Zefan yang dengan sengaja memberi ruang. Dasar impoten.

.

"Nik? Halo?! Ikut gua sebentar doang ya?"

"Hem."







Jadi, tempat yang dianggap Didi komprehensif—atau apapun itu—adalah di bawah jejeran saga pohon. Tidak jauh dari parkiran motor di gerbang barat sekolah.

Niki berdehem. Menggaruk lengannya yang tak gatal. Entah kenapa gelagat canggung Didi membuatnya sekilas ikut gugup.

Didi celingak-celinguk memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. "Jadi, gini Nik," mulainya. "Gue—err...."

Aneh. Biasanya Didi tidak mengalami banyak kendala untuk mengutarakan perasaannya pada Niki bahkan di tengah keramaian. Namun ketika mereka sudah empat mata begini, lidahnya malah kelu.

"... suka elu, Nik. Ini beneran. Lu mau nggak jadi pacar gue?"

Niki menarik napas. Mengeluarkan jawaban pemungkasnya. "Nggak."

"H-hah?"

Bermurah hati, Niki mengulang, "Ga."

Didi seperti tersetrum. "TAPI NIK—"

"GA."

"COBA NGE-DATE DU—"

"POKOKNYA ENGGAK."

Bukannya Niki tidak menghargai perasaan Didi. Hanya saja, ia rasa sebaiknya memberi jawaban mentah-mentah saja.

"Tapiiii Nikk," Didi frustrasi. Bingung bagaimana lagi ingin mempersuasi, "...kenapa enggak?"

Niki mendesah. "Ya gimana, gua nggak suka elu."

Ah, sakitnya.

Niki mengernyit menyaksikan tampang nelangsa Didi. "Sorry, Di," katanya meringis. "Well, gue cabut ya?"

SnackingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang