48

347 46 11
                                    

✨ Bita

Aku merasakan dingin di seluruh bagian tubuhku ketika aku baru saja membuka mata, apa aku sempat tertidur?

Aku mencoba bangun dan yang ku dapati adalah diriku yang terbaring tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhku dan aku berada di atas meja perpustakaan rumah.

Oh Tuhan, yang tadi aku alami berarti nyata? Bukan cuma mimpi buruk ku semata?

"Sudah bangun?" Itu suara Ale.

Aku segera menoleh ke arah sumber suara dan saat ini dia sedang duduk di sudut ruangan sambil merokok.

Merokok?
Kapan dia menjadi perokok?

Dia mematikan rokoknya di sebuah asbak berwarna silver kemudian berjalan mendekat ke arah ku.

Aku yang tidak nyaman dengan keadaan ku saat ini menjadi serba salah, haruskah aku turun dan berlari menuju pintu penghubung antara perpustakaan ini dengan kamar kami?

Tapi rasanya pintu hitam itu seakan jauh untuk kuraih, aku tidak sadar Ale sudah berada di depanku.

Dia menundukkan tubuhnya dengan kedua tangannya bertumpu pada meja ini, dan aku berada di antara dua tangan itu. 

Aku kesulitan untuk menelan ludah ku sendiri tapi Ale sudah memintaku untuk menatapnya, tidak aku lakukan entahlah rasanya saat ini aku takut dan hanya ingin menangis.

Salah satu tangan Ale sudah meraih daguku dan memaksaku lagi untuk menatap manik matanya.

"Sudah merasa utuh sekarang?" Tanyanya.

"Apa pernikahan kita sudah utuh sekarang?" Ulangnya.

Aku menampik tangannya, mendorong tubuhnya dan dengan sisa tenaga yang aku punya aku turun dari meja ini sebelum tangisan ku benar-benar pecah.

Tangan Ale langsung menarik ku kembali sampai pinggang ku berhasil membentur meja sedikit.

"Kalau suami mu bertanya harus kamu jawab Ta" aku menamparnya, ya, bukan ku jawab tapi dia kuberi tamparan.

Ale terdiam sesaat merasakan sensasi dari tamparan yang baru saja aku daratkan untuknya.

"Sepertinya tugas ku terlalu banyak untuk mendidik istri ku supaya menjadi wanita yang lebih baik"

"Terserah kamu, tapi aku gak sudi bersuamikan seorang brengsek seperti mu" aku pergi meninggalkannya dan beberapa langkah yang aku ciptakan sama sekali tidak ada halangan darinya.

Tinggal sedikit aku akan mencapai pintu kamar penghubung ini tapi tubuhku rasanya kembali tertarik ke belakang, dan kali ini membentur rak buku yang tinggi menjulang.

"Aku belum puas dan aku brengsek, jadi puaskan aku lagi Ta" dia mengangkat kedua tangan ku ke atas, menguncinya dengan satu tangannya sedangkan tangannya yang lain mengangkat kaki kiri ku dan setelahnya dia letakan pada bahunya.

Mataku sudah awas melihat pergerakannya dan aku berusaha menurunkan kaki ku tapi tidak bisa, Ale benar-benar menutup pergerakan ku.

Dengan dibantu tangannya dia menggesekkan penisnya di depan lembah milik ku, aku menggeleng hebat, mencoba meronta namun sia-sia.

"Kau tahu, untuk ukuran wanita yang sering tidur dengan pria sebelum menikah lubang mu masih bisa memberikan kenikmatan yang sempurna Ta, pantas Elang enggan melepas mu" bisiknya.

Dan setelahnya penisnya benar-benar memasuki ku dengan keras disusul dengan pompaan yang cepat dan seakan terburu.

Tangannya yang lain sudah melepaskan cengkraman di kedua tangan ku dan sekarang dia gunakan untuk meremas payudaraku.

Setelah puas bermain dengan payudaraku tangannya menuju ke wajahku, dibelainya wajahku dan setelahnya tangannya menekan tengkuk ku untuk mendekat padanya.

Dia menciptakan sebuah ciuman yang menuntut lagi, disana aku benar-benar menangis, rasanya diriku hancur entah yang ke berapa kalinya.

Bayangan Ale yang dulu menangis padaku karena dia telah tega memperkosa Laras rasanya sirna dalam memoriku.

Dihadapan ku saat ini adalah Ale dengan versi tergelap nya, manik mata kami bertemu dia memamerkan seringai miliknya dan aku rasanya sudah mulai kehilangan kesadaran atas diriku sendiri.

Tubuhku kebas, kaki ku serasa sedang tidak menginjak ke lantai, bayanganku mulai buram, hanya erangan Ale yang masih bisa kudengar.

Aku tidak tahu apa lagi yang terjadi karena setelahnya tubuhku ambruk dalam dekapan Ale.

✨ Ale

Aku sedang mengejar pelepasan ku atas tubuhnya, aku tahu tubuhnya sudah diambang batas yang dia miliki karena sekarang tanganku menumpu semua beban tubuhnya.

Aku mengangkat kedua kakinya dan memposisikan untuk melingkar pada pinggangku, aku menjadikan rak buku yang ada di belakangnya sebagai tumpuan tubuhnya dan aku fokus untuk memompa lembahnya agar pelepasan ini segera sampai.

Dan benar saja aku mendapatkannya bersamaan dengan tubuh Bita yang limbung ke arahku, dia sudah kehilangan kesadarannya.

Aku mendekapnya, masih menikmati puncak yang baru saja aku dapatkan, peluh ku menjadi satu dengan miliknya.

Rasanya ruangan ini sangat panas dan menjadi berantakan karena beberapa buku sudah berserakan terjatuh dari rak asalnya sebagai bukti permainan kami barusan.

Aku mencoba mengendalikan tubuhku terlebih dulu sebelum akhirnya membawa Bita dalam gendongan ku dan kami menuju ke kamar.

Aku membaringkannya di atas ranjang kami, dan disana aku baru jelas melihat di beberapa bagian tubuhnya sudah berhasil tercipta luka lebam.

Aku langsung mengambil baskom kecil di dapur kemudian segera kembali ke kamar, membuka lemari dan mencari handuk kecil, dilanjut dengan masuk ke kamar mandi dan mengambil sedikit air hangat disana.

Setelahnya aku duduk di samping Bita, perlahan menyeka tubuhnya yang sudah lengket akibat ulah ku.

Setelah memastikan tubuhnya sudah bersih dan kering aku mengambil obat untuk meredakan nyeri dan memarnya.

Aku mengoleskan dengan perlahan, bisa-bisanya aku masih takut dia kesakitan ketika aku tidak sengaja menekan lukanya terlalu keras padahal aku baru saja menghancurkannya.

Ponsel ku berdering dan ternyata Elang yang menghubungi ku, aku mengangkatnya dan menyapanya.

"Ya Lang?"

"Kamu lagi sama Bita?"

"Dia sudah tidur, aku di perpus" ujarku sedikit berbohong.

"Dia cerita tentang Laras ke kamu?"

"Kenapa Laras?" Tanyaku dan di seberang sana Elang Manarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan ku.

"Aku gak tahu sifat asli Laras seperti apa tapi yang akan aku ceritakan ini adalah yang tadi Bita ceritakan"

"Ceritakan aja Lang" pintaku.

Aku melirik Bita memastikannya masih terlelap dan kini aku berjalan menuju jendela untuk lebih jelas mendengarkan Elang.

Beberapa saat Elang cerita apa yang dia dapatkan dari Bita sebelum tadi dia pulang dan menemui ku.

"Aku rasa Laras lagi bilang arah, semoga kamu gak terpengaruh dengan keadaan itu, tetap dengan Bita ya?" Aku meremas ponsel ku sendiri detik ini.

Jadi ini alasan Bita mencecar ku dengan berbagai macam pertanyaan yang berhubungan dengan Laras.

"Sandra, tadi nama itu yang Bita ucapkan dan dia yang meminta maaf atas tingkah Laras"

"Apa kamu bisa minta tolong dia dulu untuk mengurus Laras? Jangan sampai hubungan mu dengan Bita renggang hanya karena pikiran Laras yang sewaktu-waktu bisa tidak stabil"

"Besok aku coba hubungi Sandra, makasih Lang"

"Oke, aku tutup ya Le, bye" setelahnya aku melempar ponsel ku ke dinding, rasanya marah dengan keadaan ini.

Marah dengan diriku sendiri dan juga marah dengan Bita kenapa dia tidak cerita secara gamblang tentang semua perkataan Laras yang tadi dia dengar.






Pelanggan Rindu [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang