#018 Ruang Putih (1)

2.8K 643 9
                                    

*disclaimer; keseluruhan chapter Ruang Putih adalah flashback.

Jake dan Sunoo kecil hidup di sebuah fasilitas yang disebut panti asuhan. Bangunannya berwarna putih, memiliki tembok yang tinggi dan besar di sekelilingnya. Tembok yang sama sekali tak bisa dipanjat bahkan tahan terhadap tembakan meriam.

Mereka berdua bukanlah saudara, sama-sama tidak tahu darimana tempat asalnya. Hanya tahu rumah putih ini seumur hidup mereka. Terbatas oleh tembok yang menghalangi cakrawala.

Jake dan Sunoo tak tahu kapan mulainya mereka berteman, semuanya terjadi begitu saja. Begitu pun hidup mereka. Terkurung dalam satu bangunan besar, terkekang oleh peraturan dan rutinitas setiap hari. Mereka diharuskan belajar berjam-jam lalu dilanjutkan dengan latihan pedang. Makan, tidur, dan bermain juga sudah terjadwal dengan ketat

Semua itu demi satu tujuan; membentuk manusia-manusia terbaik Central.

Untuk tujuan itu, pengurus panti asuhan membawa anak setiap harinya. Entah dipungut atau dirampas paksa dari klan mereka. Beberapa anak tidak tahu kenapa mereka harus di sini dan sisanya memiilih untuk tidak peduli selama mereka bisa makan dan tidur di tempat yang nyaman.

Prang!

Seorang anak tersungkur di samping tempat duduk Sunoo. Menjatuhkan piringnya hingga mengotori taplak meja dan lantai putih tempat mereka berpijak.

Anak itu kejang, terbatuk, dan memuntahkan darah berwarna merah pekat. Lantai yang sudah kotor oleh tumpahan makanan itu kini semakin kotor karena bercampur dengan darah.

"Sepertinya dia akan mati," gumam Sunoo, memilih cuek lalu melanjutkan makanannya.

Jake mengangkat tangan, memanggil salah seorang petugas di dekat mereka, "Di sini ada yang mati."

Lagi.

Anak yang baru saja tak bernapas itu dipindahkan oleh petugas dengan terburu-buru. Sekaligus, mengungsikan anak-anak lain yang tampaknya shock dengan kejadian yang mereka lihat.

"Kalian tidak ingin pergi dari sini?" salah seorang di antaranya, yang memakai pakaian putih dan berkacamata bertanya pada Jake dan Sunoo yang masih menikmati makanan mereka.

"Tidak baik menyisakan makanan," jawab Sunoo.

"Tapi teman kalian baru saja meregang nyawa –di dekat kalian."

Jake menandaskan air minumnya di gelas, "Itu terjadi setiap hari, lantas apa istimewanya?"

Panti asuhan itu rutin memberi mereka stimulan yang akan meningkatkan kemampuan otak dan fisik mereka secara siginifikan. Namun, tentu saja stimulan itu memiliki efek samping. Seperti halnya obat-obatan yang dikonsumsi berlebihan, stimulan yang anak-anak terima secara perlahan membunuh mereka.

Dengan stimulan itu, tubuh mereka akan meregenerasi sel-sel baru secara terus menerus dalam kecepatan yang mungkin tidak dapat ditoleransi oleh fisik anak kecil.

"Kenapa mereka memberi racun pada kita?" gumam seorang anak lain kala mereka sedang mengantre untuk menerima sebuah suntikan stimulan. Dia menggigil ketakutan, menatap waswas pada petugas berpakaian putih yang sedang menyuntikkan cairan ke lengan anak-anak lain.

"Itu bukan racun," Sunoo di belakangnya menyahut, "Suntikan itu adalah stimulan, yang membuatmu lebih bugar dan punya kemampuan lebih daripada seharusnya. Kalau kau mati, itu salahmu karena menjadi manusia lemah."

Kerah baju putih Sunoo ditarik kasar. Anak itu melotot marah, hampir saja meninju wajah Sunoo jika saja tidak ada Jake yang menahannya.

"Kau dan Jake sama saja! Kalian monster! Kalian tidak punya hati!"

Plak!

Sunoo menamparnya keras, berjalan tergesa menerobos antrean. Dia menyambar sebuah satu dosis stimulan lalu menyuntikannya pada dirinya sendiri.

"Kau tidak pantas menyebutku begitu ketika kau hanya diam ketakutan menunggu ajalmu tiba. Itulah yang membuatmu lemah, kau tidak pernah bepikir bagaimana agar dirimu bisa bertahan."

Tepat setelah mengatakannya, Sunoo pergi meninggalkan tempat itu.

.

.

Jake menghampiri Sunoo yang sedang berbaring di bawah sebuah pohon. Mengamati wajah tenang itu lalu ikut duduk di sampingnya.

"Sunoo," panggil Jake.

"Hm?"

"Menurutmu berapa lama kita bisa bertahan di sini?"

Sunoo membuka matanya lalu duduk, "Apa kau merasa sakit?"

"Tidak," Jake menggeleng.

"Kalau begitu kita akan hidup lama,"

"Tapi, kau sakit."

Jake tidak bisa dibohongi.

Dia tahu beberapa malam ini, Sunoo mengerang dalam tidurnya. Kadang kali, anak itu pergi ke toilet dengan buru-buru untuk menyeka darah yang keluar dari hidung. Jake mengenal Sunoo lebih dari dirinya sendiri.

Untuk urusan fisik, Sunoo tak sekuat dirinya.

"Lalu, mau bagaimana?"

Jake menenggelamkan wajahnya di kedua lutut.

"Ku rasa kau harus bersiap kehilangan 'saudara kembar'mu ini, Jake. Lalu orang-orang di panti tidak akan repot-repot memanggil 'Jake dan Sunoo' jika mereka ingin kau melakukan sesuatu," kata Sunoo sambil tersenyum pada Jake. Senyum yang sama teduhnya dengan pohon di atas mereka.

"Sunoo, kalau bisa aku ingin membawamu pergi dari sini."



-to be continued-

CLANS| ENHYPEN ft. I-LANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang