85. Bayangan Rasa (8)

3.5K 368 11
                                    


"Semenjak itu aku nggak bisa mengabaikan kamu. Sedikitpun." Dwina tertawa kecil. "Aku memang selalu takut pada lelaki yang mencoba deket sama aku. Canggung rasanya sampai bingung harus melakukan apa."

"Kamu orang yang pemalu tapi pura-pura tegar." Arya menahan napasnya cukup lama. Sebuah pengakuan yang ia nanti-nanti dari mulut Dwina tentang dirinya. "Jujur apa kesan pertama kamu tentang aku?"

"Sebuah kesan? Mungkin lebih tepatnya reaksi aku ketika melihat kamu waktu itu adalah aku ingin melarikan diri jauh dari kamu. Bukan karena kamu orang yang buruk.. tapi.." Dwina menyentuh inti dadanya. "Aku merasakan sebuah rasa berbeda yang belum pernah ku alami. Aku nggak paham apa penyebabnya. Sampai aku ...malas ketemu sama kamu."

Dwina tidak menyadari bahwa kerjadian tersebut bentuk dari cinta pada pandangan pertama. Sulit untuk mengelak akan tarikan besar bagaikan umpan yang sudah termakan.

Arya mendapati Dwina bersemu merah. Perempuan itu menjadi gugup.

"Kok kenapa jadinya malas? Akukan nggak berbuat apa-apa." Dwina aneh.

"Canggung, malu mungkin? Dan jangan lupa kalau kamu dulu ngejebak aku pergi ke Bandung. Itu bikin aku makin jengkel." Jika Dwina ingat kembali atas kejadian dulu, rasanya masih gemas. Terutama Arya dan Kak Bayu.

"Oh malu..." Arya bergurau. "Sekarang masih malu nggak?"

"Sekarang aku udah biasa aja. Kan kita sering ketemu."

"Serius? Kayaknya kamu masih malu deh sama aku, apalagi kalau aku ngintipin kamu lagi mandi." Arya mendapatkan serangan cubitan di pinggangnya.

"Ih... jangan ngomong aneh-aneh." Jika suasana hati Arya sedang baik, dia pasti suka berbuat iseng. Bahkan lelaki itu pernah bilang, coba kamu pakai baju di depan aku. Fantasi laki-laki terhadap perempuan membuat Dwina harus menahan diri untuk menolak.

"Itu nggak aneh. Aku membeberkan fakta. Jujur aku suka sifat pemalu kamu, jadi kelihatan sisi kalem seorang perempuan. Tapi jangan pernah tunjukin itu ke laki-laki lain, gawat kalau mereka jatuh hati sama kamu."

"Aku tahu. Aku akan jaga diri." Tangan Dwina meremas ujung tepi baju. Ia merasa kurang nyaman pada peringatan Arya. Apakah dia tidak bisa di percaya?

"Kalau kesan pertama kakak gimana waktu kita pertama kali bertemu? Harus yang jujur." Dwina memberi penekanan sebab dia penasaran.

Arya diam sejenak, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk stir mobil membayangkan kalimat apa yang pantas untuk menggambarkan hati dia saat itu. Diapun juga menyadari peraaan khusus sama seperti yang di alami oleh Dwina, meski ada sedikit perbedaan.

"Dulu aku pernah kecewa sekali dengan seseorang.."Arya memulai dengan mengungkit mantan kekasih tidak lain adalah Putri Anjani.

"Aku marah besar. Dan aku selalu berprasangka buruk hampir pada setiap perempuan. Aku tidak percaya lagi dengan kebahagiaan sesaat di awal hubungan. Aku selalu meragukan itu, bahkan aku sering mengungkit motif apa yang mereka miliki waktu mencoba mendekati aku. Aku menjadi orang yang sangat berhati-hati. Tidak boleh ada pengkhianatan, tidak boleh ada perpisahan dalam hubungan."

Dwina mendadak berkeringan dingin. Kata-kata itu berasal dari hati terdalam Arya dan dia sedang menunjukan sisi paling kelam tanpa mencoba menahan ekspresi penuh tekanan.

"Dulu aku menaruh harapan besar pada seseorang, aku mencoba melakukan yang terbaik demi dia. Nggak bisa menutupi kalau aku juga senang melakukannya seolah mengobarkan apapun demi orang yang kita cintai bukanlah sebuah kesalahan." Arya tersenyum kecut sendirian, dia tak berkutik menatap lurus jalanan.

Hampir Dwina kesulitan menelan ludah. Dampak dari kekecewaan menjadi pengalaman terkuat bagi manusia. Mungkin Arya hanya menceritakan garis besar saja, tetapi entah berapa banyak pengorbanan hati yang dia pertaruhkan.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now