33. Merakit hati (1)

7.7K 652 29
                                    

Ibunya Putri dikabarkan meninggal karena bunuh diri. Kenapa bisa sampai seperti itu? Berulang kali berita itu menyentak diri Dwina. Sampai kapanpun bunuh diri bukanlah hal lazim di dunia ini. Kembali mengingat, bagaimana Putri bisa menjalani semua ini sendirian? Dada Dwina menjadi sesak.

Dwina tenggelam pada pikirannya, bukan perkara mudah untuk ia mengabaikan informasi tersebut. Dia dan Putri sahabat dekat, mereka berbagi banyak hal serta saling membantu. Sampai Dwina paham tau apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Kesedihan, kebencian, merasa sangat berdosa dan berulang kali meminta maaf padahal kematian ibunya bukan kesalahan dia, lalu masih banyak lagi. Tekanan frustasi serta depresi begitu amat menyiksa.

Pertemuan Dwina dan Angel telah selesai. Kini Dwina tampak duduk di teras rumah sambil menunggu ke datangan Arya, lima menit lalu laki-laki mengirim pesan bahwa sebentar lagi dia akan tiba.

"Dwina.. Ini tolong bawain juga buat keluarganya si Arya." Seru mama sambil menyerahkan dua kotak besar empek-empek buatan sendiri beserta kuahnya.

"Banyak banget ma."

"Ya biarin aja. Disanakan pasti rame." Dwina langsung menurut. Dia enggan melakukan perdebatan. Sebenarnya membuat empek-empek adalah pesan dari kak Bayu, dia penggila makanan ini. Maka dari itu Dwina sedikit khawatir jika jatah empek-empek kak Bayu berkurang. Dia malas mendengar kak Bayu mengomel.

Lebih penting keluarga atau teman? Jawaban Dwina adalah keluarga.

Lebih penting keluarga atau pacar? Jawaban Dwina tetaplah keluarga.

Lebih sayang keluarga atau pacar/teman? Jawabanya ya pasti keluarga.

Kenapa begitu? Bukankah sering kali keluarga membebani kita? Mencampuri urusan masa depan, mencampuri urusan pasangan dan banyak hal lainnya.

Bagi Dwina ujian terberat di dunia ini adalah mencintai keluarga sendiri. Berusaha bersikap baik, sebisa mungkin dapat memaafkan meski berulang kali disakiti, dikecewakan, saling membantu tanpa pamrih, saling mendukung meski kadang kita merasa lebih lemah, menerima segala kebaiakan dan keburukannya walaupun rasa jengkel kita sulit di kendalikan. Well, intinya keluarga adalah ujian terbesar dari Tuhan.

Jika seseorang bisa baik dan mencintai keluarganya sendiri berarti tak perlu diragukan lagi jika dirinya telah dewasa, dia bisa benar-benar menjadi seorang teman yang sangat dapat diandalkan. Sering mengalah, sering memaafkan, sering bercanda bersama, saling tolong menolong itu bukan sesuatu hal mudah bagi orang yang berpikiran sempit serta hatinya susah menerima kekurangan orang lain.

Dan satu hal penting bahwa bagaimanapun keadaan kita walau meskipun di saat paling terendah dalam hidup, keluarga tetaplah ada menemani.

Maka dari itu satu poin besar untuk Arya Wijaya. Kejadian minggu lalu membuat Dwina paham kalau laki-laki tersebut sangat menyayangi dan menghargai keluarganya. Padahal bisa saja dia mengabaikan teh Bika dan memilih tetap melanjutkan kerja, tanpa perlu repot apalagi sampai pikir panjang untuk mengurus Serin.

Terlihat mobil Arya memasuki pekarangan rumah Dwina. Segera Dwina pamit sama mama lalu mama tampak memberi isyarat tangan agar Arya tidak perlu untuk menghampirinya. Mama sepertinya juga ada urusan, jadi mama dan Arya hanya saling mengangguk sebagai sapaan.

"Pulangnya jangan kemalemannya ya.." Dwina hanya berdehem paham.

Dwina lekas masuk ke dalam mobil Arya. Entah kenapa dia sudah cukup nyaman berada di mobil di Arya, padahal tidak biasanya Dwina suka perjalanan panjang kecuali dengan mobil keluarga atau milik Putri.

"Banyak banget bawaannya?" Seru Arya melihat Dwina meletakkan barang-barang di kursi belakang.

"Aku bawaain kue sama empek-empek buatan mama, enak loh." Satu kilogram ikan tenggiri sebagai dasar pembuatan empek-empek dipilih secara baik, lalu pengolahannya berdasarkan resep tambahan dari mama membuat rasa empek-empek semakin sedap. Dari kemarin Dwina banyak makan itu sampai perutnya sakit.

"Nggak usah sampai ngeropotin gini." Arya menggaruk gatal tengguk lehernya. "Aku ngajakin kamu cuma buat jenguk doang."

"Ya udah, mau bagaimana lagi. Ada istilah 'hadiah', dia itu punyai skor tinggi dalam suatu pahala dari pada sedekah atau infaq. Jadi baiknya jangan ditolak."

"Tapi dibales?" Arya tanya balik.

"Kalau mampu dibales ya nggak papa." Bukan berarti Dwina mengharapkan balasan. Arya mencoba memojokkannya.

Tak lama Arya tersenyum kecil. Pantas saja selama ini Dwina mengatakan 'hadiah' bila memberikan sesuatu padanya. Dia paham bagaimana cara menabung pahala secara pintar, hanya beda niat saja skornya sudah berubah.

.....


Tubuh teh Bika sedikit kurusan serta wajahnya telihat pucat walaupun dia berusaha menutupinya dengan senyuman hangat. Dwina menghampiri teh Bika lalu duduk di tepi ranjang sedang menyusui Serin. Kalau Arya lagi di ruang tengah mengobrol dengan yang lain.

"Makasih oleh-olehnya." Seru teh Bika dengan suara lemah pada Dwina. "Katanya kamu yang bantu jagain Serin pas teteh lagi sakit. Makasih banget wi."

"Bantu dikit doang kok teh." Dwina mengelak. Dia tidak ingin dianggap berlebihan. "Gimana teh, udah agak sehatan?"

"Lumayan. Dan untung kata dokter gak masalah kalau sakit DBD tetap menyusui. Teteh khawatir, Serin itu kurang suka minum susu formula. Hari ini aja teteh paksain makan banyak biar ASInya keluar banyak." Ekspresi teh Bika berubah lesu.

"Tapi Serin kelihatan sehat banget. Ya, walaupun di awal dia agak rewel."

"Seriusan? Pas ditanya gimana keadaan Serin Bang Erwin bilang kalau dia baik-baik aja. Aduh, teh Bika beneran nggak tega ngebiarin Serin jauh dari saya. Dia belum pernah ditinggal lama begini." Tentu saja bang Erwin akan berkata demikian. Mengetahui istrinya kritis membuat dia sangat uring-uringan jadi mana mungkin dia rela menambah kekhawatiran teh Bika.

Dwina mengusap pipi gembilnya Serin, mata anak bayi itu terbuka sangat lebar menampakkan kejernihan matanya sembari mencengkram kuat pakaian teh Bika. Memang pantas seorang ibu selalu menomor satukan anak mereka karena dia adalah belahan jiwa. Anaknya sakit, ibunya juga bisa ikut merasakan kesakitan itu.

"Sore ini Serin udah mandi teh?"

"Belom." Sahut teh Bika. Dia belum bisa beraktifitas lama, jadi dia perlu menunggu ibunya selesai masak. Padahal sebenarnya ada pembantu, tapi ibunya suka repot teh Bika sulit menghentikannya. Sedangkan babysiter, teh Bika memperkerjakannya. Urusan Serin seluruhnya dia tangani sendiri.

"Mau aku mandiin?"

"Memang Dwina bisa mandiin."

"Iya dong. Lucu banget tau teh pas Serin dimandiin aku waktu itu, dia langsung diem seolah lagi berelaksasi 'akhirnya aku mandi juga,' terus senyum-senyum sendiri deh." Mereka berdua tertawa pelan.

"Pasti dia ngerasi seger banget. Ya udah teh Bika siapin baju ganti buat Serin," kemudian Serin diserahkan ke sisi gendongan Dwina kemudian di rebahkan ke atas ranjang untuk dilepasakan pakaiannya.

Sekilas teh Bika memperhatikan sosok Dwina. Dia jadi curiga apakah Arya dan Dwina mempunyai hubungan lebih khusus? Masalahnya dia sendiri sangat berharap begitu. Bukan bermaksud apapun, teh Bika merasa klop saja dengan Dwina. Pastinya karena perempuan itu bukan cari muka supaya direstui oleh calon kakak ipar.

"Dwina kamu pacaran sama Arya? Aryakan jelek, suka ngeyel lagi?"

_______________________

Hei., Jangan lupa klik 🌟 vote Dan lontarkan komentar kalian atas novel ini.

Terima kasih sudah membaca 😘😘

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now