75. Awal Pernikahan (6)

6.2K 507 11
                                    


Semua keadaan berjalan dengan mudah? Itu hanyalah omong kosong belaka. Aku tak menyalahkan para manusia yang mengharapkan hal tersebut, kali lagi itu bukan dosa melainkan adalah harapan. Aku tidak bisa meremehkan hal-hal tak terduga nanti di kemudian hari. Tentang bagaimana cara menghadapi keadaan tersebut serta langkah terbaik apa yang harus ku ambil.

Seperti saat ini. Dalam kondisi silient, ponselku berulang kali mendapatkan panggilan telpon masuk dari nomor yang tak dikenal. Aku tahu siapa orang yang melakukan itu, hanya saja aku masih berusaha tenang. Usai panggilan telpon ketiga tanpa ku jawab, orang tersebut mengirim pesan .

"Dwina bagaimana kabarmu hari ini?" Aku bisa membayangkan nada mengejek dari si pengirim pesan.

Orang gila itu tak lain lagi adalah Jordan. Ya, pria kurang ajar yang hampir menghancurkan pertemananku dengan Putri. Entah salah aku padanya sampai dia berbuat demikian dan sulit membiarkanku hidup tenang di awal pernikahanku.

Sekali lagi aku menekankan bahwa laki-laki itu kurang waras, jadi aku hanya perlu mengabaikannya saja dan menghindari pertengkaran aneh di antara kita.

Tanpa pikir panjang aku memblokir nomor telpon asing tersebut untuk kesekian kalinya serta menghapus semua kiriman pesan singkat darinya. Setelah itu segera ku nonaktifkan ponselku demi kedamaian. Beruntung Jordan berulah di saat kak Arya sedang tidur pulas, aku tidak ingin mengganggu suasana hatinya apalagi besok kita berencana pergi.

Jam menunjuk pukul satu malam. Aku segera kembali menyusul tidur dimana kantukku mulai merayap.

"Ada apa?" ujar kak Arya dalam kondisi setengah bangun.

"Nggak ada apa-apa." Beberapa menit lalu tadi aku memang sempat ke toilet setelah itu mengecek ponsel sebentar.

Akupun menepuk-nepuk pelan pundak kak Arya supaya dia kembali tidur, lalu dia memeluk perutku dan menyandarkan kepalanya disana dengan nyaman. Setengah hari ini kita menyempatkan jalan-jalan di sekeliling hotel, mengobrolkan banyak hal sedangkan untuk makan malam kita lakukan di kamar karena waktu sore harinya suhu tubuhku kembali meningkat. Jadi aku harus menelan obat pereda demam agar kondisiku membaik.

"Orang tua kamu chatting?"

"Iya." Sahutku. Tentu aku tidak berbohong, keluargaku sempat mengirim pesan menanyakan kabar tentangku dan sejak pagi aku jarang membuka ponselku. Mungkin kak Arya berkesimpulan tadi aku sedang membalas pesan mereka. "Katanya mama kangen sama aku, dia lagi berusaha beradaptasi." Aku terkekeh mengungkapkan itu.

Akan ada banyak hal yang berubah di kehidupanku setelah menikah hingga mengharuskanku untuk beradaptasi juga dengan kondisi baru ini. Tapi ada pepatah, bila seorang anak mampu kehilangan orang tuanya dan terus melanjutkan hidup, namun seorang ibu tak bisa kehilangan anaknya karena anak adalah kehidupannya. Maka dari itu tak satupun seorang anak dapat membalas meski hanya satu tetes air susu.

Memikirkan itu hatiku mendadak kosong, ternyata aku belum sedikitpun membahagiakan kedua orang tuaku walaupun aku hanyalah seorang anak angkat. Merekalah yang mengubah jalan hidupku menjadi lebih baik.

"Kamu kangen juga sama mereka?" pertanyaan itu lebih terdengar, apakah keadaan hatiku baik-baik saja?

"Iya." Akupun segera mengecup puncuk kepalanya mencari ketenangan dengan membelai anak-anak rambutnya yang terasa lembut di sentuhan jemariku sambil mencium aroma shampo kak Arya yang kini terasa familiar dalam hidupku.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now