105. Kepiluan Jiwa (7)

3.4K 288 8
                                    


Dwina memeriksa kembali lembaran kertas ujian. UAS akan berakhir hari ini, beruntung tidak ada satupun ujian yang tertinggal hingga ia terpaksa mengikuti ujian susulan. Masih dalam fokus, Dwina mengetuk-ngetuk pulpen di meja. Hampir setengah peserta di ruangan ini sudah selesai dan mengumpulkan lembaran ujian. Namun ia enggan terbawa suasana lalu ikut terburu mengumpulkan.

Tari berjalan melewati Dwina, menyolek pundak Dwina sambil memberi isyarat mata kalau dia akan menunggu di depan kelas. Dwina pun langsung mengangguk. Ekspresi Tari jauh dari kata panik, ujian kali ini jauh dari materi yang diberikan oleh dosen mereka hingga membuat sejumlah mahasiswa geram. Sedangkan Tari dan Dwina diam-diam mendapatkan materi tambahan dari senior mereka, senior itu katanya pernah mengambil mata kuliah dan dosen yang sama dengan mereka. Siapa menduga kalau materi itu akan keluar.

Dwina memeriksa semua soal terjawab baik, dia lekas merapihkan alat tulis dan beranjak dari tempat duduk. Ruang ujian sangat dingin membuat dia menggigil, ketika Dwina keluar kelas Tari langsung merangkulnya dan Dwina merasa lebih hangat.

"Gimana? Bisa nggak ngerjainnya?" tanya Tari bergaya sombong, mengangkat sedikit dagunya sambil melirik gerombolan teman sekelas mereka memasang wajah kesal.

Dwina dan Tari menahan suara cekikikan supaya tak terdengar oleh orang lain. Rahasia ini cukup mereka yang tau. Mereka seperti mendapatkan kunci jawaban satu hari sebelum ujian.

"Aduh parah banget. Catatan kak Sisi lengkap banget dan tulisannya itu rapih. Seneng banget aku. Pas ngerjain akunya senyum-senyum sendiri," ujar Tari sambil mengajak Dwina menuju lift turun ke lantai satu. Setelah ini mereka berencana langsung pulang.

"Berdoa aja nilainya A semua."

"Amin.. Oh, kamu jadi ambil cuti semester depan?" Tari ikutan mengelus perut Dwina yang mulai menonjol kecil, katanya umur anak itu sudah jalan lima bulan. Ada rasa penasaran bercampur heran bagi Tari menyadari ada makhluk kecil berada di dalam perut itu bergerak dan hidup.

"Iya kayaknya. Suami aku minta aku untuk cuti. Tau sendiri orangnya bagaimana." Dwina mendelikan bahunya sambil tersenyum miring. Dia malas banyak omong apalagi menciptakan perdebatan di antara mereka lagi. Ia hanya menganggap mungkin permintaan Arya adalah sebuah kebenaran.

"Tenang aja. Nanti aku bantu bagi-bagi materi kuliah. Lagi pula semester depan aku lanjut magang. Aku masih butuh banyak belajar di lapangan. Jadi kita bisa ambil skripsi bareng." Tak terduga Tari sendiri ternyata mengubah rencananya.

"Serius? Bukannya lebih baik cepat-cepat lulus? Anak-anak yang lain aja udah punya rencana membuat rancangan penelitian." Mereka sebenarnya juga. Bahkan Dwina dan Tari sudah membuat tiga bab skripsi dengan bantuan kak Sisi.

"Aku diomelin papa aku. Katanya meski nilai kuliahku bagus, pengalaman aku nol besar. Aku masih perlu menghadiri kuliah terbuka, seminar bahkan memperluas link aku." Tari memanyunkan bibirnya, keluarganya memang punya pemikiran berbeda dari pada lainnya. Terutama papa.

"Bukannya nanti waktu kerja bakalan bisa seiring berjalannya waktu?" Sepemahaman Dwina, banyak mahasiswa yang tidak berpengalaman dan baru mengasah skill saat bekerja nanti.

"Aku udah bilang begitu. Tapi papa kekeh mau aku magang lebih lama. Jadi terpaksa semester depan aku ambil SKS-nya lebih sedikit. Papa bantu aku untuk magang di rumah sakit kenalannya. Udahlah, aku manut saja. Toh nggak ada orang yang peduli aku lulus terlambat."

Kata-kata Tari menyadarkan pikiran Dwina. Apa salahnya jika dia terlambat lulus, selama tidak melewati batas waktu yang di tentukan oleh kampus, dia akan terhindar dari DO dengan kata lain di keluarkan dari kampus.

"Jika semua berjalan baik aku akan ambil cuti satu semester saja." Bagi Dwina itu sudah lebih dari cukup. Nanti akan ada diskusi lagi dia dan Arya tentang mengurus bayi mereka selama Dwina kembali berkuliah.

Trust Your Heart [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя