30. Tentang dia (7)

7.7K 693 15
                                    

Jangan khawatir. Kata-kata itu tersangkut di tenggorokan Dwina. Dia tidak berhak mengatur perasaan Arya apalagi di dalam hubungan mereka dirinya hanya bertindak pasif. Mengenaskan.

Dwina mengalihkan pandangannya dari tatapan Arya, berdeham sejenak menstabilkan segala logika yang bermuara pada realita. "Kayaknya sebentar lagi kak Bayu pulang, mama tadi minta dia untuk beli makan malam." Seru Dwina tatkala Arya masih enggan melepaskan tatapan. Jelas Dwina sedang merubah topik pembicaraan. Apakah Arya kecewa?

Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir Arya. Dia melihat Dwina sedang tertunduk dengan wajah bersemu merah sampai akhirnya tangan besar Arya menangkup wajah perempuan itu. "Kenapa kamu kelihatan sulit untuk ngehibur aku?" Arya menarik kembali ke pusat permasalahan mereka. Dwina tidak akan dia biarkan melangkah mundur. "Dimana empati kamu, Dwina? Sebelumnya kamu bahkan tanpa pikir panjang bantu aku dan keluarga aku? Padahal orang tua kamu pasti bingung bagaimana seorang Dwina membawa laki-laki asing pulang ke rumah."

Benar, Dwina belum cerita apapun mengenai perihal Arya pada mama dan ayah. Arya yang dikenal orang tuanya adalah rekan kerja kak Bayu tak kurang dari pada itu. Dwina telah mengambil langkah ceroboh. Dia lupa akan banyak pertanyaan yang dipikirkan orang tuanya.

"Dwina. Ada saatnya kesabaran aku di ambang batas. Kenapa? Karena tanpa kamu sadari ada sisi agresif di dalam diri laki-laki bila dia telah menancapkan keinginan." Bisik Arya lebih mendekat ke arah Dwina, sampai Dwina bisa merasakan hembusan napas hangat Arya yang menggelitik kulit lehernya. Sebisa mungkin Dwina ingat untuk kembali bernapas. Saat ini Arya seperti ingin melahapnya hidup-hidup.

"Kak Arya…" Dwina kesulitan melanjutkan kalimatnya. Tanpa tersadar Dwina telah mencengkram kuat lengan baju Arya sebagai pegangan di bawah kontrol kuat laki-laki itu.

"Jangan terlalu banyak memikirkan apapun Dwina. Kamu cuma butuh mempersiapkan diri untuk aku." Ucapan Arya tak tergoyahkan. Sebuah kecupan gila mendarah di leher Dwina, bahkan Arya seperti menyesap sejenak agar dia bisa meninggalkan jejak. Dwina masih tidak mampu bergerak apalagi mendorong laki-laki tersebut menjauh darinya.

Kemudian Arya bergerak mundur melepaskan Dwina dan berjalan keluar dari kamar. Napas Dwina tersengal hebat, bahkan dia sulit mengendalikan sesuatu asing yang mengalir panas di inti dadanya.

Dwina perlahan mulai memahami setiap perkataan Putri bahwa Arya adalah laki-laki psiko. Sifat dia bisa berubah dalam hitungan detik bahkan dia begitu cerdik menutupi semua itu dari orang lain. Sering bertingkah manusiawi, berbicara dan bersikap sederhana dengan orang sekitar, sigap mengatasi datangnya sebuah masalah, memberi perhatian baik pada keluarga, namun itu belum menyatakan siapa diri Arya sebenarnya.

Tangisan Serin pecah, bayi itu terbangun dari tidur. Segera Dwina mengangkat tubuh Serin lalu mencoba menidurkannya kembali tetapi bayi tersebut malah terjaga. Jadilah Dwina sesekali mengajak Serin bercanda dan bayi itu tertawa. Beruntung kehadiran Serin membuat Dwina bisa sedikit melupakan kejadian tadi.

"Adek Serin mau minum susu? Mau kakak buatin susu?" Seru Dwina sambil mencium perut Serin hingga bayi tersebut menggeliat geli. "Atau kamu mau diajak main sama kakak? Tapi mau main apa sih?"

Anak bayi memang senang sekali diajak ngobrol seolah kehadiran dia dianggap ada dan merasa tidak terabaikan. Mulut Serin mangap-mangap berusaha menyahut ucapan Dwina.

"Dwina.. Nak kamu makan dulu ya, mama siapin nih." Seru mama dari luar.

"Iya ma." Dwina membawa Serin menuju ruang makan. Dalam sejenak semua orang memperhatikan Dwina, termasuk ayah yang baru saja pulang kerja.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now