10. Mengenal (8)

34.6K 3.1K 20
                                    

Dwina asik sekali mengobrol dengan Angel. Sesekali Arya menyahuti pembicaraan jika di antara kedua perempuan itu melontarkan pertanyaan maupun meminta pendapat. Arya berusaha tidak memainkan game di ponselnya yang biasanya dia gunakan untuk membunuh rasa bosan. Lalu memilih memperhatikan Dwina, ya perempuan itu berulang kali menggaruk ruam-ruam merah di sekitar pergelangan tangan karena mulai parah. Apa ia perlu membawa Dwina ke dokter setelah kembali dari rumah Angel?

"Alerginya makin parah ya?" Seru Arya pada Dwina ketika Angle bergerak pergi ke pintu depan karena ada tamu lain.

"Biasa aja. Nanti juga sembuh sendiri." Perhatian lebih dari orang lain kecuali keluarga dan teman dekatnya sedikit menimbulkan kecanggungan bagi Dwina.

"Mau ke dokter aja?" tanya Arya.

"Ini nggak parah kok. Beneran. Aku udah biasa kayak gini waktu kecil."

"Tapi Bayu belum pernah cerita apa-apa kalau kamu ada alergi." Entah kenapa Dwina jadi penasaran seberapa banyak kak Bayu ngomongin dirinya kepada Arya. Tentu ini mengganggu privasinya.

"Mungkin karena udah jarang kambuh. Orang dewasa itu punya sistem imun atau bisa dibilang pertahanan tubuhnya lebih tinggi dari pada anak kecil. Pernah denger kalau ada anak bayi yang meninggal hanya karena tertular pilek dari orang dewasa?"

Arya menggeleng tidak. Dia tahu jika Dwina mengalihkan pembicaraan mereka dan Arya akan tetap membawa Dwina ke dokter.

"Maka dari itu kita harus hati-hati sama anak kecil apalagi masih bayi. Keseringan orang itu gemas asal cium pipinya, padahal tubuhnya masih rentan dan sebagian besar orang tua atau anaknya terjangkit alergi khusus yang bisa disebabkan turunan keluarga. Kak Bayu itu alergi debu mirip kayak mama aku. Badan dia langsung gatel-gatel dan nggak berhenti bersin kalau banyak debu tebal di sekitar dia."

Sekarang giliran sebuah anggukan yang Arya berikan. Seketika Dwina menghela napas pelan agar menghilangkan kecanggungan sambil berharap agar Angel cepat kembali. Mengalihkan diri dengan bermain hp sepertinya kurang baik, jadilah Dwina terjebak oleh keheningan selama beberapa waktu bersama Arya. Dwina mengambil cangkir tehnya, lalu meneguknya hingga kandas.

"Kayaknya kamu dateng ke sini salah waktu deh." Ucapan Arya jelas membuat Dwina bingung.

"Memang kenapa?" Arya langsung memberi isyarat mata agar Dwina melihat ke pintu depan. Karena penasaran, Dwina sedikit bergeser ke sisi Arya supaya dapat mengerti apa yang terjadi.

"Mereka ciuman dan kayaknya mereka lebih butuh ranjang," lanjut Arya masih dalam mode tenang seolah hal itu wajar, mereka sama-sama sudah dewasa.

"Mana aku tau kalau bakalan jadi begini." Balas Dwina berbisik karena malu sendiri menontoni adegan panas yang tak patut diumbar. Secepat mungkin Dwina menghilangkan pikiran nyelenahnya karena terkontaminasi oleh fantasi novel erotis miliknya, terumana untuk beberapa karya Johanna Lindsey dan Sandra Brown pasti Dwina merasa tergelitik oleh kesan-kesan romantis tidak terlupakan.

"Aku paham maksud kamu." Arya berusaha menahan senyumannya melihat wajah Dwina sudah sangat merah. Entah kenapa dia gemas sendiri apalagi Dwina tampak sebal atas responnya barusan.

"Seharusnya mereka berdua sadar kalau ada orang lain selain mereka di rumah ini. Apalagi..."

"Apalagi bikin kamu iri?" Itu mempunyai maksud tertentu. Dwina langsung mengamatinya penuh ekspresi heran.

"Nggak bisa dibilang kayak gitu sih. Aku punya persepsi sendiri tentang suatu hubungan dalam berpasangan terhadap orang lain maupun diri sendiri."

"Kamu punya pacar?" Pertanyaan Arya seperti ingin menjebak Dwina ini lebih dari pemikiran sederhana sebab dapat memicu berbagai hal yang sebenarnya lumayan sulit Dwina ungkap.

"Aku nggak pernah pacaran." Entah kenapa jawaban Dwina sedikit mengusik Arya. Memang benar, berpacaran atau tidak berpacaran semua orang berhak mengambil keputusannya masing-masing. Tapi Dwina berbeda, dia menekankan bahwa ada garis pembatas antara dirinya dan yang lain. Dwina kesulitan membuka hati dan peragu.

"Nggak papa. Kapan-kapan aku bisa main ke sini lagi. Oke?" Senyuman Dwina mempunyai makna kalau sebaiknya Angle berduaan saja dengan Galih tanpa ada yang ganggu.

Angle mendesah paham kemudian mengantar Dwina dan Arya ke depan rumah. "Kalau elo mau berburu cowok, telpon gue ya?" tukas Angel sembari membuka kaca helm Dwina. Dwina menghela napas karena Angel tidak berhenti menahannya pergi selalu saja ada hal-hal tak terduga. Tadi mereka sempat berfoto-foto dulu, ngobrolin tentang apapun sebab Angle mengajukan banyak pertanyaan.

"Oke-oke gampang itu. Aku tau kalau kamu aksesnya kenceng," cara antusias Dwina benar-benar lucu menghadapi Angel.

"Kalau sampai rumah telpon mamah Angel ya? jangan kebanyakan makan sama baca novel. Jaga diri, jaga kesehatan.."

"Iya mamah Angel. Aku pergi dulu ya udah ditungguin Kak Arya"

"Mah kamu sekarang begitu sama mamah. Mentang-mentang ada cogan lupa deh sama mamah" Dwina mencium punggung tangan Angel giliran Angel menepuk-nepuk pundak Dwina.

"Tenang aja mah, sayang aku nomer satu tetep buat mamah Angel" Arya dan Galih tertawa melihat tingkah aneh mereka dan menjadi tanda kalau mereka memang akrab.

....

Mata Dwina membaca sebuah papan bertuliskan klinik dan praktik dokter. Arya benar-benar kukuh untuk memeriksa alerginya ke dokter. Jadilah, Dwina turun dari motor sambil melepaskan helmnya. "Sebenarnya aku masih inget obat alergi aku dan kita cuma perlu ke apotek aja untuk beli." Sebelumnya mereka pernah membicarakan ini.

"Tapi kamu kelihatan parah banget. Mendingan langsung periksa ke dokter aja."

Ini sudah terlanjur, Dwina pun akhirnya masuk ke dalam klinik mengambil nomor antrian. "Kakak tau nggak semakin kita banyak keluhan dan dokter juga mencatat banyak, secara otomatis harga bayarannya juga naik." Seru Dwina sedikit berbisik saat mereka duduk di ruang tunggu.

"Iya apa? Aku baru tau."

"Temen aku pernah cerita begitu. Misalkan perhitungan waktu konsultasi dokter cukup lama berarti sama aja kita ngebayarin waktu prakteknya. Menurut aku sih itu wajar dan masuk akal."

"Sekolah kedokteran juga mahal banget dan ada baiknya kalau sekalian ngambil spesialis. Semua orang tau kalau mereka ngabisin waktu dan dana besar."

"Belum lagi ada ujian sertefikasi kompetensi setiap lima tahun sekali. Aku punya temen ambil jurusan kedokteran. Dia sibuk banget dan ngusahain untuk dateng ke acara kumpul-kumpul temen deket SMA, wajahnya kelihatan lelah banget tapi dia orangnya lucu. Dia punya kebiasaan nggak mandi kalau sekolah. Sampai ada yang ngasih hadiah ultah deodoran ke dia." Dwina tertawa pelan mengingat tingkah absurd temannya itu. "Nama dia Joshua."


__________________

Jangan lupa berikan vote ⭐ dan komentar sebagai dukungan atas cerita ini.

Terima kasih🥰🥰

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now