80. Bayangan Rasa (3)

6.7K 491 15
                                    

Bayangan Rasa yang tak terukur oleh jiwa-jiwa manusia. 

Dia yang tidak bisa kupahami, tetap mencoba kupeluk erat bagaikan satu hati.

-Dwina Aryani-

........................................................

Dengan seksama Dwina menatap kekesalan Arya, dia tampak menahan sebuah bentakan keras dan rahang kokoh masih mengatup kuat. Tentu Dwina terkejut, sampai jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Pada dasarnya Dwina benci perdebatan, apalagi bila seseorang berteriak padanya itu membuat emosi naik serta sangat melelahkan di akhir. 

"Kamu tanggung jawab aku. Coba perlahan kamu percaya sama aku, karena kita sekarang sudah menikah." Mendengar gurauan payah itu membuat Dwina terbahak dalam hati. Kenapa dia perlu memaklumi keegoisan dan sikap otoriter Arya? Semua harus sesuai apa keinginan Arya. 

Dwina menarik napas panjang, menumpuk sisa kesabaran yang dia miliki. Satu poin penting dalam pernikahan adalah sabar dan sabar. Sambil memberanikan diri, Dwina menarik salah satu tangan Arya lalu menangkupnya dalam genggaman di atas pangkuannya. "Sepertinya kita perlu bicarakan tentang urusan finansial kita secara transparan. Aku setuju itu."

Arya langsung tenang dan mengangguk paham. Laki-laki memang juga perlu di mengerti dan didukung. Ketika mereka tiba di rumah, mereka akan langsung mendiskusikannya. Dari awal mereka berdua memang belum membahas tentang pengaturan keuangan keluarga karena sebelumnya terlalu fokus pada perencanaan dan pendanaan pernikahan yang rumit. Untung saja itu sekali seumur hidup, mengingat itu kembali membuat kepala Dwina pening. 

"Jadi jangan ngambek dong." Dwina merayu hati Arya supaya lebih santai. 

"Aku nggak marah." Dasar bohong. Gerutu Dwina dalam hati, jika digambarkan sikap Arya tadi bagaikan ingin melahap Dwina. Tapi itu kekecewaan yang tak perlu diambil pusing. Setiap orang memiliki cela, begitu juga diri Dwina. 

Menuju ke apartermen mereka, Dwina menyampaikan pesan dokter hewan kepada Arya tentang kesehatan para kucing. "Si kucing Mike perlu diet. Organ hati dan jantungnya bisa ketutupan lemak karena obesitas. Kayaknya kamu terlalu manjain dia deh." Dwina memicingkan mata. Kebiasaan Arya perlu dibenahi. Menjaga kesehatan adalah hal utama, apalagi Dwina berkecimpung di dunia kesehatan. Dia tahu betapa berat pasien patuh dan benar dalam pemakaian obat. 

"Aku cuma senang aja ngasih dia makan dan dia makan dengan lahap." Pikiran yang sederhana. Tak bisa di pungkiri, memang menyengangkan melihat hewan peliharaan sangat sehat dan manja terhadap tuannya. 

 "Kucing itu butuh menggerakan otot tubuh, obesitas membuat dia malas dan lemas beraktivitas. Kasihan dia." Hewan bisa mengalami stres. 

"Mike memang mulai tua, mungkin lebih dari 9 tahun sejak aku masuk kuliah. Dia senior kamu di apartemenku." Dwina terperangah menyadari kalau ia dianggap pendatang. Arya sangat merawat kucingnya, memberikan fasilitas terbaik bahkan tak sungkan menitipkan kucingnya di pernitipan hewan dengan harga fantastis untuk jangka satu minggu. 

Kesimpulannya, Arya bisa melakukan itu pada kucingnya apalagi pada istrinya. Dia begitu-sangat-bertanggung jawab. Dwina mengangguk sendirian. 

Tiba di rumah, Dwina bergegas menyiapkan makanan sebab Arya mengeluh lapar karena melewatkan makan siang. 

"Masak mie instan aja." Biar simpel, dan yang penting kenyang. Begitulah pikir Arya yang Dwina tangkap. 

"Kucing-kucing kamu itu di kasih makan lebih dari harga mie instan." Dwina menyindir. Dia tetap akan membuatkan mie instan untuk suaminya dan pastinya dengan topping yang lebih bergizi. 

Trust Your Heart [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora