15. Perasaan ini (3)

30.3K 3K 12
                                    

"Sorry gue ngerepotin lo." suara Bayu terdengar bersalah

"Santai aja kali. Dwina itu anteng banget nggak ngerepotin sama sekali," Arya melanjutkan bercerita tentang perjalan dirinya dengan Dwina dari mulai berangkat ke Bandung hingga kedatangan Bayu.

"Udah gue bilang, Dwina itu nyambung ngobrol sama ibu-ibu," Adiknya itu memang calon istri yang baik dan pintar. Bayu tertawa pelan, walau rasa khawatirnya belum kunjung sirna.

"Tau nggak nyokap gue sampe jatuh hati sama dia," giliran Arya yang terbahak.

Waktu bergulir cepat menunjuk arah setengah dua belas malam. Menjelang tengah malam hujan semakin deras. Bayu dan Arya mengantar Juwita menuju lantai dua ke kamar milik Arya untuk tidur bersama Dwina sekaligus memeriksa keadaan perempuan itu.

Dwina tertidur terbelit selimut tebal dan tak luput alat penghangat di dekatnya. Arya lebih dulu mendekati sosok perempuan tersebut yang mulai mengerjapkan mata.

"Tidur lagi gih," Arya membelai rambut Dwina lembut sambil tersenyum.

"Kak.. aku sesak napas," suara Dwina nyaris tak terdengar matanya sedikit bengkak kemerahan menggulirkan air mata.

Sesak napas! Berarti alergi dia sudah membuat bengkak saluran pernapasan. Arya langsung berbicara pada Bayu.

Dengan cepat mereka membawa Dwina ke rumah sakit. Ternyata Dwina tidak salah kalau dia ingin cepat-cepat pulang. Keadaanya semakin makin parah di kota bersuhu dingin. Mobil Bayu menembus hujan lebat. Jalan nampak sangat licin sekali dengan gelutan kegelapan malam.

Diruang UGD Dwina segera diberi penangan cepat. Dokter membuka sedikit pakaian Dwina untuk diperiksa dan menampilkan ruam merah yang sangat parah. Lalu dokter memberikan suntikan khusus untuk penangan darurat.

Secara bersamaan rasa bersalah menerpa Bayu dan Arya. Asalkan mereka tidak membawa Dwina ke Bandung, kejadiannya tidak akan seperti ini. Sebuah infus telah terpasang di tangan Dwina juga dia dibantu alat bantu pernapasan.

Dwina dipindahkan ke ruang rawat inap. Juwita mencoba menenangkan kedua laki-laki didekatnya. Wajah mereka berdua begitu pucat sanking paniknya. Nyatanya Juwita juga sedang menenangkan rasa paniknya.

Berulang kali Arya mengusap kasar wajahnya menyiratkan semburat frustasi menggunakan kedua tangannya. Bayangan Dwina sesak napas membuat dia jantungan setengah mati. Ia seolah benar-benar tidak bisa menjaga Dwina. Panggilan telpon dari keluarganya belum juga Arya jawab. Hatinya belum tenang sampai Dwina kembali sadar.

Obat tidur membius diri Dwina dalam beberapa jam kedepan. Perasaan takut tadi mampir pada diri Dwina saat merasakan kesulitan bernapas. Di tambah dia hanyalah seorang diri di dalam kamar luas milik Arya. Dan satu hal lagi, dirinya juga sudah tidak sanggup bergerak oleh rasa gatal membengkak dan panas menyelubunginya, tubuhnya seolah membeku seketika. Hatinya tidak berhenti berdoa pada Allah karena ajal tidak mengenal waktu dan tempat.

Juwita mengambil ponsel milik Arya yang tak kunjung berhenti berdering dan pemiliknya tidak mau mengangkat atau sekedar untuk menonaktifkan.

"Arya gimana keadaan Dwina?" tanya seorang perempuan dengan nada khawatir

"Aku Juwita. Dwina sudah ditanganin dokter. Dia habis dibius tidur beberapa jam lagi dia baru siuman"

"Oh ya udah.. nanti kabarin lagi ya."

"Iya. Assalamualikum."

"Waalaikumsalam," panggilan terputus.


.....

Bayu dan Juwita tertidur diatas sofa saling menyandar satu sama lain walaupun Bayu tidak sepenuhnya tertidur padahal tubuhnya amat lelah. Sedangkan rasa kantuk belum kunjung mendera diri Arya. Matanya terus memperhatikan sosok Dwina duduk di samping ranjang. Berulang kali Dwina terlihat masih kesulitan bernapas, juga sering gelisah dalam tidur dan Arya harus sigap menahan tangan Dwina yang begerak ingin menggaruk ruam merah di sekitar leher dan wajah. Batin Arya menjadi sedih melihat keadaan Dwina seperti ini.

"Haus..." mata Dwina mengerjap membuka perlahan. Suaranya begitu lemah.

Dengan cekatan Arya membantu Dwina meneguk minuman secara perlahan. Dilepas alat bantu pernapasan kemudian ditahan tengkuk leher Dwina supaya memudahkannya meneguk minuman. Air hangat mengguyur kerongkongan Dwina menghangatkan seluruh tubuhnya. Akhirnya keadaan membaik, tidak seperti semalam. Benar-benar kejadiaan mengerikan. Dwina tidak ingin merasakan hal itu lagi.

"Maaf.." Arya menggenggam salah satu tangan Dwina erat.

Dwina kebingungan mendengar permintaan maaf itu. Alerginya terjadi diluar rencana jadi semua ini bukanlah salah Arya maupun kakaknya. Sampai satu menit lebih Dwina belum juga memberi balasan. Ia takut salah bicara, ekspresi Arya sedih sekali ia merasa tidak tega.

Hanya seulas senyum dan sebuah anggukan samar Dwina berikan "Ya udah nggak papa, udah aku maafin dari sebelumnya. Jadi lupain aja rasa bersalah itu." menghindari masalah terlihat seperti pengecut tapi ia butuh berhenti sejenak untuk bernapas lega dari masalah.

Bagaimana Arya mudah melupakan kejadian ini? Dwina bisa mati karena sesak napas akibat alergi dinginnya. Sisi keras kepala Arya muncul kepermukaan. Benaknya sungguh menekan dirinya tenggelam pada rasa bersalah.

"Kalau nggak bisa ngelupain, pura-pura aja lupa. Kalau kakak berani ngebahas ini lagi berarti kakak ngingetin aku lagi sama kejadian itu," Dwina memberi peringatan keras dengan memasang tatapan jengkel ke Arya. Ia sudah ancang-ancang melihat gerak-gerik Arya tadi yang ingin membantah ucapannya.

Dwina menatap jam dinding telah menunjuk waktu subuh. Perutnya benar-benar lapar. Dwina ingat masih menyelipkan permen Vitamin C di kantung jaketnya. Wajah senang langsung menyerbu Dwina. Dibuka permen tersebut lalu mengemutnya dengan nikmat. Enaknya....

Arya menghela napas sedikit kasar, sungguh ia tidak percaya Dwina menyimpan permen dimana-mana. Kemudian bibir Arya membentuk senyuman tipis.

"Aku punya dua, mau nggak kak?" Dwina memberikan satu permen yang tersisa kepada Arya. Jelas Arya langsung menolak itu. Biarkan Dwina menikmati permennya. Terlebih Vitamin C baik untuk orang sakit karena sistem imun pasti sedang menurun.


__________________

Apakah hingga bab ini masih seru?

Apa kalian masih menginginkan next part?

Hai.. jangan lupa berikan apresiasi kalian atas cerita ini dengan klik vote⭐ dan cuatkan komentar..

Terima kasih

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now