35. Merakit hati (3)

7.3K 624 18
                                    

Peringatan!!!
Karena update malam ini, jam 10 pagi besok tidak ada update bab baru ya. Tapi untuk jam 5 sore tetap akan aku post yang baru...

Terima kasih..

__________________ ⊂(・﹏・⊂)

Kenapa bisa jadi seperti ini? Dwina yang memulainya, namun apakah ini sebuah kesalahan besar? Jawabannya adalah tidak sebab perempuan itu sedang mencari jawaban atas kepingan emosi lahir tekanan luar. Dia ingin orang lain tak menggangu proses ketika menjalin hubungan tersebut. Dimana Arya menjadi fokus utama, dia akan belajar dengan caranya sendiri, namun sekali lagi kenapa dia harus marah pada orang sekitar padahal disitulah Tuhan meletakkan ujian pertama.

Dwina menatap kosong jalanan di balik jendela mobil. Dadanya begitu sesak bahkan menangis pun dia tak mampu. Ternyata kebodohannya sudah melewati batas. Apa Arya akan menyerah terhadapnya? Sekilas Dwina takut akan hal itu. Dia tak membenci Arya ataupun menyalahkan laki-laki itu.

"Aku minta maaf." Dwina mencengkram kuat lengan kirinya, tentu itu akan meninggalkan bekas memar akibat luapan besar berusaha Dwina tahan. Dia bingung agar dapat meluruskan masalah ini, Arya dikenal bukan orang ramah bila sedang dalam keadaan marah. Arya akan sulit mentolerir siapapun.

Laki-laki itu masih terdiam dibalik kemudi. Fokusnya sangat tajam ke depan, membelah jalanan yang dia lewatin. Kenyataan pahit akan perasaan Dwina padanya mengguncang dia. Permintaan maaf dari Dwina makin berdampak parah. Ini masih sangat awal untuk mengakhiri. Tapi itu adalah pikiran bodoh, kenapa? Karena Dwina sedang berusaha jujur padanya. Diam-diam dibalik ucapan perempuan itu, dia mengatakan perlu sebuah bantuan.

Arya menepikan mobilnya lalu berhenti. Sejenak Dwina langsung menoleh ke arah Arya penuh tatapan bingung padahal sebelumnya dia enggan sekedar melihat wajah Arya.

"Ada apa kak?" Mungkin terjadi masalah mesin mobil, pikir Dwina begitu. Namun pendapat dia langsung berubah ketika Arya mengambil tangan dia menyentuh wajah laki-laki itu.

"Dwina.. Kenapa kamu baru bilang itu sekarang? Kamu lagi berusaha untuk sayang sama aku, jatuh cinta sama aku? Kenapa kamu bingung sendirian?" Mata mereka saling beradu larut dalam ketenangan.

"Karena orang bakalan bilang kalau aku ini aneh." Kesulitan jatuh cinta, ya itu istilah yang kurang keren menurut Dwina.

"Kata siapa? Aku aja nggak berpikiran begitu." Dwina menerima omelan Arya. "Dan seharusnya aku ikut andil atas perasaan kamu ke aku. Karena aku lebih banyak mikirin diri aku sendiri aku sendiri."

"Jadi?" Sebuah jawaban besar! Dwina menginginkan itu.

Dalam hitungan detik, jantung Dwina berhenti berdetak menyadari Arya mendekat dan mencium bibirnya. Bukan sekedar kecupan, Arya benar-benar menekan belakang kepalanya agar ciuman mereka semakin dalam seolah laki-laki menyatakan, coba rasakan sedikit saja bagaimana perasaaan aku ke kamu.

Dwina memejamkan matanya, ia bisa membayangkan setetes air di dapat dari lautan luas. Satu pengharapan dari keinginan besar. Ini begitu berbahaya karena perlahan Dwina mendapatkan dorongan dalam benaknya, arus yang menerjang sampai dia hilang kendali.

Tangan Dwina mencengkram kuat di antara sela-sela rambut lembut Arya. Arya menuntun Dwina agar membalas ciuman dia dengan sedikit menggoda oleh sebuah gigitan kecil di bawah bibir Dwina. Ini sangat gila, kepala Dwina sampai terasa pusing. Apalagi Arya belum selesai sampai di situ, ciuman mereka memang berhenti sejenak supaya Arya dapat melepaskan seat belt Dwina lalu membawa dia kepangkuan nya. Mereka kembali berciuman, lebih panas dari sebelumnya.

Napas Dwina tersengal hebat. Hanya sebuah ciuman sampai membuat paru-parunya terbakar. Ciuman mereka yang berlangsung lama akhirnya usai. Arya langsung membenamkan wajah Dwina ke tengkuk lehernya. Membelai pelan kepala Dwina seolah sudah sekian lama dia menahan diri untuk melakukan itu. Benar apa kata Dwina, pacaran tidaklah cukup untuk hubungan orang dewasa seperti mereka, dia mengharapkan lebih. Bukan secara biologis saja namun juga kejiwaan.

"Dwina..." Mereka sama-sama belajar memahami satu sama lain. Arya ingin mengenal Dwina lebih dari pada yang dia bayangkan. Sebab di dalam sudut hatinya selalu berarah ke sisi Dwina, sebesar apapun dia mengendalikannya selalu saja kaki Arya kembali melangkah menemui perempuan itu. Dia bagaikan terpanggil. "Dwina.. mulai sekarang kamu bebas membuka diri. Jangan takut sama aku."

"Lagian kak Arya mukanya nyeremin. Apalagi kalau cemberut kayak tadi, aku malah mikir aku mau di turunin di tengah jalan." Arya terkekeh pelan mendengarnya.

Dwina menarik diri dari rengkuhan Arya. Sekarang dia bisa melihat jelas kedua mata Arya sangat lembut di balik ketegasan, sampai Dwina betah memandangnya. "Mata kakak indah, aku suka itu."

"Kamu juga," dan mereka kembali berciuman.

....

Perasaan kacau berakhir tenang oleh satu uluran tangan Arya kepadanya. Malam telah tenggelam sejak dua jam lalu sayangnya Dwina masih terjaga mengingat kejadian sore. Dia balik selimut Dwina merenung sendirian, tanpa batas meresapi pelan-pelan kehangatan hati Arya. Ia kira Arya akan melangkah mundur pada hubungan mereka, malah sebaliknya dia mengambil langkah nekat.

"Arya Wijaya, sekarang aku punya poin besar untuk kamu." atas sebuah keteguhan hati. Meski ini penilaian awal boleh jadi itu karena Dwina mulai menginginkan Arya.

Lampu telah di matikan, Dwina kini perlahan tenggelam ke alam mimpi. Tampak sebuah potongan gambar masa kecilnya yang nyaris dia lupakan. Kala itu kaki kecil Dwina berlari cepat tanpa arah seperti kabur dari sesuatu besar yang dapat melenyapkannya.

"Mama," dia berusaha memanggil nyatanya suara dia tidak keluar akibat tenggorokan yang tercekat hebat. Sosok kecil Dwina di tarik oleh tangan besar ke dalam kamar sempit dan pengap. Banyak sekali sampah menumpuk menimbulkan bau menyengat, serta kondisi lantai lengket menjijikan. Dwina kecil mendapati dirinya gemetaran hebat, monster raksasa bertubuh orang dewasa memukul keras kepalanya, bertubi-tubi sampai dia tak kuasa terpelanting ke dinding rumah kontrakan jelek tersebut.

"Dwina! Mama bilang kamu itu jangan main kemana-mana. Mama pusing cari kamu!" Kepingan harapan telah hancur Dwina gapai. Asap rokok di rumah kontrakan tersebut menjadi hal biasa. Dwina sejenak menatap tajam monster tersebut setelah dia yakin kepalanya berdarah akibat benturan hebat.

"Aku benci mama." Dwina kecil penuh emosi kemarahan.

"Ngomong begitu terus aja. Mama juga kesusahan Dwina, ayah kamu nggak pulang-pulang sekarang kita nggak punya uang." Monster itu sangat pemboros, dia bodoh dalam mengatur pengeluaran lihat saja minuman keras telah menjadi makanan harian. Ayah lelah berurusan dengan mama.

Tangan monster tersebut menangkup kuat wajah Dwina kecil bagaikan rahangnya ingin di remukkan. "Dasar anak nakal!"

Diri Dwina ketarik ke dunia nyata terdengar bunyi jam beker tanda waktu menunjuk lima pagi. Dwina berusaha menarik sebanyak mungkin udara masuk ke paru-parunya. Mimpi buruk itu lagi. Dwina tidak gemetaran namun sebagai respon atas ketakutannya, dia mengirim sinyal ke alam bawah sadar agar mematikan segala rasa. Rasa pengharapan, rasa cinta, rasa jenuh, rasa kebencian dan semua berguna sebagai pelindung diri.

Si kecil Dwina mati rasa, mati pengharapan, empati dalam benaknya hanya bualan saja karena dia melakukan itu berdasarkan analisa dan pembelajaran bagaimana cara baik bersosialisasi dengan orang lain. Inilah dirinya sangat munafik.


_________________

Hei., Jangan lupa klik vote ⭐ dan cuatkan komentar anda tentang novel ini.

Terima kasih sudah membaca ༼ つ ◕‿◕ ༽

Trust Your Heart [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt