76. Awal Pernikahan (7)

6.3K 541 21
                                    

Aku bisa merasakan kegeraman dalam diri kak Arya. Dia menjawab panggilan telpon itu tanpa berpikir panjang dan tak mungkin bisa dihentikan walau ku tahu tindakannya ini akan sia-sia saja. Jordan si pengecut akan langsung mematikan panggilan bila kak Arya yang berbicara langsung dengannya.

"Ada perlu apa kamu sama istri saya?"

"Bukan Dwina ya? Itu kurang asik." Ternyata benar, telpon dimatikan sepihak dan tidak akan bisa kembali tesambung.

"Sialan!" kak Arya hampir meremukan ponselku dalam satu genggaman kuat. Sedangkan aku tetap terdiam, jika sampai salah bicara itu akan memperkeruh keadaan. Emosinya benar-benar meledak, bahkan wajahnya merah padam sulit terelakkan. Padahal dari awal aku tidak ingin kejadian ini sampai membuatnya begini.

Setelah itu aku terbelalak melihat kak Arya membuang ponselku ke tempat sampah. Apa dia tak menghiraukan banyak hal penting untukku di dalam benda itu? Meski sebenarnya sudah ada backup otomotis ke jaringan internet yang sudah ku antisipasi sejak ponsel itu ku dapatkan.

"Dari kapan dia mulai ngusik kamu?"

"Setelah kejadian aku bertengkar sama Putri. Aku pernah bilangkan kalau dia nggak waras." Kak Arya mendesah kasar lalu mengusap frustrasi wajahnya dengan kedua tangan.

"Tetapi kamu nggak pernah bilang kalau dia masih gangguin kamu sampai sekarang. Ini udah lebih dari sebulan sejak kejadian itu. Bagaimana aku bisa tenang? Dia bisa bertindak lebih gila lagi!" Suara kak Arya meninggi hingga aku membeku di tempat. Dia memarahiku. "Lelaki itu bisa nyakitin kamu lagi Dwina? Mungkin yang kejadian sebelumnya itu belum terlalu memuaskannya."

Aku menggelengkan kepala, aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Diriku langsung tertunduk sambil salah satu tangan memijit kuat keningku. Apa aku terlalu meremehkan perkara ini?

"Aku minta maaf. Aku cuman nggak ingin buat semua orang khawatir." Kedengarannya memang mudah, tapi jika disadari aku sebenarnya sangat frustrasi memendam semua ini demi tidak merusak jalannya acara pernikahanku dengan kak Arya. Andai dia tahu.

"Kamu terlalu naif Dwina." Ujarnya dingin mengoreksiku. Lalu sebaiknya aku harus berbuat apa? Bisik batinku. Tidak, yang lebih kuinginkan sekarang hanyalah melihat dia berhenti marah padaku.

Kak Arya beranjak keluar dari kamar hotel sambil membanting pintu, sepertinya dia mau menghubungi seseorang dan mengurus masalahku ini. Lebih cepat lebih baik. Sedangkan tubuhku tiba-tiba terasa lemas kemudian terduduk di tepi ranjang. Hatiku mendadak kosong diselimuti oleh hawa dingin sampai membuatku makin menggigil tak tertahankan. Ini pertengkaran pertama kita yang ternyata sulit untukku hadapi.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Hanya bisa berdiam diri saja membuatku kian sesak. Aku menyesal, sungguh kini aku paham di mana letak kesalahanku meski dari sisi lain ini tampak seperti masalah kecil.

Setengah jam kemudian kak Arya kembali. Wajahnya masih gusar, sedangkan di tangannya dia membawa sebuah paper bag berwarna cokelat yang ku tidak tau apa isinya.

"Ayo berangkat, taksi kita udah datang." Serunya cepat, kemudian membereskan koper dan barang bawaan lain, melihat itu aku segera membantunya. Setelah semua beres kemudian dia lekas menarik tanganku, akupun tergesah mengikuti langkah cepatnya menuju lift. Hingga tiba di lobbi, kulihat benar taksi kami sudah menunggu. Kak Arya membukakan pintu taksi untukku dan aku segera masuk. Selama perjalanan tidak ada perbincangan di antara kita, walaupun begitu dia masih mau menggengam tanganku. Ini terasa lebih baik.

Beberapa menit kemudian kita tiba di teluk Nara, kapal boat sewaan kita sudah menanti kedatangan kita. Kak Arya langsung menerima sapaan serta uluran tangan dari seorang pria paruh baya berkulit gelap akibat sering terbakar sinar matahari yang ku ketahui dia adalah pengemudi kapal.

"Ini istri saya. Kemaren dia sakit, jadi baru sekarang bisa pergi jalan-jalannya." Seru kak Arya sambil terkekeh akrab. Pria yang kerap disambut pak Badi itu kemudian mengangguk paham. Pak Badi lalu mempersilahkan masuk ke dalam kapal boat pribadi. Aku tidak mengerti besaran ukuran kapal boat yang semestinya, tetapi menurutku kapal ini sudah lebih dari cukup dengan menyungguhkan fasilitas memadai serta ruang penumpang yang nyaman. Pak Badi mengatakan waktu tempuh ke pulau Gili Trawangan sekitar satu setengah jam.

Tidak butuh waktu lama kitapun memulai perjalanan menempuh terjengan ombak laut. Sebenarnya laut ini menyungguhkan keindahan surga dunia, aku terpukau sesaat sayangnya ketika pikiranku sekilas mengingat kejadian tadi aku langsung murung. Aku sulit menikmati liburan ini bahkan aku tak bisa melakukan pembelaan di hadapan kak Arya untuk masalahku ini.

Kak Arya yang duduk disebelahku kini memperhatikan wajahku sambil merengkuh pinggangku untuk lebih dekat ke sisinya. Diapun sedikit mengusap lembut pipiku lalu berbisik, "aku beliin hp dan nomor baru untuk kamu." Keputusannya memang terasa egois namun melihat dia tidak marah lagi membuatku mengangguk cepat.

"Urusan dia biar aku yang urus. Kalau dia masih berani ganggu kamu lagi, jangan lupa untuk langsung bilang ke aku."

"Iya. Aku akan cerita semuanya ke kakak." Sahutku. Kak Arya lalu mencium keningku cukup lama. Aku bisa merasakan kesungguhkannya untuk bisa menjagaku sebaik mungkin. Itu bukan sekadar tanggung jawab maupun janjinya pada keluargaku. Melainkan semua ini demi aku dan dirinya.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung memeluk tubuhnya seolah mengunci dia untukku.

Kak Arya mengatakan kalau ponselku yang dulu akan di paketkan oleh pihak hotel ke rekannya yang berprofesi sebagai polisi di Jakarta dan ponsel itu akan tetap aktif serta menjadi barang bukti peneroran Jordan kepadaku. Mungkin itu pilihan terbaik.

Sekarang beban dihatiku mulai berkurang. Memendam masalah ini membuatku merasa berat bahkan di saat menjalani keseharinku, mana mungkin aku bisa tenang ketika ada seseorang selalu menggangguku.

"Kamu tahu mengapa lelaki itu selalu ngusik kamu?" Tanya kak Arya padaku. Sebenarnya aku sendiripun masih bingung motif dari perlakukan Jordan padaku.

"Entahlah. Pertama kali aku ketemu sama dia itu di kafe, seorang pelayan nggak sengaja nabrak aku lalu minumanku jatuh dan kena sepatu laki-laki yang ternyata itu adalah Jordan. Dia langsung bentak aku kemudian dia pergi begitu aja. Dari awal sikapnya memang kurang sopan, mudah marah juga suka menyalahkan orang lain. Pertemuan kedua, waktu itu aku jalan sama Putri dan tiba-tiba ada Jordan yang ternyata kenalannya Putri. Nggak tau kenapa, sikap dia saat itu seolah tidak ada masalah antara aku dan dia, padahal sebelum itu kita pernah bertemu, dia juga kelihatan nggak lupa sama wajah aku." Tukasku.

Yang kutangkap dari setiap gerak-gerik Jordan adalah terdapat keanehan. Dia memang kelihatan bersikap wajar seperti orang biasa, namun di mataku dia tampak palsu dan sebagian besar orang masih tak menyadarinya termasuk Putri.

"Mungkin dia sakit jiwa." Bisikku hampir tidak terdengar. Membayangkan tentang Jordan membuatku selalu bergidik ngeri. Dan kak Arya yang berada di sebelahku langsung memahami apa yang sedang kupikirkan, tangannya kini menggengamku begitu erat sambil berharap pada Tuhan agar Jordan berhenti menggangu hidupku lagi.


_______________________

Eits, jangan lupa klik vote dan cuatkan komentar anda. Terima kasih sudah membaca novel ini.

Sehat selalu semua..

Trust Your Heart [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin