6. Mengenal (4)

37.8K 3.4K 31
                                    

Tangan Dwina sudah sedingin es. Arya belum tau apapun mengenai Dwina, walaupun Bayu telah memberikan ribuan wejangan untuknya. Dwina jauh lebih kompleks. Sifat tertutupnya terhadap orang asing jauh dari kata wajar. Begitu menurut Arya.

Disisi lain Dwina akhirnya dapat merasa lega terbebas dari lingkaran itu. Setiap sendinya relaks mengendur tanda ia diizinkan mengistirahatkan diri. Dwina dibawa ke sebuah kamar terdominasi maskulin. Terdapat satu set komputer dan meja yang di khususkan untuk penggemar game PC. Ia telah masuk batas tabu.

"Kamu bisa istirahat di kamar aku, soalnya kamar tamu sekarang udah penuh."

"Oh.. iya udah." Jawab Dwina kaku.

"Tangan kamu dingin banget." Segera Dwina terperanjat kaget menarik tangannya dari genggaman Arya. Belum lagi Arya menatap lekat ke sisi Dwina dalam artian bahwa pria itu serius terkejut akan fakta yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.

"Ini mah udah biasa." Lidah Dwina kelu, ia bicara semampunya di bawah sikap aneh Arya. Mulut Arya terkatup rapat menimbulkan garis di wajahnya, padahal sekalipun kak Bayu tak pernah menunjuk sisi menyeramkan seperti ini padanya. Otak Dwina spontan melontarkan peringat bahaya.

"Kalau kayak gitu terus jadi kebiasaan buruk. Jangan diam aja sendirian, kalau lagi ada di rumah ini semisal kamu butuh sesuatu langsung bilang aku aja." Suara Arya amat ketus.

"Oke." Dwina menundukkan pandangannya sembari kepalaya mengangguk samar. Memang ada keanehan dari sikap dan pemikiran Dwina terhadap orang asing yang baru ia kenal. Mulutnya otomatis terkunci rapat, jujur dia tipe pemalu namun Arya pasti sulit paham.

"Ya udah kamu istirahat." Arya melepaskan tangan Dwina yang kini mulai menghangat. Sekilas ia menyukai sikap penurut Dwina. Dengan berat hati Arya meninggalkan perempuan itu sendirian di dalam kamar. Kemudian Dwina lekas mengunci pintu.

"Dasar cowok aneh." Dwina menggerutu, kesal menyalahkan sikap Arya. Iapun membenturkan pelan kepalanya ke tembok. Ia sebal terjebak di tempat ini, dan kenapa harus Arya Wijaya dari sekian juta laki-laki di dunia ini?

Dwina berusaha mengenyahkan pikiran penat menghantui dirinya lalu memilih istirahat sejenak, membersihkan diri, berganti pakaian serta beranjak ke ruang utama lagi dimana semua orang masih berkumpul untuk menghabiskan waktu. Ia tidak enak hati dengan orang-orang di rumah ini bila tak ikut nimbrung, bisa disangka dirinya sombong, kurang sopan sama tuan rumah dan lain-lain.

Sopan santun, akhlak yang baik menjadi nomor satu tanpa memandang pendidikan, jabatan, kekayaan juga ketenaran. Ibu Dwina sangat keras ketika mendidik tentang menghargai orang lain terutama orang tua. Ilmu itupun sampai serta dipahami Dwina dan kak Bayu. Padahal kak Bayu dulu orangnya bandel banget tapi kalau berhadapan sama orang lebih tua darinya sikap nakalnya akan menciut.

Dwina keluar hanya membawa ponsel jaga-jaga takut kak Bayu atau ibunya menelpon. Diapun mulai bergabung lagi dalam kumpul keluarga. Ia duduk di sebelah teh Bika kakak perempuan Arya dan sedang memangku anak kecil bernama Jessy.

"Dwina sekarang lagi kuliah?"

"Iya kak."

"Ambil jurusan apa?"

"Jurusan ilmu kefarmasian udah semester enam. Dan rencananya tahun ini ambil magang dulu baru abis itu skripsi." Dwina memberi informasi lengkap sebab hampir semua orang di rumah ini bertanya hal yang sama untuk membuka obrolan dengannya.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now