98. Dinding Batas (10)

3.4K 342 7
                                    

Dwina belum pernah merasakan benar-benar sepayah ini. Ia baru menelan satu sendok makan sarapan lalu mendapati dirinya dramatis, menangis sambil memuntahkan isi lambungnya di closet. Kedua tangannya ikut gemetar, tanda kalau dia sungguh membutuhkan energi makanan. Namun....

Karena sudah tak ada lagi makanan di perut, yang keluar hanyalah cairan pahit asam lambung dan menciptakan rasa perih menjadi-jadi.

Setelah rasa mual berkurang, Dwina duduk di atas closet, termenung dengan kepala menyandar di kedua tangan. Seluruh perasaan menjadi buruk, bahkan ia masih menangis. Hamil menjadikan dia lebih buruk dari sekedar PMS.

"Dwina..." Arya berdiri di depan pintu kamar mandi. Dia tidak berani masuk sebab Arya terkena omelan Dwina dan perempuan itu akan menangis keras kalau Arya mencoba menenangkannya.

"Jangan panggil namaku! Aku nggak mau melihat kamu." Arya langsung membeku di tempat. Baiklah untuk sementara waktu ia tidak akan memanggil nama istrinya. Ini semua berkat hamil. Arya enggan mengumpati anaknya sendiri karena telah membuat Dwina menjadi jahat padanya.

"Mau aku panggilin mama kamu? Siapa tau bisa menenangkan kamu." Arya merasa itu ide bagus.

"Mama?" Dwina lupa memberitahu mama kalau dia sudah hamil. Sejak kemarin ia juga jarang membuka ponselnya atau sekedar mengecek pesan masuk.

"Biar aku aja yang nelpon, kalau kamu  belum merasa baikkan atau canggung." Dwina mengangguk samar tanda iya menyetujui apapun yang Arya sarankan.

Arya bergegas menghubungi mama, sedangkan Dwina masih membutuhkan lima menit lagi untuk beranjak dari toilet. Sambil melangkah gontai Dwina ke ruang tenang, merebahkan diri di sofa dan menonton acara tv penuh lamunan.

Arya mendesah melihat istrinya tak berdaya bagaikan semangat hidupnya hilang lima puluh persen. Rasanya Arya ingin melepaskan jas-nya dan enggan pergi ke kantor hari ini. "Kalau mau tidur di kamar aja?" seru Arya berdiri di samping sofa.

"TV-nya disini." Jujur Dwina belum pernah bertingkah se-menjengkelkan ini

"Kalau gitu tv-nya aku pindahin ke dalam kamar."

"Nggak mau. Aku mau nonton tv disini, di kamar bosan."

Arya melarang Dwina berangkat kuliah. Tanpa banyak diskusi Arya langsung menghubungi pihak kampus agar mendapatkan izin. Tak lupa, Dwina juga sudah dianggap telah menuntaskan magang tidak lain semua berkat Tari.

"Satu jam dari sekarang mama akan datang."

"Aku belum mandi." Gumam Dwina memperhatikan jam dinding menunjuk pukul tujuh pagi.

"Cuci muka sama ganti baju aja. Nggak usah mandi. Atau mau aku bantu kamu mengelap badan pakai air hangat?" Dwina sekilas melirik Arya saat mendengar saran tersebut. Bukankah ia sangat merepotkan akhir-akhir ini?

"Tapi kamu udah siap berangkat ke kantor." Dwina terduduk dari rebahan nya,

"Aku akan izin untuk hari ini. Kalau kamu mau ditemani."

"Memangnya nggak papa? Ini hari Senin loh." Dwina mencoba mengingatkan, Arya adalah anggota penting dalam pekerjaannya. Mungkin ketidak-hadirannya dapat mengganggu kinerja tim.

"Iya nggak papa." Arya membuka kancing jas, kemudian melepaskan setelannya dengan santai. "Ayo kita balik ke kamar." Arya mengulurkan tangan pada Dwina.

"Aku masih lapar dan tidak mau makan bubur lagi. Nanti setelah membersihkan diri, bisa buatkan aku omelette sosis keju," ujar Dwina sembari menerima uluran tangan hangat Arya.

"Aku akan coba." Arya mengangguk sedikit ragu. Ia akan mencari caranya di internet, selama ini dia biasanya memasak telur goreng orak-arik yang simpel.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now