88. Dinding Batas (1)

24.5K 2.5K 5
                                    

Dwina menatap sekeliling rumah, kembali mengingat perasaan yang sama ketika dia pertama kali ke Bandung—rumah orang tua Arya. Rumahnya besar, bertingkat dua, mempunyai halaman luas juga asri. Terdapat kolam ikan di teras dan itu tempat dimana ponselnya pernah tercebur. Dwina mendengus pelan.

"Ayo kita makan siang dulu." Arya menghampiri Dwina yang sedang berdiri di pintu masuk antara halaman dan ruang tengah sambil mengawasi anak-anak Teh Kila bermain. Dwina mengangguk sebagai jawaban, lalu memanggil anak-anak untuk berhenti bermain. Mereka semua pun bergegas ke ruang makan.

"Enak ya disini." Dwina menikmati sekali liburan akhir pekannya. Kediaman orang tua Arya jauh dari pusat kota, suasananya tenang serta udaranya bersih.

"Kamu mau kita bikin rumah juga di Bandung?" Langsung Dwina berkerut aneh atas usulan Arya. Kenapa tiba-tiba jadi membeli rumah? Jika serius, pasti itu akan mengeluarkan banyak biaya, tenaga, dan apa pula manfaat ke depan kalau mereka memiliki rumah ke dua di sini.

"Saudara-saudara aku hampir semuanya punya rumah di Bandung, kecuali aku sendiri. Contohnya Teh Bika, dia dan suaminya memang tinggal di Jakarta tapi sebelum keduanya menikah mereka memutuskan membangun rumah tidak jauh dari tempat orang tuaku ini dengan alasan investasi."

"Menurutku, sewaktu liburan seperti ini kita cukup menginap saja di rumah ibu. Lagi pula kita nggak setiap Minggu ke Bandung, sekalinya pergi pasti nanti ibu minta kita menginap di tempatnya."

"Kita juga bisa niat untuk investasi."

"Dalam bentuk tanah atau yang lain lebih baik dari pada bentuk rumah. Ada biaya pembangunan dan perawatan tiap tahun. Aku ingin kita lebih banyak memiliki simpanan untuk keadaan darurat." Tidak bisa dipungkiri pengeluaran uang ketika menikah bisa melonjak tiga kali lipat bahkan lebih, berbeda saat masih sendirian.

"Uang darurat, aku udah punya khusus untuk kita." Arya mendekat, berbisik di telinga Dwina mengatakan jumlah kasar uang mereka. Mendengar perhitungan yang terbilang besar membuat Dwina terlonjak.

Arya memang dari keluarga menengah ke atas. Tapi dia selalu bersikap dermawan, jarang mengungkit masalah keuangan di hadapan Dwina. Hingga banyak orang tidak menyadari latar belakang Arya sesungguhnya, termasuk Dwina.

"Aku punya pendapatan passive income dan sejumlah uang deposito yang dikasih sama orang tuaku sejak lulus kuliah." Arya mendelikkan bahu bagaikan kekayaan yang dia miliki di usia muda adalah hal biasa. Bahkan tanpa bekerja pun Arya masih bisa hidup tenang. Pantas saja Arya pernah kukuh melarang Dwina bekerja. 

"Jadi bagaimana? Bukan masalahkan kalau kita bikin rumah di sini?" Arya balik bertanya. Sedangkan Dwina masih butuh menerima informasi baru ini. Dwina jadi heran kenapa Arya mau menikah dengan perempuan biasa seperti dia? Bahkan ia belum lulus dan memiliki penghasilan sama sekali. Sebenarnya apa yang Arya lihat dari dia?

"Kalian kenapa berdiri diam di situ? Ayo makan dulu." Panggil Bu Laras sambil melambaikan tangannya agar Dwina dan Arya bergabung di meja makan.

Dwina memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Arya barusan. Segera dia mengalihkan perhatian menikmati makan siang bersama.

"Ibu belom tanya, gimana kabar kamu nak?" Tukas Bu Laras sambil menuangkan sayuran dan lauk ke piring Dwina.

"Kabar aku baik Bu. Kalau kabar ibu bagaimana?" Kepala Dwina mengangguk dengan segan sambil berterima kasih atas perhatiannya Bu Laras dan mulai menyantap makanannya.

"Kabar ibu juga baik, cuma suka sakit kepala karena darah tinggi." Posisi duduk Bu Laras berubah mengarah ke Dwina. Dengan wajah serius dia berkata, "Oh ya ibu mau bilangin, kalau Arya macem-macem sama kamu bilang ke ibu. Temperamen dia kadang nggak terkendali, suka seenaknya sendiri mengambil keputusan."

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now