97. Dinding Batas (9)

3.5K 353 6
                                    

Dia belum bisa merasakan apapun bahwa ada sebuah janin kecil di dalam perutnya. Mungkin keberadaaanya terlalu kecil, atau Dwina sendiri masih terkejut sampai tak percaya bahwa dirinya tengah hamil.

Selesai pemeriksaan, dokter memberikan foto hasil USG pada Dwina, ada gambaran abstrak dimana janin tersebut melekat di rahim. Setenang apapun Dwina, ia sulit menutupi ketakutannya menyadari kalau sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu. Cepat atau lambat, sembilan bulan lagi anak tersebut akan lahir.

Apakah dia bisa menjadi ibu yang baik? Apakah ia akan melukai anaknya nanti? Bagaimana jika anak itu berakhir membencinya?

Banyak hal yang sudah Dwina pelajari menjadi seorang ibu dari Mama. Dari hal umum hingga secara detail. Namun ia merasa belum cukup. Ia butuh pengetahuan dan pendidikan mengurus anak lebih banyak lagi. Tekat Dwina dalam hati. Jangan sampai masa lalu yang menimpanya dulu dirasakan oleh anak kelak.

Usai Arya mengurus segala pembayaran serta menebus resep obat, jam sebelas siang Dwina sudah diizinkan pulang. Mereka pun kembali apartemen karena Dwina masih butuh banyak istirahat, mungkin besok keadaannya sudah membaik. Harap Arya begitu.

Dalam waktu singkat mereka sudah tiba di rumah. Dwina bersyukur sekali ketegangan pada tubuhnya berkurang, rumah sakit membuat dia tidak nyaman begitu juga Arya. Wajah suaminya sudah suntuk menemani dia semalaman.

"Aku akan siapin makan siang. Aku akan membuatkan bubur untukmu. Orang sakit butuh makanan yang lebih lunak supaya mudah dicerna." Seru Arya setelah meletakkan barang bawaan dari rumah sakit kemudian beranjak ke dapur untuk memeriksa bahan di dalam kulkas dan menyiapkan beras.

"Memangnya kamu bisa masak?" Dwina sedikit ragu. Arya hampir tak pernah menyentuh dapur.

"Kalau bubur, ibuku pernah ngajarin aku. Kupikir hasilnya akan lumayan." Arya terlalu percaya diri terlihat dari lagaknya yang santai.

"Kamu bisa tambahin santan kelapa instan dan sedikit garam untuk menambah rasa gurih."

"Benarkah?" Arya menoleh ke arah Dwina. Apakah dia benar-benar tidak tau itu? Cara membuat bubur yang lebih enak. Dwina termenung, apa sebaiknya dia saja yang memasak? Tapi Arya tampak menolak ide itu dari ekspresi cemberutnya.

"Kamu juga bisa menambah daun Salam. Masih ada beberapa helai daun Salam di kulkas." Sahut Dwina menghampiri Arya ke dapur lalu sedikit membantu menyiapkan bahan-bahan. Ia sudah menduga kalau lelaki itu sulit membedakan para dedaunan. Daun Jeruk nanti dikira daun Salam.

"Apakah masih ada yang lain?" Dwina langsung menggelengkan kepala, semua bahan dan alat sudah cukup untuk Arya mulai memasak.

"Aku akan menambahkan abon sapi dan kecap ketika buburnya sudah jadi. Itu sudah enak." Dwina bisa menikmatinya dengan topping sederhana.

"Kalau gitu kamu tunggu di kamar, istirahatlah.." Ujar Arya kemudian mengecup kening Dwina.

Dwina mematuhi ucapan tersebut dan ia berjalan ke kamar meninggalkan Arya di dapur. Ia berencana membersihkan diri, mengganti seluruh pakaiannya agar lebih nyaman. Namun saat Dwina kembali sendirian perasaan khawatirnya perlahan memuncak. Ia berulang kali mendesah sambil keluar dari lamunan panjang.

Sampai sekarang Dwina belum berani menyentuh perut bawahnya. Ia sadar sikapnya ini berlebihan apalagi dari awal ia sendiri merencanakan program hamil ini. Dwina berharap ia segera terbiasa.

Sebuah ketukan pintu kamar mandi mengejutkan Dwina. "Dwina.. kamu masih lama? Jangan lama-lama kamu di kamar mandinya." Seru Arya masih mengetuk sampai Dwina memberikannya menyahut.

"Iya. Sebentar lagi." Dwina tidak mandi, ia hanya mengelap tubuhnya dengan air hangat, sikat gigi dan mencuci muka.

Lima menit kemudian Dwina keluar dari kamar mandi. Arya membantu mengambilkan pakaian setelah itu menyajikan bubur di meja kecil supaya Dwina bisa menyantapnya di atas ranjang.

Trust Your Heart [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang