109. Pertemuan Hati (1)

4.5K 290 18
                                    

Sekali lagi dia menekan bel rumah. Ini pertama kalinya Tari mengunjungi rumah Dwina, tepatnya rumah orang tua Dwina. Semua berkat desakan dari si Bayu gila-maniak adiknya sendiri. Entah dari mana dia mendapatkan nomer telponnya dan Tari disuruh datang untuk menemani adiknya yang bosan di rumah. Yap, Bayu khawatir sekali bila adiknya kebosanan.

Sebelumnya Tari pernah beberapa kali menjenguk Dwina di rumah sakit. Benar-benar dramatis apa yang terjadi pada temannya itu hingga dia tak bisa berkata apapun kecuali berharap agar Dwina lekas membaik.

Namun semenjak kunjungan terakhir di rumah sakit, Tari belum ada waktu untuk menjenguk lagi. Walaupun begitu mereka tetap menjaga komunikasi, sesekali menelpon dan mengirim pesan sekedar menanyakan kabar. Bagi Tari dan Dwina itu lebih dari cukup, hanya saja mereka jarang bila membahas urusan pribadi. Pasti perbincangan di antara mereka seputar kuliah dan obrolan ringan.

Pintu gerbang terbuka, sosok Bayu muncul dibaliknya. Seperti yang Tari kenal lelaki itu pasti memasang wajah tebal, malas dan menjengkelkan. "Masuk." Perintah Bayu seenak jidat. Jika datang ke sini bukan karena niat menjenguk Dwina, Tari pasti sudah meremas muka itu.

Tari tersenyum memaksa, dia harus menjaga moodnya agar tetap stabil. Iapun mengikuti langkah dibelakang Bayu, masuk ke dalam rumah lalu menuju gazebo. Dwina yang sedang membaca novel disana terkejut atas kedatangan Tari, segera dia menghampiri penuh antusias.

"Kok datang ke sini? Nggak bilang-bilang dulu," seru Dwina, mereka saling mencium pipi kanan-kiri. Tari melihat perut Dwina sudah membesar cukup banyak, mungkin sebentar lagi dia akan melahirkan. Tanpa sadar Tari tersenyum bersemangat, menantikan bayi itu lahir ke dunia.

"Ya begitu deh. Udahlah, bilang aja ini kejutan mumpung jadwalku lagi longgar." Tari malas membahas tentang Bayu. Tidak ada manfaatnya sama sekali.

Tanpa bicara, Bayu meninggalkan kedua perempuan itu. Dwina hanya mendelikan bahu melihat hari ini suasana hati kak Bayu tampak buruk.

Segera Dwina mempersilahkan Tari duduk,  ia lalu pergi ke dapur menyiapkan minuman dan camilan untuk mereka berdua. Tak lama diapun kembali membawa  sebuah nampan, ada seteko teh serta dua potong Caramel Cake.

Mereka langsung berbincang seru, terutama membahas tempat magang terbarunya Tari. Sengaja Tari tidak bertanya banyak hal tentang masalah yang sebelum ini menimpa Dwina. Meski dia sedikit penasaran.

"Tari boleh aku tanya sesuatu," seru Dwina saat pembicaraan mereka berhenti sejenak.  Arah pandang Dwina tertunduk sambil jarinya tertaut serta saling beradu. Ada yang masih dia cemaskan.

"Tentu saja." Tari masih menjaga sikap tenangnya meski dia mengerti keresahan masih tersimpan dalam diri Dwina. Jika dia bisa membantu mengurangi hal itu, kenapa tidak?

"Apakah ada cara terbaik untuk menghilangkan rasa trauma yang menyakitkan?" Dwina menatap hati-hati diri Tari. Selama ini Dwina masih berdiam tanpa mengingat apalagi membahas hal itu. Dia terus melarikan diri tanpa menyelesaikannya.

"Tentu saja ada, tapi semua tergantung diri sendiri." Sahut Tari santai. Dia tidak tauapa yang sebenarnya terjadi pada Dwina, Bayu juga tampak enggan menyinggungnya ketika memintanya datang untuk menghibur adiknya.

"Benarkah ada?" Dwina mengulang kalimat tersebut. Matanya membulat, ia seperti mendapatkan pencerahan dan jalan keluar.

"Coba aku jelaskan. Aku pernah mendengar ini dari seseorang yang hebat. Kau tau rasa sakit dan tersiksanya saat persalinan? Ternyata Tuhan menghapus ingatan rasa sakitnya berjalan seiring waktu. Rasanya yang hilang, tapi kenangan persalinan luar biasa itu masih ada. Aku sederhanakan saja, ketika kita kecil pernah jatuh dan lutut kita terluka, ketika sudah besar apakah rasa sakit itu masih ada? Tentu tidak. Tapi kita masih mengingatnya. Kita tetap baik-baik saja menjalani hidup ini. Itu hadiah dari Tuhan, maka dari itu wanita bisa melahirkan banyak anak."

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now