81. Bayangan Rasa (4)

4K 347 6
                                    

Kenangan masa lalu itu sudah dibuang jauh oleh Arya. Bahkan sudah lebih dari setahun dia tidak memikirkan itu lagi.

Tetapi ketika pernikahan ini terus melangkah maju, mengapa ada secercah rasa menjebak ia dalam kekhawatiran? Risau bila suatu saat nanti Dwina akan pergi meninggalkan ia seperti Putri-wanita yang ia letakan harapan banyak dalam dirinya lalu dengan pikiran pendek membuang semua itu.

Arya berpikir demikian karena hanya orang-orang yang pernah dikecewakan bisa merasakan dilema besar seperti ini pada pasangannya. Arya tau ini pikiran buruk walaupun dia tau Dwina dan Putri jelas sangat berbeda.

Arya menghela napas panjang, dia menyesap sepuntung rokok tanpa di nyalakan api. Dulu dia seorang perokok namun sejak dia berusaha membenahi hidup yang kacau bagaikan neraka setelah putus dengan Putri, ia memutuskan berhenti merokok. Meski dia masih punya pemikiran kalau menyesap rokok dapat mengurangi rasa stres. Dan kebiasaan itu terbawa hingga sekarang.

Arya meresapi aroma rokok yang sangat familiar sambil bersandar di pagar beranda apartemen mengamati pemandangan malam hari kota Jakarta.

Disana diri Arya masih larut dalam kegundahan, dilema dan rasa jengah sambil sesekali dia mengerang melepaskan segala emosi.

Mengikat Dwina untuk dia seorang seperti tidak cukup. Gejolak hati Arya belum kunjung tenang, tidak ada kepuasan batin yang mampu menenggelamkan segala kekhawatiran juga pikiran buruk.

Apa yang harus ia lakukan?

Mengunjungi psikiater gila itu lagi?

Padahal di pertemuan terakhir mereka, Arya bersumpah untuk tidak menginjakan kaki di ruang prakteknya.

Sekali lagi Arya mengacak frustasi rambutnya. Bagaimanapun juga dia harus mencari jalan keluar atas kondisi ini. Dia tidak ingin Dwina menjadi menjauh karena sikapnya yang mulai posesif dan terobsesi parah untuk terus mengekang membatasi kehidupan Dwina. Arya paham dia sedang sakit jiwa.

Dari belakang sosok Dwina memperhatikan Arya sesekali bergumam sendirian. Dwina sudah menyadari sikap Arya semakin aneh dan puncaknya yaitu tadi sore ketika mereka membahas tentang pekerjaan setelah ia lulus kuliah. Tetapi hati kecil Dwina enggan berpikir panjang, mereka sedang beradaptasi untuk hidup bersama, tidak ada masalah tentu itu jadi hal aneh.

"Masih di luar?" Suara Dwina memecahkan keheningan. Dwinapun menggeser pintu kaca dan menghampir Arya. Sebisa mungkin Dwina tidak terkejut melihat Arya ternyata sedang menyesap puntung rokok dengan ekspresi masam.

Arya menoleh ke arah Dwina.

"Ada masalah apa?" lanjut Dwina sembari merapihkan anak rambut Arya ke balik telinga. Sebetulnya Dwina kurang suka laki-laki perokok, dia juga baru tau kalau Arya seorang perokok. Dwina mencoba memaklumi.

"Aku udah nggak ngerokok sejak setahun lalu," seru Arya kemudian menyembunyikan puntung rokok itu di saku celana, dia tidak ingin Dwina merasa kurang nyaman. Sedangkan Dwina masih saja menjaga ekspresi tetap datar, tak usah ditanya lagi Arya sudah paham Dwina akan melakukan itu.

"Jangan dibuang, kalau kamu butuh ngerokok juga nggak papa tapi jangan di depan aku." Arya bingung itu sindiran atau memang Dwina sungguh berpikir begitu.

"Serius?" Arya sedikit menguji pertimbangan Dwina, apalagi mereka hidup bersama ia enggan bila Dwina memalsukan maksud hati itu sama saja membohongi dia.

"Kalau begitu cara kamu untuk melepaskan stres ya.. sudah mau bagaimana lagi. Rokok memang nggak sehat. Tapi ada ketenangan saat merokok yang tak bisa dipahami oleh orang bukan perokok. Ya kan?" Dwina bukan membenarkan cara melepas stres dengan merokok, tetapi dia sedang condong memahami jati diri seseorang bukan malah menghakimi kekurangan ataupun keburukan orang. Apalagi Arya adalah suaminya.

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now