43. Melodi Jiwa (1)

6.8K 575 15
                                    

Happy reading (づ ̄ ³ ̄)づ

Ketika Arya merasakan perasaan Dwina berkecamuk hebat, dia langsung tersentak oleh ke khawatiran. Dwina bukan tipe orang yang mudah mengutarakan kegelisahan serta kesedihannya di depan orang lain. Dia sering memilih menutupi semua itu untuk menghindari kekhawatiran orang lain lalu berakhir jadi sebuah beban.  

Namun kali Dwina terang-terangan, dia bahkan membenamkan wajahnya di dada Arya sambil menahan isakkan. Entah apa yang terjadi pada perempuan itu selama dia pergi, dan Dwina seperti sadang kesulitan. Gumam Arya dalam hati. 

"Kamu kenapa Dwina?" Bisik Arya lembut mencoba menenangkan Dwina. Dia masih bisa menahan diri untuk tidak terdengar bingung, padahal saat di telpon tadi Dwina terdengar baik-baik saja. 

"Nggak." Suara Dwina terdengar serak. Penjelasannya kurang dari cukup, tapi bukan bermaksud dia menarik perhatian Arya, walau nyatanya dia hati kecilnya menginginkan itu juga. 

"Ya udah aku anterin kamu pulang."

"Aku nggak mau pulang sekarang." Rengekan Dwina seperti anak remaja yang egois tanpa peduli apapun. 

"Kita masuk mobil dulu." Dwina kemudian melepaskan pelukannya sambil merunduk dalam. Entah kenapa dia membenci dirinya yang seperti ini, sikapnya terlalu berlebihan di hadapan Arya. Tapi dorongan di dalam jiwanya yang terdalam sulit dia hentikan. Dia seolah bisa mengungkapkan semuanya hanya pada Arya menjelaskan betapa dirinya sedih. 

Mereka berdua masuk ke dalam mobil, yang terlintas dalam pikiran Arya adalah kembali ke apartemennya. Lebih baik saat ini dia mencoba menenangkan diri Dwina. Selama perjalanan Dwina hanya terdiam menatap luar dengan wajah datar namun gejolak dalam dada masih tersimpan rapat menjadikan dia tampak lebih berhati-hati dalam bersikap. 

Diluar hujan mengguyur deras serta angin bergerak cukup kencang membuat banyak pejalan kaki dan pengendara motor di jalan raya berlomba agar bisa berteduh. Menuju apartemen Arya memerlukan waktu setengah jam. Dalam hening Dwina menikmati minuman yang sempat dia beli dari mini market.

Setibanya di apartemen milik Arya, Dwina berjalan masuk dengan perasaan tak nyaman. Benar dia telah merepotkan Arya yang masih lelah setelah melewati perjalanan lama dari Bandung. Dia sungguh tidak tau diri, tetapi kesan tersebut segera dia tepis.

"Dwina…" Panggil Arya kemudian meraih tangan Dwina agar dia berhenti melangkah dan berbalik menatap ke arahnya. "Sekarang kamu bisa cerita apa yang kamu mau ceritain ke aku." Lanjut Arya sambil menarik pinggang Dwina ke sisinya dengan tangan lain yang bebas. 

"Oh.. Aku-" Dwina nyaris kehilangan kata, Arya membelai lembut rambutnya serta menatap dia penuh perhatian sampai Dwina meringis tak kuasa menahan rona merah di wajahnya karena malu. Wajah Arya terlalu dekat hingga Dwina condong kebelakang memberi jarak di antara mereka. 

"Apa yang sebenarnya terjadi selama aku pergi?"

"Itu.." Mana mungkin Dwina bisa bercerita perihal mama Ratih dan sebagainya dalam keadaan seperti ini? Pikirannya langsung kacau dibuat oleh Arya. "Aku.. kangen sama kakak." Dwina langsung menggigit lidah sendiri. 

"Aku pikir kamu kenapa? Soalnya mata kamu kelihatan sembab."

"Bukan cuma karena kangen sama kakak, ada terjadi sesuatu ini dan itu.." Kening Arya berkerut penasaran. Serius, Dwina sendiri ingin sekali menjelaskan semua ini secara jelas tapi apalah daya akal sehat dia belum kembali. Arya kini mengusap pelan pipinya, lalu Dwina tenggelam dalam tatapan lelaki itu bersamaan jantungnya nyeri berdebar terlalu cepat. 

Trust Your Heart [END]Where stories live. Discover now