64. Detakan Rindu (2)

5.3K 447 12
                                    

Hidup terkadang memuakkan. Ingin rasanya melarikan diri dari semua itu, dan menyangka akan selesai jika dia melakukannya. Dia adalah wanita beranjak dewasa, harus berjuang keluar dari sifat kekanakan. Tapi apalah daya Dwina sudah berada di ujung kelelahan. Jiwanya butuh rehat sejenak dan ini adalah pilihannya.

Dwina mengikuti mama Ratih menuju kamar milik Destina. Perlu diingat kalau malam ini dia akan menginap.

"Maaf kamar Destina isinya warna pink semua." Mama Ratih terkekeh ringan. Padahal Dwina tak mempedulikan hal itu, dia sudah sangat berterima kasih diizinkan menumpang semalam di tempat ini.

"Kamu istirahat aja dulu. Mama ambilin kamu pakaian ganti." Ternyata mama Ratih lebih cermat memperhatikan kondisi Dwina yang hanya membawa tas ransel kuliah.

"Terus Destina tidur dimana?" Tanya Dwina agak ragu. Ranjang Destina sangat mungil, terlalu sempit padahal hanya untuk satu orang dewasa.

"Tenang aja. Malam ini dia bisa tidur sama mama." Jelas mama Ratih lalu berjalan keluar kamar, dia tersenyum sejenak sebelum menutup pintu.

Dwina menghela napas berat, beban di dalam benaknya tak kunjung berkurang. Kejadian beberapa hari lalu terus menghantui tanpa ampun. Tangisan Dwina sudah mengering. Diaberada di jalan buntu, padahal niat hati ingin menyelesaikan secepat mungkin. Dwina berharap dapat keluar dari roda takdir berduri ini.

Sore ini sebelum kak Bayu menyusul ke kampus untuk menjemput, Dwina perlu menghubunginya. Tak butuh lama panggilan telpon Dwina langsung di angkat. Dwina mampu mendengar suara berat kak Bayu tanda dia jengah. Pasti dia sedang banyak kerja di tambah lagi kak Bayu harus menjaga Dwina.

"Kak Bayu, kakak nggak perlu jemput aku pulang. Sekarang aku udah ada di rumah mama Ratih. Malam ini aku nginap di sini."

Bayu tercengang. Dwina sedang bersembunyi, dia makin mengurung dan menyalahkan dirinya sendiri. Andaikan Bayu bisa menolong dia sebelum kejadian buruk itu menimpa Dwina. Adiknya tidak akan dalam kondisi mengerikan seperti ini.

"Dan mama Ratih pinjamin aku pakaian ganti."

"Terserah kamu Dwina. Yang penting kamu hati-hati jaga diri kamu sendiri. Kalau udah mau pulang bilang kakak nanti aku jemput." Peringatan tersebut sudah berulang kali Bayu ucapkan. Pasti Dwina sudah lelah mendengarnya.

"Kakak nggak pelu khawatir, mama Ratih baik sama aku."

"Yang aku khawatirin itu diri kamu Dwina." Bayu mengerang frustasi. "Mungkin ini nggak nyaman di obrolin lewat telpon. Tapi aku tetap akan bilang kalau aku memperingati Arya supaya nggak nemuin kamu sampai urusan dia dan mantannya selesai."

Begitu mendengarnya Dwina langsung terduduk di atas ranjang. Dia menyurai rambut panjang diiringi rasa gelisah. Kak Bayu sudah berbuat jauh mencampuri masalah dia dan membuatnya semakin runyam.

"Aku tutup telponnya." Dwina berkata dengan cepat lalu memutuskan panggilan telpon di antara mereka.

Ya Tuhan...

Mata Dwina terpejam erat. begitu pula tangan yang mengepal memukul-mukul inti dadanya. Rasa sesak bekepanjangan ini tampak ingin menggerogotinya secara perlahan. Namun dia tetap harus sabar.

Mama Ratih datang mengetuk pintu kemudian bergerak masuk ke dalam. Dia berpura-pura bersikap biasa padahal tadi dia sempat mendengar obrolan telpon Dwina. Benar apa kata fiarasatnya kalau Dwina saat ini sedang dalam masalah.

"Habis kamu mandi, kita makan malam bareng." Seru mama Ratih sambil menyerahkan satu stel pakaian bersih ke sisi Dwina.

"Mama.." Panggil Dwina gemetaran tanpa sadar. Di tengah kerumitan ini, entah kenapa takdir membawa dia kembali pada mama? Dwina sendiri kurang mengerti.

Mama Ratih mendekat lalu menangkup kedua tangan Dwina dengan hati-hati. "Kamu mau bicara sama mama, mama udah bersyukur banget. Jadi kamu nggak perlu berterima kasih apalagi sungkan minta tolong ke mama. Mama pasti bakalan berusaha bantu kamu untuk membayar apa yang sebelumnya memang menjadi hak kamu." Yaitu kasih sayang mama Ratih sebagai seorang ibu kandung.

"Iya." Dwina memperhatikan wajah mama Ratih dengan seksama. Mau bagaimanapun dia dan mama Ratih tetaplah keluarga. Mama Ratih paham keresahannya.

"Nanti kita bisa lanjutin obrolannya lagi." Mama Ratih kemudian berlalu pergi sembari tersenyum lembut.

Dwina membungkam mulutnya dengan salah satu tangan, dia meredam tangisan kerasnya. Dia sangat amat kesulitan namun Tuhan masih mengizinkan satu orang menemani dirinya...
.......

Dwina mengopres dengan handuk dingin kedua kelopak matanya yang bengkak. Setelah di rasa cukup diapun berjalan keluar kamar kemudian ikut bergabung di meja makan bersama mama Ratih dan Destina.

Mama Ratih tampak menyajikan makan malam. Beberapa hari ini Dwina tidak nafsu makan, dia bahkan harus memaksa menelan beberapa sendok nasi sebelum perutnya kembali bergejolak ingin muntah.

"Suka ayam panggang?" tanya mama Ratih kepada Dwina.

Dwina mengangguk iya. Pada dasarnya Dwina tak terlalu pilih-pilih makanan, namun yang dia fokuskan adalah pola makan teratur dan sehat.

Sejenak Dwina memperhatikan sekitar, dimana dia tak kunjung menemukan sosok suami mama Ratih padahal waktu sudah mulai malam. "Hem.."

Karena mengerti maksud Dwina, mama Ratih pun menjawab. "Papa Candra, suami saya lagi ada dinas keluar kota. Besok lusa baru pulang. Jadi disini cuma ada kita bertiga."

"Papa lagi pergi kaka Dwina. Aku minta dibeliin cokelat kalau papa pulang. Kak Dwina mau?" Seru Destina terdengar seperti gumaman, bahkan Dwina perlu memperhatikannya dengan serius.

"Selama ini kamu ya yang kasih aku cokelat?" Dwina bertanya balik ke si kecil Destina.

"Iya. Mama juga bantuin aku bungkusin kado cokelatnya buat kak Dwina. Iyakan ma?" Mama Ratih mengangguk setuju.

Pantas saja kertas pembungkusnya selalu berwarna pink. Bisik Dwina dalam hati. "Makasih cokelatnya, kakak suka." Dwina mengusap kepala Destina penuh gemas.

Mereka bertigapun menyantap makan malam dilanjutkan dengan perbincangan ringan. Dan setelah itu mereka kemudian bersantai di depan tv menonton siaran kartun anak-anak untuk Destina.

"Bagaimana kabar orang tua kamu?" Sahut mama Ratih mengisi obrolan.

"Kabar mereka baik, sehat. Tadi aku sempat hubungin mama kalau aku mau nginep di sini dan dia ngasih salah balik buat mama Ratih."

"Kak Dwina punya dua mama?" Seru Destina bingung sambil bersandar manja pada Dwina.

"Bener. Kakak punya dua mama."

"Kenapa?"

Dwina diam bingung untuk menjelaskan semua ini di usia Destina yang masih belia. Sekilas Dwina memandang mama Ratih tanda dia minta bantuan.

"Dulu mama sibuk nggak sempet ngurus kak Dwina, jadi mama titipin kakak ke mama yang lain."

Raut wajah Destina berubah murung, seolah dia paham kesedihan yang dirasakan Dwina harus berpisah dengan mama. Tanpa banyak bicara lagi si kecil Destina lalu memeluk erat leher Dwina.

"Kak Dwina baik-baik aja kok. Nanti kapan-kapan kita bisa main bareng." Bujuk Dwina berjengit bingung. Rasa empati Destina lama-lama menular kepadanya, mata Dwina berkaca-kaca namun tetap berusaha dia tahan agar tidak tumpah.

"Besok kamu ada kuliah?"

"Ya. Sekitar jam sepuluh pagi, tapi berhubung mau dekat UAS dan mata kuliah aku bukan praktikum jadi biasanya dikasih tugas doang terus dikumpul lewat email." Jelas Dwina. Meski hanya dugaan saja, Dwina berharap demikian.

"Kamu mau jalan-jalan sama kita?" Perkataan mama Ratih terdengar seperti permintaan. Pergi keluar bersama mama Ratih dan Destina menurut Dwina bukan sesuatu yang buruk.

"Kemana?" Tanya Dwina balik.

"Kemana aja. Itu bisa kita pikirin besok." Ucap mama Ratih senang kalau Dwina menyetujuinya.

"Oke."

"Yey, jalan-jalan." Destina bersorak riang dia bahkan sampai menciumi kedua pipi Dwina. Dasar anak kecil! Ternyata dia suka gemas pada orang dewasa. Membayangkan punya seorang adik tiri tak seburuk apa yang Dwina pikirkan.

"Dwina.." Panggil mama Ratih bersuara rendah, diapun memandang kosong ke arah siaran tv sembari memikirkan sesuatu hal. "Dwina, mama minta maaf ya." Mama Ratih beralih menatap Dwina, tatapan matanya penuh rasa bersalah.

Kemudian mama mulai bercerita tentang masa lalu dimana sebelum Dwina diadopsi. Mama Ratih ternyata mengalami kesulitan dalam rumah tangga, ayah kandung Dwina dipecat dari pekerjaannya setelah itu masalah datang bertubi-tubi.

"Mama kerja pontang-panting, sedangkan keluarga dari orang tua ayah kamu nuntut banyak uang. Ibunya sakit dan perlu perawatan rumah sakit. Sedangkan gaji mama hanya cukup untuk makan sehari-hari, bayar biaya kontrakan, transport bolak-balik kerja. Mama berusaha sabar, kemudian puncaknya waktu ibunya meninggal.

"Ayah kamu nyalahin mama, dia tiba-tiba nuduh mama dengan hal-hal aneh seperti selingkuh dan lain sebagainya. Kita bertengkar hebat, mama frustasi dan tanpa sadar ngelukain kamu berulang kali untuk melampiaskan kemarahan mama.

"Perbuatan mama jahat banget ke kamu, mama nggak termaafkan. Pak RT dan para tetangga nemuin kamu nangis sendirian di kunci di rumah lebih dari sehari tanpa makan. Mama saat benar-benar hilang kewarasan. Terus mama dituntut untuk melepaskan hak asuh anak, mama di penjara dan kamu dipindahin ke panti asuhan. Nggak lama dari itu kamu diadopsi.

"Hati mama sendiri hancur, hidup mama berantakan. Dan setelah keluar dari penjara mama nggak tau harus ngelakuin apa. Mama dihantui rasa bersalah, takut untuk nemuin kamu lagi. Namun semua berubah jadi baik ketika mama bertemu sama papa Candra. Dia benar-benar bimbing mama tanpa peduli masa lalu, ataupun khawatir kalau mama akan jahat seperti dulu lagi.

"Setengah tahun pernikahan, mama hamil Destina. Kamu tahu, Destina itu mirip banget sama kamu. Rasanya hampir setiap kali mama perhatikan Destina mama mau nangis. Ya ampun Dwina. Mama nyesel udah berbuat buruk sama kamu. Dan puncaknya adalah ketika mama pindah ke daerah ini dan papa Candra tiba-tiba ngajak mama dan Destina ke rumah orang tua angkat kamu.

"Dwina kamu udah besar, cantik, baik dan sehat. Mama bersyukur sekali kamu dapat kehidupan yang layak. Tapi ketika mama coba bicara sama kamu, kamu malah nangis. Kamu nggak mau lihat muka mama, kamu masih menyimpan luka itu, bahkan sikap kamu masih sama ketika kamu lagi jalan pacar kamu.

"Dan hari ini tiba-tiba kamu telpon mama, minta dijemput terus izin nginap disini. Mama seneng banget kamu udah nggak benci sama mama." Mama Ratih lalu menangis, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Mama Ratih sesenggukan hebat, pasti berat menyimpan rasa bersalah itu bertahun-tahun.

Tanpa diduga Dwina ikut menangis. "Aku nggak benci mama. Aku masih sayang mama, walaupun tahun-tahun pertama di rumah baru rasanya berat karena sebelum mama pergi mama bilang kalau bakalan jemput aku pulang."

Destina yang melihat mama Ratih dan Dwina menangis, dia jadi ikut menangis juga. Mereka bertigapun berpelukan bersama lalu diakhiri dengan tawa.

"Mama sayang sama kalian berdua. Kak Dwina dan Destina." Mama Ratih menciumi kening anak-anaknya penuh rasa penuh di dada. Hari yang ditunggunya telah tiba dimana ia terbebas oleh rasa menyakitkan berkecamuk di dada. Dan ini luar biasa membahagiakan.

Mereka bertigapun malam ini tidur bersama di ranjang besar milik mama Ratih. Destina sangat antusias, begitu juga Dwina. Sepertinya malam ini mereka mimpi indah.

________________

Note :

Selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin.

Karena kemaren nggak update, jadi hari ini bayar utang 2 bab sebelumnya. Dan sudah lunas ya.,

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa klik vote ⭐ dan tuliskan komentar anda tentang novel ini.

Trust Your Heart [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora